Terlalu Takut



sumber : the writing cooperative


Ku kira perjalanan kita sangat panjang. Kita belum bertemu, masih sibuk menyelesaikan urusan kita sendiri-sendiri. Sibuk menata banyak hal, menyelesaikan masa lalu, menghidupkan hari ini, dan merencanakan masa depan.

Perjalanan kita masih jauh. Setiap langkah kaki kita akan mendekatkan kita.
Jangan berhenti :)
-Kurniawan Gunadi-

Di mudik yang entah ke sekian kalinya ini, -mudik berkali kali di dua bulan terakhir yang membuat orang orang terdekat menaruh curiga “Ada urusan apa?”- rupa-rupanya aku baru benar-benar menulis lagi. Setelah di postingan sebelumnya, aku telah mengumbar janji untuk segera mengisi kekosongan blogku ini #eaaa. Bismillah, doakan istiqomah :)
Mengapa tak segera menulis?
Mungkin sebagian dari kita tak ada waktu, atau hanya malas, atau hanya takut jika apa yang dipikirkan diketahui oleh banyak orang. Mungkin aku pernah berada di alasan pertama, saat urusan akademik dan urusan yang kubilang milik ‘ummat’ itu benar-benar menyita. Sungguh, tidak ada waktu. Jangankan untuk menulis, untuk sekedar mengurus diri sendiri saja tidak sempat. Jangankan memikirkan masa depan, setelah ini mau apa; untuk urusan mandi dua kali sehari saja hampir-hampir tak sempat. Eh, tunggu dulu, yang kedua ini alay ehehe. Amanah belum juga tuntas, namun mengeluh ngeluh bilang ini semua di luar batas. Alhamdulillah masih manusia ya, bukan malaikat rehat.
Mungkin juga, aku pernah berada di alasan kedua. Terlalu malas. Nah, inilah alasan sebenarnya dibalik semua pembenaran yang ada. Aku hanya terlalu malas. Padahal, sederhana saja. Aku bisa menulis di mana saja, bukan? Ya, media sosial mungkin menjadi tempat ‘curhat’ sementara selama ini untuk menggulirkan kata yang tak terbendung lagi. Namun, untuk kemudian duduk manis untuk benar-benar meniatkan diri untuk menulis belum kulakukan lagi. Beda rasanya tentu saja dengan mengetik melalui smartphone untuk kemudian di post di medsos. Hanya luahan hati yang sifatnya temporer. Ampuni semua malas-malas ini Ya Rabbi. Padahal waktu untuk sekedar stalking sungguh banyak. Andai saja bisa diulang waku, takkan kugunakan lagi waktuku untuk alasan tak bermutu itu :’)
Namun, setelah ku analisis lebih dalam dan lebih cermat lagi; ternyata aku menderita sindrom di alasan yang ketiga. Iya, nampaknya aku terlalu takut. Terlalu takut untuk menulis karena tak mau ada yang lalu membaca pikiranku :’) . Pernah dengar sebuah pepatah, kan, “Jangan pernah menyakiti hati seorang penulis, jika kau tak mau namamu tersebut dalam ceritanya.” Iya, aku terlalu takut untuk menuliskan segala uneg-uneg dan itu semua mengakibatkan pertumbuhan jerawat yang sporadis di mukaku :’) Iya, kata-kata yang tak tersampaikan hanya akan menjadi pikiran yang tak tersampaikan: Menyakiti diri kita sendiri. Jadi?
Jadi sebenarnya tak perlu takut menulis. Tak ingin dibaca orang, tinggal kau simpan pribadi; iya, kan? Tak melulu menulis itu untuk diposting dan diketahui oleh dunia. Tak semua tulisan itu harus bagus dan lurus. Tak semua tulisan itu harus menginspirasi. Kau hanya akan terbebani dan tak lagi menjadi dirimu sendiri. Menulis tak harus sempurna, hingga semua orang yang membaca menjadi terpana ataupun berkeca-kaca. Menulislah untuk dirimu. Untuk kelegaan hatimu. Untuk kebahagiaan dirimu. Jika nanti ada yang terinspirasi dan tergerak melakukan kebaikan tersebab tulisanmu, itu bonus dari Allah. Tugasmu hanya menyampaikan, bukan?
Ah iya. Aku jadi teringat bahwa aku pernah dihadiahi sebuah puisi oleh seorang Guru di kampus ini. Puisi yang ditulis karena aku memesan buku beliau melalui seorang kakak kelas yang tahu betul aku suka menulis. Karenanya, jika puisi ini terasa ‘pas’, aku tak boleh GR sebab begitu dimengerti oleh sang penulis. Aku hanyalah bocah suka nulis yang diketahui oleh sang perantara :’) Begini bunyi puisi indah tersebut.

Kita pun Mesti Pergi –Uki
Pada suatu hari kita pun mesti pergi
Melanjutkan perjalanan ke utara
Tanpa tahu pasti di urutan ke berapa kita
Dan di sini, di perhentian ini, kita mesti
Menuliskan cerita kita; bukan sekedar agar
Orang tahu bahwa kita pernah ada. Tidak, Uki.
Tapi agar kita menjadi lebih lega,
Sebab sebelum hari keberangkatan, tugas
Telah tuntas terselesaikan.

Teruslah menulis, Uki,
Hingga nama kita terpanggil mesra.

Tabik, Ramadhan 1437
dby

Puisi sarat makna itu, untuk detik ini kuambil sebait saja :  Dan di sini, di perhentian ini, kita mesti menuliskan cerita kita; bukan sekedar agar orang tahu bahwa kita pernah ada. Tidak, Uki. Tapi agar kita menjadi lebih lega. Sebab sebelum hari keberangkatan, tugas telah tuntas terselesaikan. Iya, kita menulis saja. Bukan untuk sekedar eksistensi ‘agar dikenang’ dan sebagainya. Bisa kita lihat kan, berapa banyak tulisan yang ditulis namun tak berbekas di hati pembacanya? Mungkin kita, kemarin-kemarin termasuk yang melakukan itu. Tulisan yang tulus, tulisan yang apa adanya, akan selalu sampai. Apapun yang disampaikan dari hati, akan sampai kepada hati. Begitu pepatah lama bicara.
Jadi, masih takut untuk menulis?

Pacitan, 25 Februari 2019. Pukul 23.20 WIB
Dari seorang bocah yang memutuskan untuk menulis lagi, mulai hari ini.
Rizki Ageng Mardikawati


Komentar