Menari dalam Demokrasi





BATU 0.1  Edisi November
Rizki Ageng Mardikawati
Divisi HRD
Judul Buku      : Menikmati Demokrasi
Penulis             : M Anis Matta
Tebal               : 161 halaman
Penerbit           : Fitrah Rabbani



Menari dalam Demokrasi
Oleh: Rizki Ageng Mardikawati

Mari kita berhenti sejenak disini!
Kita sudah relatif jauh berjalan  bersama dalam kereta dakwah. Banyak yang sudah kita lihat dan yang kita raih. Tapi, banyak juga yang masih kita keluhkan: rintangan yang menghambat laju kereta, goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa, suara-suara gaduh yang memekakan telinga dari mereka yang mengobrol tanpa ilmu di gerbong kereta ini, dan tikungan-tikungan tajam yang menegangkan. Sementara, banyak pemandangan indah yang terlewatkan dan tak sempat kita potret, juga banyak kursi kosong dalam dalam kereta dakwah ini yang semestinya bisa ditempati oleh penumpang-penumpang baru tapi tidak sempat muat. Dan masih banyak lagi. (M Anis Matta)

Buku ini diawali dengan apik oleh penulisnya dengan sebuah perenungan berjudul “Mari Kita Berhenti Sejenak.” Awalan yang begitu menghujam hati sebab memberikan deretan-deretan pertanyaan tentang apa saja yang sudah dilakukan kita –sebagai seorang kader dakwah- selama ini. Apakah kita benar-benar menjadi pelaku sejarah yang bergerak karena paham; atau tong kosong nyaring bunyinya yang hampir-hampir bergerak tanpa ilmu? Padahal, seperti yang kita tahu; kader yang bergerak tanpa ilmu hanya akan melubangi perahu dakwahnya sendiri.

Mengapa perlu berhenti, sebab seorang pejalan yang telah berjalan jauh sudah sepatutnya menilik kembali jejak-jejak perjalanannya. Sejenak saja. Sahabat-sahabat Rasulullah SAW mencontohkan, bahwa majelis iman adalah tempat yang tepat untuk pemberhentian. Sebab jiwa yang banyak bekerja memerlukan charge daya berupa makanan ruhani. Majelis iman ini dibutuhkan untuk dua keperluan; pertama, untuk memantau keseimbangan antara berbagai perubahan pada lingkungan kita. Tujuannya, untuk memperbaharui dan mempertajam orientasi kita. Kedua, untuk mengisi ulang hati kita dengan energi baru sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat selama perjalanan.

Sebenarnya, majelis iman ini juga diisyaratkan saat iktikaf di bulan Ramadhan. Kita diminta sepenuhnya fokus dengan iman yang ada dalam diri. Jika sehari-hari kita sibuk berkoar-koar kesana kemari dan mengunjungi banyak hati; dalam majelis iman ini kita fokus menyapa satu hati. Ya, tak lain dan tak bukan adalah hati kita sendiri. Apa kabarnya? 

Tradisi iktikaf ini sudah diawali semenjak uzlahnya Rasulullah SAW ke Goa Hira untuk memikirkan kondisi kaumnya; hingga akhirnya terilham untuk melakukan siatu perubahan perbaikan. Ya, setiap kader dakwah mutlak membutuhkan Majelis iman ini untuk tetap berada dalam gerbong kereta ini.

Buku setebal 116 halaman ini memuat banyak poin-poin pemikiran yang terhimpun dalam sebuah buku dan tersebar pada 30 perenungan. Seperti judulnya, buku ini mengajak kita untuk kembali menekuni tentang perjalanan dakwah hari ini. Tentang sebuah kumpulan yang sevisi dan semisi yang menginginkan perbaikan dalam segala aspek kehidupan manusia. Pada akhirnya, melalui berbagai keputusan yang tak main-main diputuskan bahwa kumpulan ini harus terjun berbaur tapi tak melebur dalam negara ini: masuk dalam sistem demokrasi.

Menjadi sebuah resiko besar yang harus ditanggung jika kita ingin ‘menceburkan’ diri dalam aktivitas politik, utamanya dalam sistem demokrasi. Buku ini mengajukan pemikiran-pemikiran seorang pemimpin muda dan tawarannya akan masa depan bangsa. Bahwa dalam kondisi ‘kepepet’ harus masuk dalam sistem demokrasi ini menjadikan kita lemah iman dan terbawa arus informasi. Sebaliknya, dengan keberanian ini masing-masing kita –kader dakwah- harus memperkokoh diri baik dari segi ruhy, fikri, dan jasadi. Sehingga, tercapainya muwashafat dan maratib amal secara tertib bisa dialami oleh setiap kita yang menyatakan sebagai orang yang menginfakkan harta dan jiwanya untuk jalan ini.

Demokrasi, adalah soalan ilmu. Dan kita mutlak membutuhkan kepahaman untuk bisa menikmatinya.

Komentar