Resensi BATU 01 |Bulan
Oktober | Rizki Ageng Mardikawati | Divisi HRD
Judul
Buku : Tarbiyah Dzatiyah
Judul
Asli : At-Tarbiyah Adz-Dzatiyah
Ma’alim wa Taujihat
Penulis : Abdullah bin Abdul Aziz Al-Aidan
Penerjemah : Fadhli Bahri, Lc
Penerbit
: An-Nadwah, Jakarta
Cetakan
ke XII Dzulhijah 1437 H, 100 halaman
Jika Bukan Kita
Sendiri, Siapakah yang Akan Mentarbiyah Kita 24 Jam?
“Pada hari kiamat,
kedua kaki seorang hamba tidak dapat bergerak, hingga ia ditanya tentang empat
hal. Tentang umurnya, untuk apa ia gunakan; masa mudanya, untuk apa ia
habiskan; tentang hartanya, dari mana ia memperolehnya dan ia belanjakan di
hal-hal apa saja; dan tentang apa saja diantara ilmunya yang telah ia amalkan.”
(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi)
(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi)
Menjadi manusia; berarti siap dengan
pembenahan setiap saatnya. Sebab, ia
bukanlah malaikat yang selalu stagnan imannya.
Patuh dan taat pada setiap titah Tuhannya. Ia juga bukanlah Nabi dan
Rasul, yang selalu naik imannya. Meski diuji, keimanannya akan selalu meningkat
pesat. Namun, dalam kondisi se-down-apapun,
manusia juga tidaklah seperti syaithan yang grafik keimanannya selalu turun.
Menjadi manusia; berarti bersiap dengan grafik iman yang kadang naik dan kadang
turun. Naiknya karena iman, dan turunnya sebab kemaksiatan.
Buku ini mengajak kita untuk
berkelana dalam jiwa; bahwa dengan iman yang naik dan turun itu, kita sebagai
manusia harus mempunyai benteng yang kokoh. Benteng itu bernama keimanan, dan
hal tersebut harus diusahakan. Meskipun kita memiliki orangtua, guru, kakak, dan
teman dekat sekalipun; mereka tidak akan mungkin selalu menjadi pengawas dan
pengingat diri kita. Apalagi selama 24 jam lamanya. Mau tidak mau, suka ataupun tidak suka; masing-masing diri
kita harus memilikinya. Ya, memiliki tarbiyah dzatiyah yang mantap dan tak
mudah terkena goda.
Dalam buku ini, Abdullah bin Abdul
Aziz Al-Aidan –penulisnya, mendefinisikan bahwa Tarbiyah Dzatiyah adalah
sejumlah sarana tarbiyah (pembinaan), yang diberikan muslim/muslimah kepada
dirinya sendiri untuk membentuk kepribadian Islami yang sempurna dalam segala
sisi. Ilmiah, iman, akhlak, sosial, dan lain sebagainya. Pembinaan ini akan
membuat manusia akan meningkat keimanannya dari masa ke masa. Intinya, tarbiyah
dzatiyah adalah hal yang kita usahakan sendiri untuk kebaikan kita sendiri
juga.
Buku ini terdiri dari empat pokok
bahasan utama; Urgensi Tarbiyah Dzatiyah, Sebab-sebab ketidakpedulian terhadap
tarbiyah dzatiyah, sarana-sarana tarbiyah dzatiyah, dan buah tarbiyah dzatiyah.
Masing-masing akan kita kupas secara singkat.
Mengapa Membina Diri
Sendiri itu Penting?
Kita diciptakan di dunia ini bukan
untuk menjadi lilin. Lilin menyala dan menyinari sekitarnya. Jangka hidupnya
yang sebentar itu berakhir dengan menghabiskan nyawa: membakar dirinya sendiri.
Seorang manusia, terlebih seorang muslim, tidak boleh melakukan hal tersebut.
Mentarbiyah atau membina diri sendiri itu menjadi hal yang sangat penting,
dikarenakan beberapa hal, antara lain adalah: (1) Menjaga diri harus
didahulukan daripada menjaga orang lain; (2) Jika kita tidak mentarbiyah diri
kita, siapakah yang akan mentarbiyah kita?; (3) Hisab di akhirat kelak bersifat
individual; (4) Tarbiyah Dzatiyah lebih mampu menciptakan perubahan; (5) Sarana
tsabat (tegar) dan istiqamah; (6) Sarana dakwah yang paling
kuat; (7) Cara yang benar dalam memperbaiki realitas yang ada; (8)Keistimewaan
tarbiyah dzatiyah.
Pertama, menjaga diri sendiri lebih
utama dari menjaga orang lain. Bukan berarti egois, namun hal yang dimaksudkan
disini adalah jika kita sudah selesai dengan diri kita, maka akan menjadi hal
yang mudah untuk membantu yang lainnya. Ibaratnya, jika kita mengajak orang
lain untuk masuk ke dalam jalan kebaikan; maka orang pertama yang harus berada
di jalan itu adalah kita sendiri. Jangan sampai kita mengalah dalam berbuat
kebaikan; karena kerangka hidup ini adalah berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Kedua, Jika kita
tidak mentarbiyah diri kita, siapakah yang akan mentarbiyah kita? Seperti yang
dijelaskan di awal, bahwa kita adalah masinis terbaik untuk kereta api kita.
Kita adalah nahkoda paling handal untuk kapal jiwa kita. Maka, yang paling
bertanggung jawab dalam naik turunnya iman kita bukanlah orang lain, namun kita
sendiri.
Ketiga, kita diingatkan kembali;
meskipun di dunia kita hidup secara berjama’ah, namun di akhirat kelak, setiap
orang akan dimintai pertanggungjawabannya. Hari dimana mulut kita dibungkam
lalu tangan dan kaki kita bebas berbicara. Untuk apa masa hidup kita selama di
dunia? Empat, tarbiyah dzatiyah lebih mampu membawa perubahan dalam hidup kita.
Bukankah seribu satu fatwa tak akan ada gunanya jika hati kita keras dan enggan
menerima? Maka, hal-hal yang berasal dari hati kita sendirilah yang akan
membuat raga kita tergerak secara maksimal tanpa adanya paksaan.
Lima, tarbiyah dzatiyah adalah
sarana agar kita selalu berada dalam track
kebaikan. Adalah istiqamah, kata yang mudah diucapkan namun sulit sekali
dilaksanakan. Kata yang bahkan membuat Rasul mulia beruban rambutnya. Tidak
akan ada istiqamah tanpa pembiasaan, bukan? Karenanya, pada setiap amalan
sehari-hari kita; tak boleh sedikitpun disepelekan, sebab bertambah dan
berkurangnya akan sangat berpengaruh kepada kondisi hati kita. Enam, sebagai
sarana dakwah. Dakwah kepada siapa? Tentu saja kepada jiwa kita masing-masing.
Tujuh, ada banyak dari kita yang
menghujat realita dan kebobrokan hari ini. Padahal semuanya akan tampak terang
dan nyata jika kita memulainya dari diri sendiri. Membina pribadi –islahun nafs- dan menjadi sebaik-baik
manusia adalah hal yang mutlak harus dipilih oleh kita. Delapan, tarbiyah
dzatiyah ini istimewa. Setiap kita bisa melakukan tarbiyah diri kapanpun dan
dimanapun; sebanyak apapun yang dimau oleh jiwa.
Sebab ketidakpedulian
terhadap tarbiyah dzatiyah
Ada beberapa hal yang membuat
ketidakpedulian ini, diantaranya adalah minimnya llmu, ketidakjelasan sarana
dan tujuan, hati yang masih terpaut pada dunia, pemahaman yang salah tentang
tarbiyah,minimnya basis tarbiyah, langkanya murabbi
(pembina), serta perasaan akan panjangnya angan-angan.
Ketidakpedulian ini tentu menjadi
garapan yang harus serius ditangani, sebab jika terus menerus menyepelekannya,
akan berdampak buruk pada jiwa. Karenanya, kita memerlukan sarana-sarana untuk
mentarbiyah hati dan jiwa kita.
Sarana-sarana tarbiyah
dzatiyah
Ada banyak sarana yang dapat
digunakan dalam mentarbiyah jiwa. Ada delapan sarana yang dijelaskan dalam buku
ini. Pertama, muhasabah. Ibnu Al-Qayyim rahimahulullah berkata, “Hal yang
paling bermanfaat bagi orang ialah, ia duduk sesaat ketika hendak tidur. Ia
melakukan muhasabah terhadap dirinya sendiri atas keuntungan dan kerugian yang
dialami pada hari itu. Lalu, ia memperbarui taubatnya dengan nasuhan (sebenar-benarnya) kepada
Allah, lantas ia tidur dalam keadaan bertaubat dan bertekad untuk tidak mengerjakan
dosa yang sama saat ia bangun. Hal ini dikerjakannya setiap malam. Jika malam
itu ia meninggal, maka ia akan meninggal dalam keadaan taubat. Sedangkan jika ia bangun, ia akan bangun
dalam keadaan siap beramal; senang ajalnya ditunda dan siap mengerjakan
perbuatan-perbuatan baik yang belum ia kerjakan. Muhasabah ini menjadi suatu
hal yang penting, karena dengannya kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik
lagi dari waktu ke waktu.
Sarana kedua, taubat dari segala
dosa. Sebab dosa adalah ibarat noda hitam. Noda-noda hitam itu akan terus
bertumbuh dan berkembang. Merembet ke segala organ dengan cepat jika tidak
segera diobati.
“Tinggalkan dosa-dosa
kecil, karena perumpamaannya seperti orang-oranag yang berhenti di lembah.
Lalu, si Fulan datang dengan membawa balok kayu dan di Fulan lainnya datang
membawa balok lain, hingga mereka memasak dan roti mereka matang. Jika
dosa-dosa kecil dikerjakan pelakunya, maka dosa-dosa kecil tersebut membinasakannya.”(HR Ahmad)
Sarana ketiga, mencari ilmu dan
memperluas wawasan. Ilmu yang benar akan membawa kita pada pemahaman yang
benar. Ilmu yang kokoh akan membuat kita tegas dan tak ragu dalam beramal.
Keempat, mengerjakan amalan-amalan iman. Amalan-amalan iman yang dimaksud
adalah amal wajib maupun amal sunnah. Lima, memperhatikan aspek akhlak (moral).
Jika akhlak kita baik, maka segala interaksi kita akan baik pula. Bukankah ada
figur Rasulullah SAW yang bisa selalu kita teladani kecemerlangan akhlaknya?
Sarana keenam, terlibat dalam aktivitas dakwah. Ketujuh, mujahadah (jihad/
bersungguh-sungguh). Dalam setiap yang kita usahakan, pasti membutuhkan
pengorbanan. Maka hanya tekad yang kukuh yang bisa bertahan. Maka yang paling
bersungguh-sungguhlah yang akan mencapai hasil maksimal seperti yang
diinginkan. Terakhir, berdo’a dengan jujur kepada Allah ta’ala. Setiap manusia
membutuhkan do’a, karena ia adalah senjata paling mutakhir yang bisa menembus
ruang dan waktu. Berdo’a akan membuat kita berinteraksi langsung dengan Sang
Pencipta. Ada hal yang harus diperhatikan saat berdoa; terkait adab dan etika,
waktu dan tempat terkabulnya do’a, dan lain sebagainya.
“Dan Tuhan kalian
berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan (do’a) kalian’.”
(Q.S Ghafir : 60)
(Q.S Ghafir : 60)
Buah Tarbiyah Dzatiyah
Selayak pohon yang akarnya kuat dan
batangnya kokoh, maka cabangnya juga sehat dan daunnya lebat. Sebagai bonusnya,
akan hadir buah-buah yang ranum lagi manis rasanya. Sama seperti iman, tarbiyah
dzatiyah ini memiliki buah yang teramat manis. Al Aidan menuliskan setidaknya
ada delapan buah dari tarbiyah dzatiyah, yakni: (1) Mendapatkan keridhaan Allah
ta’ala dan surgaNya; (2) Bahagia dan tenteram; (3) Cintai dan diterima Allah;
(4) Sukses; (5) Terjaga dari keburukan dan hal-hal yang tidak mengenakkan; (6)
Keberkahan waktu dan harta; (7) Sabar atas penderitaan dalam semua kondisi; dan
terakhir (8) Jiwa merasa aman.
Buku tipis dan kecil ini ringan dan
mudah dipahami. Selain mudah dibawa kemana-mana dan bisa dibaca kapan saja,
buku ini juga menawarkan ‘oase’ dalam setiap kalimat-kalimatnya. Pembaca selalu
dibawa untuk menyelami jernihnya jiwa. Jika hati yang membacanya adalah hati
yang bersih, maka ia akan mudah menerima kebenaran kata-katanya.
Buku ini ditutup dengan kisah
seorang syaikhul Islam yang merasakan manisnya buah tarbiyah dzatiyah, yakni
Ibnu Taimiyah. Peristiwa ini terjadi saat beliau dipenjara di benteng Damaskus
dan ditahan bersama muridnya, Ibnu Al Qayyim. Ibnu Al Qayyim berkata, “Pada
suatu ketika, Ibnu Taimiyah berkata kepadaku, ‘Apa sih yang bisa dilakukan
musuh-musuhku terhadapku? Surga dan tamanku ada di dadaku. Di manapun aku
istirahat, surgaku tetap bersamaku, tidak pernah meninggalkanku. Penahananku
adalah waktu untuk menyendiri. Pembunuhanku adalah mati syahid. Pengusiranku
dari negeriku adalah wisata.’ Ketika sujud di tahanan, Ibnu Taimiyah berkata,
‘Ya Allah, bantulah aku untuk dzikir kepada-Mu, syukur kepada-Mu, dan beribadah
dengan baik kepada-Mu.’ Pada suatu ketika Ibnu Taimiyah berkata kepadaku,
“Orang tahanan ialah orang yang ditahan hatinya hingga tidak kenal Tuhannya dan
orang tawanan ialah orang yang ditawan hawa nafsunya.’
Akhirnya, selamat mentarbiyah diri
kita!
Salam literasi, salam pencerahan!
Tarbiyah memang bukanlah segalanya, namun segalanya bermula dari tarbiyah.
Saudaramu,
Yang mencintaimu karena Allah.
Rizki Ageng Mardikawatu
Komentar
Posting Komentar
Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-