Jangan Cengeng, Woi!




Kamu pernah nangis?

Aku pernah.

            Orang-orang di luar sana seringkali bilang kalau nangis itu identik dengan cengeng, mewek, lemah, tak berdaya, dan satu lagi: perempuan. Iya, pasalnya nangis ini kebanyakan memang terjadi pas kita lagi nggak kuat menerima kenyataan atau tantangan hidup. “Ya Allah... ini kok berat banget yaaa... rasanyaaa....” terus kita dlosoran di lantai kamar: nangis.

            Kalau kamu, yang lagi baca tulisanku ini juga termasuk mereka yang menganut mahdzab “Nangis itu tandanya lemah.” Sini, aku minta nomor handphonemu atau alamat rumahmu. Kita ketemuan! 

            Pas aku kecil, aku sering banget nangis. Nangis yang ini emang nangis manusiawinya anak kecil pada umumnya. Waktu itu pernah, pas jaman SD kelas dua aku pingin beli siomay di seberang lapangan. Waktu itu ada beberapa kakak kelas laki-laki, kayaknya sih kelas enam yang lagi main bola di tengah lapangan. Aku, dengan seorang teman perempuan, dengan pedenya nyebrangin itu lapangan demi mendapatkan siomay idaman. Apa yang terjadi? Aku sama sekali nggak tau kalau ada bibit-bibit Kaka atau Cristiano Ronaldo di dalam jiwa kakak kelasku yang lagi main bola itu. Yang aku inget, salah seorang dari mereka mau bikin cetakan gol membobol pertahanan kiper. Tapi sayangnya, bolanya nyangkut dan nggak jadi membobol pertahanan lawan. Parahnya, nyangkutnya kena keningku. Aku sempoyongan, jatuh terus nangis. Sejak saat itu aku jadi agak anti sama bola dan sebel kalo ngeliat tampang anak laki-laki kelas enem. Hehe.

            Kejadian lainnya adalah saat aku di kelas dan digangguin sama dua temen laki-laki (lagi!). Entah disembunyiin pensilnya, gambaranku dicoret-coret dan lain sebagainya. Kalau aku nggak bisa ngelawan atau membela diri, atau sekedar, “Hei, kamu! Jangan gangguin aku!”, ujungnya pasti aku nangis. Terus sampe rumah aku cerita ke Bapak begini dan begitu. Besoknya, Bapak datang ke sekolah nemuin bu wali kelas. Nglaporin si dua anak laki-laki yang suka ngganggu aku itu kali, ya. Kagetnya, pas kenaikan kelas, si dua anak laki-laki yang nggangguin aku itu nggak naik kelas. Namanya Wawan sama Fajar. Duh, inget aja namanya. Aku jadi merasa bersalah; jangan-jangan gegara aku nih nggak naik kelasnya.

Ohya, satu lagi soal nangisnya anak kecil. Waktu kecil; nggak tau aku nakal apa nyebelin ya, Bapak sering marahin aku. Aku nggak inget sih salahku apa, pokoknya aku nakal. Haha. Kalo Bapak udah marah gitu, kan pakai nada keras kan ya. Aku mesti nangis kejer (baca: nangis keras ala anak kecil), dan nggak bisa diem sebelum aku minum air putih terus digendong sama almarhumah simbah putriku. Terus aku dibawa ke warung tempat jualan nasi soto yang jaraknya setengah kiloan dari rumahku. Jalan kaki, men; bukan naik motor, mobil, apalagi pesawat. Aku (masih dengan kondisi nangis), digendong sama simbah di punggung dan sesampai di sana tangisku reda. Apalagi setelah disuapi kuah soto yang yummy.. enaknya. Lupa deh.

Soal nangis yang ini, emang menyisakan sedikit kenangan di ruang hatiku. Cielaaah. Pasalnya, tiap lebaran kan ada tradisi sungkeman gitu. Pas giliran aku sungkem ke Bapak, beliau selalu bilang begini. “Mbak Rizki.. Sepurane yo.. Maaf, Bapak dulu galak; suka marah-marah ke Mbak Rizki.” Akunya ngangguk-ngangguk. Aku memang inget dulu Bapak sering galak dan marah gitu ke aku, dan aku lupa salahku apa. #dasar. Kini saat udah dapet materi parenting di kajian-kajian, ternyata teori itu benar: Anak-anak selalu mengingat apapun yang dilakukan orangtua kepadanya. Maka, jitakan kecil yang sebenarnya ditujukan karena rasa sayang pada si anak agar tak mengulang kesalahan; akan terus terasa sakit hingga si anak besar. Rasa sakit itu akan terus diingat meski ia tak tahu mengapa ia harus dijitak saat itu. Anak mengingat rasa sakit, bukan poin nasehatnya.

Kalo inget ini aku pasti nangis. Apalagi kalau inget Bapak minta maaf ke aku sampai segitunya. Padahal itu cuma bentar, habis itu Bapak berubah menjadi malaikat tak bersayap yang sayang dan baik banget sama anak-anaknya. Kamu tahu Bapakku? Ia sesosok yang penyabar dan nggak pernah marah. Apa yang beliau lakukan di masa lalu –yang parahnya aku masih saja ingat: dimarahi- adalah karena murni akunya yang nakal atau karena Bapak lagi dalam kondisi capek terus aku cari gara-gara. Lah ya wajar kan ya, kalau beliau marah. Maafin Rizki ya, Pak. Ini pas nulis aku nangis lagi nih, kalau inget ekspresi Bapak pas minta maaf seakan dosa itu tak terampuni olehku. Padahal aku baik-baik sajaa, Pak. Akunya yang nakal, jadi bukan Bapak yang salah. Aku sayang Bapak pakai banget...

Semoga Allah balas semua kebaikan-kebaikan Bapak dan juga Ibuk selama di dunia di akhirat nanti ya. Semoga Allah kasih tempat terbaik di surga nanti biar kita bisa kumpul bareng-bareng. Iya kan, Pak, Buk?

***

            Kejadian lain tentang nangis pas aku agak gede adalah saat aku menerima kekecewaan-kekecewaan dari seorang teman. Cielah, udah gede, mainnya udah sahabatan-sahabatan, ya. Iya, yang namanya pertemanan itu pastinya nggak asyik kalau nggak pernah ada gesekan. Maka luka dan kecewa itu biasa, dan aku bukanlah orang yang suka mengumbar luka dan kecewa. Jika aku merasa luka dan kecewa akibat kesalahan atau ulah temanku; aku pasti memilih tempat sepi dan bisa sepuasnya nangis di sana. Lepas itu, aku bisa memaafkan semuanya dan berteman seperti sedia kala. Hehe. Damaaai!

            Pas SMA, aku juga pernah nangis beberapa kali saat aku nggak mampu mencapai target. Aku inget betul pas SMA kelas dua, aku yang biasanya nangkring di dua besar, melorot nilainya. Saat itu aku merasa pertanyaan-pertanyaan Ibuk soal rangkingku yang melorot terasa mengintimidasi;

“Kok bisa turun nilainya? Sibuk kegiatan ya?”

Padahal Ibuk nanyanya biasa aja. Tapi akunya yang baper, langsung masuk kamar, kunci, terus nangis sepuasnya di sana. Bapak mengetuk pelan, dan mengatakan tak masalah, rangking bukan segalanya, dan lain sebagainya yang mendatangkan ketenangan. Tangisan, yang sebenarnya keluar bukan karena cengeng; bukan karena marah sama Ibuk, tapi lebih pada perasaan kecewa pada diri sendiri yang seakan belum mampu jadi seperti apa yang Ibuk dan Bapak mau. Kecewa sama diri sendiri yang belum bisa ngatur waktu, kecewa sama diri sendiri pokoknya.

Sementara ini, rating paling atas di daftar orang-orang yang bisa membuatku menangis adalah kedua orangtuaku. Pertama, Ibu. Selayak Ibu-ibu kebanyakan yang selalu terlihat rempong, Ibuku termasuk ke dalam daftar kebanyakan itu. Beliau adalah orang yang paling heboh saat melihatku mendapat duren (kebahagiaan), atau nginjek duren (kesedihan) #haduh. Dulu, aku sering banget kalau diskusi sama Ibuk, terus pendapatku kalah dan aku nggak sanggup ngasih argumen lagi; ujung-ujungnya aku pamit dari percakapan terus nyari bantal di kamar. Nangis. Sebenernya aku bisa saja sih menang dari perdebatan nomor wahid itu, wong aku berada di pihak yang benar –menurutku, haha-, tapi entah kenapa setiap melihat wajah Ibuk, aku nggak kuat mbantah lagi. Ya, yang bisa kulakukan ya itu, nangis. Saking sayangnya aku sama Ibuk (dan aku yakin Ibuk juga sayang banget sama aku), perdebatan antara kami selalu berakhir dengan jalan damai atau akunya yang mlipir nangis. Beda sama kakak perempuanku yang selalu kokoh dan teguh dengan pendiriannya. Kalau A ya A, kalau B ya B. Adu pendapat dengan Ibuk sekalipun. Aku nggak bisa. Aku nggak bisa kayak gitu.

            Pernah ya, pas itu aku lagi sakit demam di kos-kosan. Panas banget, rek. Sampe rasanya aku pingin nyerah aja. Kalau lagi di kondisi yang begitu, tiba-tiba ada film yang muter otomatis di kepalaku; masa-masa aku sakit demam parah waktu kecil dulu. Saking panasnya, aku –yang masih anak bawang- bilang ke Ibuk,

“Buk, rasanya pingin mati aja. Biar sakitnya nggak kerasa. Biar panasnya nggak kerasa.”

Ibukku nangis kejer saat itu. Aku juga. Lalu kita pelukan sampai aku ketiduran. Deu, mbayangin besok kalau punya anak, rasanya gitu juga kali ya. Ibu mana sih yang tega denger kalimat macam itu keluar dari lisan si bocil?

Balik ke cerita demam di kosan, aku mati-matian nyembunyiin hapeku biar nggak dipake temen kosku sms Ibuk buat ngasih tau kondisi terkiniku. Aku nggak mau bikin mereka khawatir. Lagi. Untuk kesekian kalinya. Namun aku gagal, hapenya ketemu. Daan.. ibuk jadi tahu.

Saat itu, aku ingat betul, hujannya deres. Gluduk sana-sini. Nggak mungkinlah Ibuk ke sini. Jaraknya dua jam, men. Kalau motoran aja ya basah lah. Namun pradugaku salah. Beberapa saat setelah adzan maghrib berkumandang, datanglah seorang wanita bersama seorang lelaki teduh dengan kacamata dan jenggot khasnya. Tergopoh si wanita memelukku. Matanya basah, wajahnya sembab. Sekuyup pakaian yang dikenakannya. Air mata milik siapa yang tak berhenti mengalir menyaksikan kesakitan pada anaknya? Tentu milik Ibunya.

***

            Soal Bapak, beda cerita lagi. Aku belajar betul dari sosok yang hingga kini masih menjadi laki-laki paling ngganteng yang pernah kutemui. Ribuan pemuda dengan segala pesonanya kalah deh sama laki-laki yang satu ini. Wajahnya teduh, tatapannya lembut, kata-katanya bijak, perhatiannya bak hujan di musim kemarau, dan penjagaannya: aman! Tak banyak bicara, namun segala tindakannya menunjukkan cinta. Giat bekerja demi kebahagiaan putra-putrinya. Tak pernah mengeluh barang sedikit pun. Di mana lagi aku bisa menemui laki-laki yang sejenis dengannya?

            Tentangnya, aku memiliki sebuah kisah yang tak akan kulupa. Saat itu, aku duduk di bangku SMA. SMAku jauh, perlu dua jam untuk menempuhnya. Aku sudah jadi anak rantauan semenjak titel siswa SMA itu kusandang. Tiap senin, aku berangkat ke perantauan. Biasanya aku diantar Bapak ke terminal, lalu menunggu satu-satunya bus bakda subuh yang membawaku sampai ke tujuan. Namun hari itu terlambat. Aku bermalasan hingga segala jadwal mundur. Hingga aku ketinggalan bus yang memang satu-satunya berangkat pagi itu.

Aku mengurungkan diri untuk berangkat. Sebab yang kulihat, semalam Bapak sakit. Biasanya beliau jadi Imam shalat di mushalla dekat rumah. Tapi tadi malam beliau menggigil demam, beliau absen shalat berjamaah di masjid –terpaksa. Beliau shalat di rumah bersama aku dan ibuk. Namun aku terkesiap saat termanggu, memikirkan alasan apa yang aku kemukakan pada guru-guru atas rencana ketidakhadiranku di sekolah pagi ini.

“Nduk, udah siap? Ayo Bapak antar ke mbatu.”

“Bapak kan sakit. Rizki bolos ajalah, Pak.”

“Nggak boleh gitu. Anak Bapak harus jadi anak pinter.”

Beliau mengenakan jaket tebal, helm, dan mulai menstarter motor. Aku luruh. Aku gemuruh. Sepanjang perjalanan –di belakang punggungnya- yang bisa aku lakukan hanyalah terisak. Menangis dalam diam dan kubiarkan diterpa angin. Allah.. anak macam apa hamba ini? Membiarkan Bapaknya menembus dingin demi mengantarkanku yang lalai karena kesalahanku sendiri?

***

Masa abu-abu putih selesai. Tiba-tiba aku menjadi seorang mahasiswa di sebuah kampus yang fokus pada bidang pendidikan. Lokasinya di Yogyakarta, tiga hingga empat jam lah dari rumah. Lalu tahun pertama berubah menjadi tahun kedua. Masa berganti, tiba-tiba sudah menjadi mahasiswa tahun ketiga. Lalu dengan mudahnya, sekejap mata menjadi mahasiswa tahun keempat. Tahun terakhir, itu cita-citaku.

Apa yang identik dengan mahasiswa tingkat akhir? Iya, kamu benar. SKRIPSI. Makhluk satu ini memang terkadang menjadi momok, walaupun sebenernya enggak. Nah, terkait skripsi ini ada satu orang yang paling rajin nanyain ke aku. Hayo tebak siapa? Jangan suudzon dulu ya, bukan si doi kok. #eh. Seorang yang rajin menanyakan dan menjadi motivasi tersendiri itu adalah simbah putri. Iya, simbah putri yang selalu menenangkanku saat aku menangis di masa kecil lalu. Beliaulah yang mengisi hampir seluruh masa kecilku, karena Ibu dan Bapak keduanya bekerja. Tak sadar, aku sangat menyayangi wanita paruh baya ini. Yah, walaupun terkadang kita bertengkar :)

Beliau adalah kelahiran tahun 40-an; berarti kalau dikalkulasi, kini tentu berumur kira-kira 76 tahun-an lah ya. Beliau adalah Ibu dari Ibuk, dan menjadi satu-satunya simbah yang kukenal dari kecil hingga aku besar; karena kami tinggal serumah dan ketiga simbahku yang lain sudah terlebih dahulu di panggil Allah. Semoga Allah tempatkan di sisi terbaikNya ya, simbah-simbah..

Simbah, yang hanya bisa kutemui sepekan sekali saat aku SMA itu (karena merantau) dan sebulan hingga dua bulan sekali saat aku duduk di bangku kuliah itu masih energik dan aktif bergerak walau di usianya yang memasuki angka 70. Bangun pagi-pagi, memasak ini itu, berkejaran dengan ayam, dan bermain dengan kucing. Ah ya, kalau melihat beliau dan semangatnya; terkadang aku menjadi malu sendiri. Bahkan di usiaku yang tergolong masih sangat muda ini, terkadang aku bermalas-malasan saja.

Setiap aku mudik, pasti tersemat semangat agar aku menjadi sebaik-baik anak dan cucu saat di rumah. Bangun pagi, membantu ini itu, banyak bercakap dengan Ibuk Bapak, banyak mendengarkan cerita simbah sambil menyeduh secangkir teh hangat, menunggu maghrib tiba. Namun terkadang, semua berjalan tak seperti rencana. Aku sering kelelahan, hingga saat tiba di rumah hanyalah energi sisa-sisa. Overaktif di kampus, kalau kata Bapak. Sehingga yang terjadi, saat aku di rumah aku banyak menghabiskan waktu untuk tiduran dan bersantai. Yah, gagal pencitraan. Sedih.

Ada satu momen di mana aku merasa bahwa simbah sangat merasa bahagia. Waktu itu adalah wisuda kakak perempuanku, Mbak Mifta. Kakakku ini hebat, dia berhasil meraih IPK terbaik di fakultas bahkan universitas. Alhasil, Ibu dan Bapak mendapatkan undangan khusus untuk menempati kursi kehormatan paling depan; yang memang diperuntukkan untuk orangtua dari putra putri terbaik peraih IPK Cumlaude. Kakakku sendiri maju untuk menjadi perwakilan ribuan mahasiswa yang diwisuda pada hari itu. Kebayang bangganya kayak apa? Hehe. Begitupun dengan simbah. Meskipun beliau tak bisa masuk ke GOR -karena undangan hanya untuk Ibu dan Bapak-, aku mengajak beliau untuk melihat streaming agenda wisuda di GOR Universitas di laptop. Beliau tampak antusias, apalagi saat giliran kakakku maju ke depan dan memberikan sambutan. Aku sendiri jadi baper gegara membayangkan kayaknya besok aku belum tentu bisa meraih pencapaian itu, hehe.

Nah. Pasca kakak wisuda, berarti giliranku kini yang skripsi. Ya, akhirnya aku mengalami juga; dengan segala lika dan likunya. Skripsi itu sebenarnya mudah, jika kita mau mengerjakan. Aku memang bertekad untuk lulus secepat mungkin yang aku bisa dan bersegera mempersembahkan toga untuk keluarga tercinta. Namun apa daya, akunya yang memang kurang cekatan hingga target 4 tahun itu harus sedikit molor menjadi 4,5 tahun. Walaupun jika dibandingkan dengan teman-teman sesama aktivis kampus, aku termasuk yang paling cepat; namun tetap saja, aku mengakui bahwa aku kurang cekatan dan bersegera waktu itu. Terlepas dari kilahan dan pembenaran yang kubuat-buat sendiri. Saat itulah simbah yang paling semangat mengingatkanku. Cara mengingatkan yang beliau berikan pun berbeda dengan cara yang lainnya yang langsung to the point, “kapan wisuda?”; kalimat yang terkadang langsung menghujam ke hati. Namun inilah yang beliau ucapkan padaku, yang terkadang membikin hujan lokal sesaat.

“Simbah isih diparingi umur dening Gusti Allah nggo nonton wisudamu, gak yo, Nduk?” (Simbah masih diberi umur oleh Allah untuk melihatmu wisuda nggak ya, Nduk?)

Maka terkadang jika aku mulai lemah dan kehilangan harapan, aku segera membuka catatanku dan membaca pesan itu. Aku akan segera wisuda mbah, akan kubawa simbah ke Jogja! 

Waktu berlalu, aku mengerjakan skripsi dan penelitian waktu tiba-tiba Bapak meneleponku. Pagi hari, rencananya aku akan mengkonsultasikan hasil penelitianku dengan seorang dosen. Sebentar lagi ujian. Namun kabar dari Bapak pagi itu begitu menggetarkanku.

“Mbak Rizki? Di Kampus? Pagi ini pulang ya....”

Perasaanku mendadak tak karuan, dan saat kutanyakan mengapa; Bapak menjawab,

“Segera pulang ya. Simbah sakit, simbah manggil nama mbak Rizki dari tadi. Segera pulang ya, mbak...”

Tanpa babibu lagi aku segera berkemas. Ah, bimbingan bisa lain kali. Aku segera menelepon travel dan bergegas. Beruntung, travel yang biasanya baru bisa dipesan 1x24 jam sebelum hari H itu, bisa segera kudapatkan; meski dengan serentetan omelan dari Pak Sopir karena teleponku yang mendadak. Aku hanya diam saja dan istighfar pelan-pelan. Terserah, Pak. Marahi saja, aku tak peduli. Yang kubutuhkan hanyalah pulang. Pulang. Pulang. Pulang. Sampai di rumah dan bisa melihat simbah. Itu saja, Pak. Itu saja. Bawa aku pulang. Segera.

“Kenapa mbak, kok mendadak pulang?” Tanyanya di tengah deras airmata yang tak bisa lagi kusembunyikan. “Simbah sakit, pak.” Jawabku datar dan tak mau menoleh. “Lha, udah tua po?”

Aku yang biasanya sopan dan manis pada orang lain; kali itu tak mampu menahan segalanya. Air mata ini begitu deras mengalir. Sangat deras hingga aku sendiri tak mampu membedakan mana tangis dan mana yang bukan. Perjalanan empat jam menjadi perjalanan yang panjang buatku. Saat kelelahan menangis, aku tertidur. Saat terjaga, aku kembali menangis lagi. Begitu seterusnya. 

Empat jam berlalu, masuklah mobil travel ke kota kelahiran. Sampai di gang menuju rumahku, kulihat kakak perempuanku -dengan mata sendu- menungguku.

Kenapa? Ada apa? Tak biasanya aku dijemput seperti ini. Pasti ada sesuatu yang tak beres.

Begitu aku turun, kakakku -yang biasanya gengsi menunjukkan rasa sayang itu- bergegas memelukku. Kami menangis bersama, padahal aku belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Begitu banyak orang di depan teras rumahku, ada tarub pelindung dari panas. Benar, ada keranda putih di sana. Adek laki-lakiku keluar, dengan tangis yang telah kering; tiba-tiba ia langsung memelukku. Belum pernah seperti ini. Kakaku ikut memelukku. Kami berpelukan bertiga dan menangis bersama. Hingga ada satu teguran halus dari tetangga,

“Ayo mbak, segera wudhu... sudah ditunggu Bapak untuk menshalatkan simbah.”

Menshalatkan untuk yang terakhir kalinya.

Rupanya Bapak sengaja menunggu kedatanganku untuk menshalatkan simbah. Tentu beliau tidak tega mengatakan bahwa simbah sudah tiada saat meneleponku. Simbah meninggal dengan tak terduga, karena pagi tadi beliau masih bugar-bugar saja. Masih sempat memasak nasi goreng yang siangnya masih dimakan adek -karena aku puasa- dan shalat subuh di awal waktu. Tiba-tiba saat memasak beliau merasakan punggungnya sakit dan minta dipijat. Beliau mengaduh sakit, dan segera Bapak membawanya ke IGD puskesmas terdekat. Sesampai di sana, tak berapa lama; beliau sudah tiada. Ibuk histeris menyaksikan wanita yang paling dicintai dan dihormatinya kini telah tiada...

Usai wudhu, kulihat Bapak dengan senyum tegarnya sedang menunggu. Kami bergegas. Adek berdiri di samping Bapak. Aku dan kakak mengikut di belakang. Hati kami sama sama gemuruh. Langit kami sama-sama mendung.

“Allahu Akbar...”

Siap memiliki, pasti harus sepaket dengan kesiapan untuk kehilangan. Suatu hari nanti. Sebab sejatinya, semua hal yang kita dapatkan di dunia ini adalah milik Allah. Semuanya hanya titipan. Sebagaimana layaknya sebuah titipan, bolehkah suatu saat tiba-tiba pemiliknya meminta dikembalikan? Tentu saja boleh. Sebagai orang hanya dititipi, kita tak boleh sedih. Apalagi marah dan berontak. Kita harus mengembalikannya pada pemiliknya dengan sepenuh ikhlas, dengan selaut lapang. 

Bersiap kehilangan berarti harus berhati besar untuk ikhlas merelakan. Karena sejatinya, hal-hal yang ditangisi hanya akan menambah kesedihan. Sesungguhnya semua telah Allah gariskan, telah Allah tetapkan. Dan, tidak pernah ada maksud dariNya untuk menyia-nyiakan hambaNya. Semua pasti sudah ditakar dan diberikan porsi-porsinya. Ia tak akan menguji diluar batas kemampun, kan?

“Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (Q.S Al Ankabut: 57)

Menangis identik dengan cengeng? Ah, tidak juga. Tinggal bagaimana kita menggunakan secara baik-baik salah satu anugerah yang telah Allah beri ini. Menangis itu sah-sah saja dan tak ada seorangpun yang melawan. Namun sahabat, pastikan bahwa tangis kita berkelas. Tangis yang hadir bukan karena tak mampu menghadapi kenyataan, melainkan tangis yang menjadi penguat langkah saat mulai lemah, penjernih hati di kala mulai goyah, dan sebagai sebaik-baik sarana agar kita bisa mendekat memanja kepadaNya saat menari dalam ibadah.

Saat bulir-bulir air mata berjatuhan, Ah.. mungkin Allah sedang rindu padamu :)

Nangis itu boleh; tapi jangan cengeng, Woi! 

Selasar perpustakaan universitas, saat hujan menderas mulai rintik kembali. Selesai ditulis tanggal 10 Oktober 2016 pukul tujuh belas lebih sepuluh. Semoga bermanfaat :)

Komentar