Lelaki Paling Romantis (Tulisan 4)

Dokumentasi Pribadi



Dulu, rumah kecilku banyak gambar dan lukisannya. Halaman depan juga penuh dengan patung-patung hewan. Ada macan, ada rusa. Patung-patung ini menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak kecil di sekitar kompleks RT kami. Hampir setiap sore, halaman rumahku ramai dengan anak-anak kecil seusiaku, diatasku, ataupun di bawahku; Ibuku membuka Taman Pendidikan Al Qur’an di rumah kecil ini!

Kami akan dikumpulkan di teras depan, lalu berdo’a bersama sebelum akhirnya satu persatu mengantri menghadap Ibuku untuk menyetorkan bacaannya. Aku dan kakakku turut bercampur dengan anak-anak kecil lain, Ibuku tak pandang bulu. Baru saat nanti teman-teman kami pulang, Ibu akan meminta kami kembali mengaji. Kakak sering menangis karena bacaannya sering salah dan ibu memarahi. Hihi. Aku? aku rajin mengaji makanya ibu sayang padaku dan jarang memarahiku.
“Ibu nggak mau kalau anak-anak ibu nggak bisa mengaji!”

Kau tahu? Rumah yang paling Allah berkahi adalah rumah yang didalamnya Al-Qur’an dihidupkan. Ia tak hanya berfungsi sebagai tempat beristirahat dan berkumpul dengan keluarga. Rumah adalah tempat pertama bagi tumbuhnya sebuah peradaban! Bersyukur karena sedari kecil Ibu mengajari kami seperti itu. Aku mau, suatu saat jika aku memiliki rumah sendiri; akan kubuka tempat belajar Al-Qur’an di sana. Akan kuajak anak-anak tetangga untuk berkumpul lalu bermain bersama. 

Saat sore tiba, akan kugelar karpet tebal; di sana anak-anak bisa berkumpul dan mendengarkan tentang kisah para nabi. Akan aku ajak remaja-remaja di kompleks untuk turut membantuku mengajari mereka a-ba-ta dan bercerita tentang para anbiya. Kusediakan perpustakaan kecil yang penuh ilmu untuk mengobati dahaga. Ya, aku mau punya rumah seperti itu. Sangat ingin.

Itu aku, mungkin akan lain denganmu, mungkin juga sama; atau bisa jadi beririsan. Kau pasti sudah menyiapkan konsep besar-besaran untuk pembangunan rumahmu. Maka pastikan, jika suatu saat kau akan membuat rumah; pastikan ia benar-benar tempat untuk menyemai peradaban. Bukan sekedar tempat istirahat dan melepas lelah, namun di rumah itu; mampu kau ciptakan pemimpin-pemimpin muda di masa depan. Mimpi yang besar, bukan?

Ohya, soal patung-patung hewan dan lukisan tadi. Mengapa begitu banyak berserakan di rumahku? Bapakku seorang seniman ternama. Setidaknya di keluarga kami. Bapak adalah seorang yang serba bisa; hampir semua pekerjaan bisa dilakukannya, termasuk hobi menggambar, melukis, membuat patung yang beliau pelajari sendiri secara otodidak. Bakat inilah yang kelak menurun pada adik laki-lakiku, dan mungkin juga aku yang kecipratan sedikit. Sedikit saja.

Ada sedikit kisah soal patung-patung dan lukisan ini. 

Kisah yang membuat seorang aku menangis menjerit tak karuan.

Sore itu, Bapak pulang dari suatu pengajian pekanan. Setibanya dirumah, beliau ambil cangkul dan mulai menghancurkan patung-patung yang susah payah ia buat sendiri itu. Aku yang saat itu masih kecil dan belum tahu apa-apa, kaget melihat apa yang dilakukan Bapak. Aku menangis meronta; mencoba mencegahnya, namun tak bisa.

Besok, aku bisa naik rusa-rusaan dan macan-macanan di mana? Nanti, apa yang harus kukatakan pada teman-teman mainku saat mereka main ke rumah dan tak menjumpai rusa dan macan yang sangat mereka sayangi itu?

Tak berhenti di situ, lukisan-lukisan indah yang kebanyakan bergambar orang itu Bapak copot.
Setelah tangisku reda, Bapak berkata, “Nggak papa, besok bisa lihat gambar rusa sama macan di buku gambar. Maafin Bapak ya.”

Apa yang Bapak lakukan sore itu baru kuketahui saat aku mulai bisa membaca buku dan menghadiri lingkaran pekanan. Meskipun ada perselisihan soal bab ini. Sebuah pengetahuan yang membuatku makin mencintai Bapakku. Pria paling keren di dunia ini yang pernah aku temui; belum ada yang bisa mengalahkannya. Ia yang selalu sukses membuatku jatuh cinta. Berkali-kali. Karena petuahnya, karena tindakannya, atau hanya sekedar pembawaan tenang dan senyum di bibirnya. Aku mencintainya, sungguh mencintainya.

Pria yang membangun rumah hangat ini dengan sepenuh cinta yang dimiliki. Pria yang banting tulang demi menghidupi isi rumah. Pria yang berusaha menghidupkan suasana dan mengatasi segala masalah serta marabahaya. Pria yang banyak diamnya namun banyak aksi dan kerja nyatanya. Pria yang tak langsung memarahiku saat aku berbuat salah; tapi bicara padaku pelan-pelan, atau lewat isyarat saja. Pria yang menjadi alarm pertama saat aku berbuat salah. Pria yang sangat takut jika aku mengecewakan orang lain; sedang mengecewakan dirinya sendiri tak menjadi masalah yang besar baginya. Pria yang siap berkorban jiwa raga, harta, dan nyawa demi anak-anak tercintanya.

Bapak adalah orang yang selalu memberikan teladan dengan tindakan. Bapak adalah orang yang selalu ada saat kami membutuhkan. Bapak adalah orang yang terkadang terlalu canggung untuk bertanya kabar pada kami –sebab kami yang tak memulai. Bapak yang diam-diam meneteskan air mata saat melihat kami melakukan suatu kebaikan dan pencapaian. Meski begitu, Bapak tegas saat mengambil keputusan. Bapak adalah orang yang obyektif; membela kami saat kami disakiti, namun juga memberi kami sedikit ‘pelajaran’ jika ternyata kamilah yang berbuat kesalahan. Bapak adalah rumah tempat kami berpulang. Bapak adalah bahu yang kekar saat kami ketakutan dan meminta perlindungan. –setelah Allah, tentu saja.

Pernah, suatu hari di sekolah dasar, ada dua anak laki-laki yang menyebalkan sekali. Penggaris milikku diambilnya, lantas besoknya bukuku yang disembunyikan. Jika tidak mengambil barang, mereka pasti mengajak diskusi namun diskusinya menyebalkan. Ah, tau apa anak SD soal diskusi? Sepulang di rumah, keduanya aku adukan kepada Bapak. Esoknya, Bapak datang ke sekolah dan menemui wali kelas. Namanya Wawan dan Fajar, ah aku masih ingat nama kalian. Saat kenaikan kelas, keduanya dinaikkan. Lalu aku merasa bersalah; jangan-jangan, gara-gara pengaduan yang kukatakan? Maka jika detik ini kalian membaca tulisan ini, mohon maafkan.

Komentar