Jalan ke Rumah (Tulisan 1)






Kau pernah kehujanan?
Aku pernah.

Jika suatu hari kau kehujanan, kedinginan, lantas kau menemukan sebuah tempat yang nyaman untuk berteduh; maka kau bisa menyebutnya rumah. 

Kau pernah kepanasan?
Aku sering.

Jika suatu hari mentari bersinar sangat terik serasa membakar kulitmu, lalu kau menemukan tempat yang tepat untuk melindungi diri; maka kau bisa menyebutnya rumah.

Atau, kau pernah merasa menjadi orang yang asing?
Aku juga pernah, dulu.

Jika suatu hari kau berada dalam kerumunan manusia yang ramai, berisik, dan kau merasa sendiri, tak mengenal siapapun. Semuanya tampak asing lantas kau merasa sendirian, terhempas dan terluka karenanya. Lalu, kau menemukan sebuah ruang di mana bertemu manusianya adalah menyenangkan dan membuat hatimu tenang, tak lagi was-was tak karuan; maka kau boleh menyebutnya rumah.
Rumah adalah tempat di mana kita mendapatkan kenyamanan. Juga, ketenangan.

***

Saat kau mengikuti peta yang kuberikan kemarin, motormu mungkin akan berhenti tepat di depan sebuah rumah dengan cat pagar warna putih. Tapi itu bukan pagar rumahku. Itu pagar rumah tetanggaku. Rumahku sendiri, ada disamping rumah pagar putih itu.

 Jika besok kau benar-benar sampai di tempat ini, kau harus berjalan ke kiri sedikit dan menemukan sebuah gang kecil yang menurun ke bawah. Ikuti saja gang itu hingga kau temukan pagar bercat hijau dengan banyak pohon di sekelilingnya. Buka saja pagarnya, Bapak tak pernah menguncinya. Beliau menguncinya rapat-rapat hanya saat sang malam tiba; sebab dengan terbukanya gerbang itu, tetangga-tetangga kami bisa melewatinya agar tak kejauhan saat berpergian ke rumah tetangga kami yang lainnya. Free entry. Jalan pintas.

Setelah masuk pagar, kau pasti akan menjumpai sebuah rumah berkeramik hijau yang pintunya selalu terbuka –kecuali di malam hari-. Namun kau harus berhenti sampai di situ. Jangan buru-buru masuk. Sebab meski pintunya selalu terbuka, kau tak boleh sembarang masuk seenaknya. Terbuka, bukan berarti kau berhak masuk kapanpun kau suka. Setidaknya, ucapkan salam dan ketuklah pintunya. Atau, kau bisa memencet bel rumah yang sudah dipasang Bapak sedari aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Beberapa tahun yang lalu. 

Kau harus tetap berhenti dan menunggu di situ. Hingga kau yakin ada seseorang yang menyambutmu dan menjawab salammu. Jika kau sudah mengetuk pintu, mengucapkan salam, dan memencet bel lebih dari tiga kali namun tak ada jawaban; berarti kau harus berbesar hati untuk pulang. Sebab bisa jadi memang sedang tidak ada orang di rumah. Atau, jika kau mau; kau bisa menunggu seseorang datang dengan duduk di kursi kayu yang sudah disediakan Bapak di teras depan. Duduklah menunggu di situ jika kau memang ingin bertemu penghuni rumahku hari ini. 

Oh iya, aku lupa. Agaknya aku sedikit berlebihan. Itu bukan rumahku. Sebenarnya itu rumah Bapak Ibuku. Aku belum punya rumah sendiri. Aku hanya (sok) mengklaimnya sebagai rumahku.

Rumah #1

Komentar