Kau
pernah kehujanan?
Aku
pernah.
Jika
suatu hari kau kehujanan, kedinginan, lantas kau menemukan sebuah tempat yang
nyaman untuk berteduh; maka kau bisa menyebutnya rumah.
Kau
pernah kepanasan?
Aku
sering.
Jika
suatu hari mentari bersinar sangat terik serasa membakar kulitmu, lalu kau
menemukan tempat yang tepat untuk melindungi diri; maka kau bisa menyebutnya
rumah.
Atau,
kau pernah merasa menjadi orang yang asing?
Aku
juga pernah, dulu.
Jika
suatu hari kau berada dalam kerumunan manusia yang ramai, berisik, dan kau
merasa sendiri, tak mengenal siapapun. Semuanya tampak asing lantas kau merasa sendirian,
terhempas dan terluka karenanya. Lalu, kau menemukan sebuah ruang di mana
bertemu manusianya adalah menyenangkan dan membuat hatimu tenang, tak lagi
was-was tak karuan; maka kau boleh menyebutnya rumah.
Rumah
adalah tempat di mana kita mendapatkan kenyamanan. Juga, ketenangan.
***
Saat
kau mengikuti peta yang kuberikan kemarin, motormu mungkin akan berhenti tepat
di depan sebuah rumah dengan cat pagar warna putih. Tapi itu bukan pagar
rumahku. Itu pagar rumah tetanggaku. Rumahku sendiri, ada disamping rumah pagar
putih itu.
Jika besok kau benar-benar sampai di tempat
ini, kau harus berjalan ke kiri sedikit dan menemukan sebuah gang kecil yang
menurun ke bawah. Ikuti saja gang itu hingga kau temukan pagar bercat hijau
dengan banyak pohon di sekelilingnya. Buka saja pagarnya, Bapak tak pernah
menguncinya. Beliau menguncinya rapat-rapat hanya saat sang malam tiba; sebab
dengan terbukanya gerbang itu, tetangga-tetangga kami bisa melewatinya agar tak
kejauhan saat berpergian ke rumah tetangga kami yang lainnya. Free entry. Jalan pintas.
Setelah
masuk pagar, kau pasti akan menjumpai sebuah rumah berkeramik hijau yang
pintunya selalu terbuka –kecuali di malam hari-. Namun kau harus berhenti
sampai di situ. Jangan buru-buru masuk. Sebab meski pintunya selalu terbuka,
kau tak boleh sembarang masuk seenaknya. Terbuka, bukan berarti kau berhak
masuk kapanpun kau suka. Setidaknya, ucapkan salam dan ketuklah pintunya. Atau,
kau bisa memencet bel rumah yang sudah dipasang Bapak sedari aku duduk di
bangku Sekolah Dasar. Beberapa tahun yang lalu.
Kau
harus tetap berhenti dan menunggu di situ. Hingga kau yakin ada seseorang yang
menyambutmu dan menjawab salammu. Jika kau sudah mengetuk pintu, mengucapkan
salam, dan memencet bel lebih dari tiga kali namun tak ada jawaban; berarti kau
harus berbesar hati untuk pulang. Sebab bisa jadi memang sedang tidak ada orang
di rumah. Atau, jika kau mau; kau bisa menunggu seseorang datang dengan duduk
di kursi kayu yang sudah disediakan Bapak di teras depan. Duduklah menunggu di
situ jika kau memang ingin bertemu penghuni rumahku hari ini.
Oh
iya, aku lupa. Agaknya aku sedikit berlebihan. Itu bukan rumahku. Sebenarnya
itu rumah Bapak Ibuku. Aku belum punya rumah sendiri. Aku hanya (sok) mengklaimnya
sebagai rumahku.
Rumah #1
Komentar
Posting Komentar
Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-