Bagaimana Perjalananmu? (Tulisan 2)

dokumentasi pribadi: srau beach



Perjalanan tadi sungguh menegangkan, bukan?

Kau pasti lelah, aku sudah mampu memprediksi itu. Perjalananmu pasti panjang, dan aku tak pernah tahu kau memulai perjalanan dari mana. Ah, atau lebih tepatnya: Aku tak mau tahu. Sesuai dengan perjanjian kemarin, aku cukup memberikan alamat rumahku tanpa mengizinkanmu bertanya sedikitpun padaku. Sekedar memberikan informasi “Aku sudah sampai di daerah ini” pun aku tak mau. Apalagi jika kau bertanya, “Sudah sampai daerah ini nih. Habis ini belok kemana ya?” Aku tak akan pernah membalas pertanyaanmu. Tidak akan pernah. Setidaknya untuk saat ini.

***
“Terimakasih, saya paham.”

Ucapanmu lamat-lamat terdengar di balik tirai saat aku menyodorkan kertas berisikan alamat rumahku pada seorang kakak untuk diberikan kepadamu. Jawabanmu sudah cukup menenangkanku dan membunuh rasa takutku: bahwa kau akan baik-baik saja selama perjalanan dan kau akan sampai dengan selamat.  Setidaknya sampai di depan pagar hijau itu.  Aku tak perlu lagi khawatir dan sok menanyakan “Sudah sampai mana?” saat kau dalam perjalanan nanti. Aku tak mau. Aku harus membunuh dengan tega rasa khawatir yang memang fitrahnya terselip dalam hatiku itu.

***
Bagaimana perjalananmu?

Jalan menuju rumahku memang tak seperti jalan-jalan yang biasa kau lewati. Atau, mungkin kau sudah terbiasa namun aku tak tahu menahu soal itu. Agak berkelok, dengan tikungan yang tajam di sebelah kanan dan sebelah kiri. Meskipun begitu, di balik terjalnya jalan menuju rumahku, jika kau mau melihat ke arah kanan dan kiri; pasti kau akan takjub akan keindahan alam yang Allah beri.

Ohya, beberapa orang yang tak terbiasa menuju daerah rumahku, bisa dipastikan akan mabok darat. Kau mabok tidak? Ah. Aku lupa. Aku tak akan menanyakan pertanyaan konyol itu padamu. Aku tak peduli nanti kau sampai dalam keadaan lemas karena mabok darat atau tetap tegak dengan terpaan angin kencang. Aku harap kau mengamalkan prinsip qowwiyul jism-fisik yang kuat- yang sama-sama kita pelajari itu. Bahwa mukmin yang kuat, lebih Allah cintai dari mukmin yang lemah.

Aku bersyukur sekali tinggal di sini. Kau tahu? Bapakku sering mengajakku berkeliling naik motor saat kecil. Daerahku masih asri, kau bisa hirup udara sedalam mungkin di sini tanpa harus takut terkontaminasi dengan polusi. Sebenarnya, kami sekeluarga tak berasal dari daerah ini. Ibu dan Bapak sama-sama berasal dari sebuah kota di Jawa Timur. Keduanya saling tak mengenal saat di kota yang sama dulu. Mereka sama-sama ditempatkan oleh pemerintah di daerah asriku ini. Lalu mereka bertemu di sini dan memutuskan untuk membangun bahteranya. Lalu lahirlah aku di tempat ini,  dengan sepenuh cinta dan bahagia.
***

Rumahku hangat, sehangat penghuninya. Kami hanya berenam, lalu 2015 lalu –sebelum aku mengenakan toga-, nenek yang amat kucintai yang merupakan ibu dari Ibu, dipanggil Allah terlebih dulu. Allah lebih menyayanginya. Ialah sosok yang membesarkanku hingga menjadi seperti ini. Mengusap tangisku saat aku kecil, membawaku berjalan-jalan membeli jajanan, memasakkanku aneka makanan kesukaan, bercengkerama akrab dengan panggilan kesayangan, dan selalu membuatku rindu! 

Tiap soreku adalah untuknya, saat aku dengan bersemangat membuatkan teh hangat untuk kami berdua. Lalu kami sama-sama duduk di teras depan rumah sambil membicarakan ini itu. Beliau yang lebih banyak bicara, sedang aku mendengarnya dengan seksama. Seputar kejadian sehari-hari, tetangga, ayam, hingga sinetron kesayangannya. Ah, banyak kenangan indah bersama beliau. Meski aku tak disisi beliau saat sang Izrail menunaikan tugasnya, aku yakin, beliau mencintaiku lebih dari apapun, dan aku juga mencintainya dengan segenap jiwa.

Hanya satu yang kusesalkan, mengapa aku tak sering pulang untuk menjumpa wajah senjanya. Kesibukan kuliah dan organisasi membuatku pulang paling cepat satu bulan, padahal jika aku mau; bisa saja tiap minggu aku menyempatkan pulang ke rumah bercat hijau itu.

Maka aku berpesan padamu. Jika masih kau memiliki seorang nenek atau kakek; atau siapapun keluarga yang kau cintai, jaga betul mereka. Kasihi dan hormati mereka. Pun jika mereka sudah dipanggil,Sang Esa, rutinkan untuk mendoakannya. Sebab kita tak pernah tahu, kapan kesempatan itu berulang. Berikan yang terbaik. Jangan sampai menyesal seperti aku.

***

Komentar