Tentang Cinta, Cerita dan Sejarah yang Menghidupkan Jiwa: Secuil tentang Api Tauhid (Bagian 1)






Setelah mengucapkan salam dan berbasa-basi, Syaikh Bakhit bertanya, “Apa pendapatmu tentang kebebasan yang ada di Negara Turki Utsmani dan peradaban Eropa?”

Dengan spontan, Said Nursi menjawab, “Negara Turki Utsmani saat ini sedang mengandung janin Eropa dan suatu saat nanti akan melahirkan pemerintahan cara Eropa. Sedangkan Eropa sedang mengandung janin Islam, dan suatu hari nanti akan melahirkannya!”

--- dalam Api Tauhid karya Habbiburahman El Shirazy, halaman 310
               
                Ternyata benar; belajar bisa kita dapatkan darimana saja, dari siapa saja. Inilah poin yang benar-benar saya tangkap selepas membaca “Api Tauhid” karya Ayahanda Habiburahman El Shirazy. Lho kok bisa? Iya, sebab ada banyak sekali ilmu pengetahuan; khususnya sejarah yang membuat saya mengangguk-anggukkan kepala dan berdecak kagum ketika membaca novel ini. Mulai dari sejarah seorang ulama besar bernama Baiduzzaman Said Nursi, silsilah dan sejarah kekhalifahan Turki Utsmani hingga runtuhnya, hingga sejarah berdirinya Negara Israel di Palestina. Seharusnya, sejarah-sejarah macam ini bisa langsung kita dapatkan dengan membaca biografi dan sejenisnya. Membaca sirah dan sejenisnya. Namun nyatanya, saya sendiri mengakui; bahwa walaupun sudah sebesar ini belum begitu memahami tentang sejarah-sejarah itu. Baru paham saat membaca lembaran demi lembaran novel ini. Hastag #WoiKemanaAja mungkin tepat dilabelkan pada saya saat ini. Sedih, ya. Padahal buku-buku berjajar rapi, padahal pintu perpustakaan luas terbuka, padahal di era Z ini segalanya bisa diakses serba cepat dan tepat –walau kadang tak akurat.

Karena, tak semua bisa disampaikan dengan kata-kata. Sama halnya; adakalanya, ada orang yang perlu membaca novel dulu untuk memahami sesuatu.

Tak semua orang gemar membaca. Pun, dari sedikit yang gemar membaca itu tak kesemuanya lantas menyukai segala bacaan. Ada yang memang penggila sejarah, ada penyuka novel dan roman, ada yang penyanjung ensiklopedi, juga ada pula yang betah berjam-jam membaca puluhan komik. Nah, di sinilah peran penting seorang penulis; bagaimana pandai-pandainya ia untuk menyisipkan  “hal-hal baik” dan “pesan positif” yang ingin disampaikan paragraf demi paragraph, sikap, laku, maupun tutur kata sang tokoh utama dan kawan-kawannya. Maka hari ini saya sangat senang dengan bermunculannya bacaan-bacaan asyik yang sarat nilai positif, sebut saja novel dan komik Ghazy, Pingin Jadi Baik, Komik Bukhari Muslim, jutaan novel dan karya tulis lainnya yang mengagumkan. Dan kerennya, ini adalah produk lokal! Indonesia, dan musim.

Saya jadi teringat novel genre remajanya bunda Asma Nadia yang berjudul Aisyah Putri. Cerita singkat tentang seorang gadis belia yang beranjak dewasa beserta empat abangnya yang berbeda-beda karakter itu ternyata banyak mengubah anak-anak gadis seusianya! Saya menemui satu, dua adik (di kampus) yang mengaku sangat terinspirasi oleh tokoh Aisyah Putri ini. Dan tak menutup kemungkinan, perjalanan hijrah (menjadi lebih baik) mereka ditemani dan dipengaruhi oleh tokoh fiktif itu. Kamukah salah satunya?

Ada yang menghidupkan dalam sebuah cerita!

Inilah mengapa, para ayah dan bunda juga calon-calonnya (ehehe) dianjurkan untuk banyak berlatih bercerita untuk anak-anaknya kelak. Karena anak-anak suka dengan cerita dan mau tak mau kita sebagai orangtua harus memberikan cerita-cerita terbaik untuk mereka. Sebab, cerita-cerita itulah yang akan menjadi semangat dan membantu membentuk idealisme hidup mereka ke depan. Seorang anak yang diberikan cerita tentang Cinderella tentu akan banyak membayangkan tentang seorang putri yang tertinggal sendalnya di sebuah istana saat berdansa dengan sang pangeran. Dan seperti kebanyakan kisah dongeng barat- endingnya selalu sama; akhirnya si putri cantik jelita bertemu dengan sang pangeran idaman. Lalu apa? Ya, benar: mereka hidup bahagia selamanya. And finnaly they lived happily ever after. What a sweet story, right? Padahal kehidupan tak selamanya mulus seperti itu, kadang ada suka dan duka; dan kita harus siap mengarungi kesemuanya.

Sementara, seorang anak yang semenjak kecilnya sudah diperkenalkan tentang orang-orang yang harus mereka kenal sejak awal: Rasulullah dan sahabat, pasti akan memiliki cita-cita dan semangat besar seperti apa yang ia dengar. Selayak sultan Murad II yang semenjak kecil sudah terbayang-bayang sebuah janji besar, “Konstantinopel akan ditaklukan oleh Islam! Panglimanya adalah panglima terbaik, dan pasukannya adalah pasukan terbaik.” Cita-cita yang berasal dari dongeng turun menurun dalam lingkungannya, membuat Al Fatih kecil memiliki semangat membara untuk mewujudkannya. Lalu benar, suatu hari konstantinopel berada dalam pelukan Islam dibawah sebuah ekspansi yang dipimpin oleh sebaik-baik panglima dan sebaik-baik pasukan. Ialah sang penakluk, Muhammad Al Fatih. 

Juga kisah tentang betapa heroiknya para sahabat di medan perang. Bahwa syahid di jalan Allah lebih mereka cintai dari gelimangnya harta. Ya, secara duniawi mungkin tak pernah kita dengan and then, they lived happily ever after, namun secara ukhrawi kita menanamkan dalam otak kita dalam-dalam: Cita-cita surga adalah yang pertama dan utama! Sehingga, berbuat baik dan bersungguh dalam beribadah menjadikan langkah kita lebih teratur dan tak mudah kecewa oleh luka yang dibuat oleh dunia.

Lalu, cerita apakah yang kelak akan kita ceritakan pada anak-anak kita?

Kembali ke Api Tauhid, saya akan sedikit meresensi, lebih tepatnya memberikan cuplikan sedikit mengenai mengenai isi bukunya. Sebab rasanya jika meresensi, tak cukup berlembar-lembar halaman menuliskannya. Bisa-bisa nanti saya tulis semua, hehe. 

 Novel-novel karya Kang Abik seringkali disebut sebagai Novel Penggugah jiwa. Sebab, benar-benar menggugah dan membangkitkan jiwa; semangat kita dalam berislam, untuk lebih mencintai Al-Qur’an, dan sejuta manfaat lainnya. Seperti novel-novel sebelumnya, tokoh utama dalam novel ini adalah seorang pemuda yang kuliah di luar negeri dan digambarkan sebagai sosok yang teramat sempurna. Seperti Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta, Azzam dalam Ketika Cinta Bertasbih, atau Ayyas dalam Bumi Cinta. Tokoh utama yang digambarkan dalam novel ini bernama Fahmi, seorang pemuda Indonesia yang berasal dari tepi danau Ranu Klakah, Tegalrandu, Lumajang Jawa Timur. Dikisahkan, Fahmi ini belajar di Universitas Islam Madinah. Selain ganteng, Fahmi digambarkan sebagai seorang pemuda yang hafal qur’an, cerdas, dan seorang yang teramat lurus menjaga kesuciannya –bab interaksi dan lain sebagainya. Fahmi suka belajar dan sangat senang terhadap sejarah.

Diawal, dikisahkan Fahmi yang terus-terusan memuraja’ah bacaan Al-Qur’annya di masjid dan tidak pernah keluar kecuali untuk makan minum dan buang air. Setelah diselidiki, ia ingin mengkhatamkan hafalan Qur’annya sebanyak 40 kali di masjid. Ali- sahabat sepondok sejak di Indonesia, dan Hamza- kawan dari Turki, tentu saja cemas akan kondisi kesehatannya. Ada apa dengan Fahmi? Pada akhirnya, Fahmi ambruk dan dibawa ke rumah sakit; barulah kemudian ia bercerita, memang ada masalah besar dalam hidupnya, dan ia inginkan Al-Qur’an saja yang menjadi pengobat hatinya. Jadilah khataman 40 kali dengan hafalan yang terinspirasi dari kyai dari krapyak, Kyai Munawwir menjadi pilihannya.

                Fahmi- yang memang tampan luar dalam itu, ternyata ada yang meminang. Bukan seperti kebanyakan laki-laki yang meminang duluan gadis pujaannya; Fahmi justru dipinang oleh keluarga perempuan. Ini dikarenakan ketinggian ilmu dan akhlak Fahmi yang sudah terkenal di seantero desanya. Wis ganteng, hapal qur’an, kuliah di luar negeri, kurang apalagi? Eman-eman kalau nggak segera ditanyakan. Mungkin kalimat ini yang mampir dalam pikiran setiap orangtua di daerah Fahmi yang memiliki anak gadis.

                Akhirnya, pada suatu hari datanglah pak Lurah, bu Lurah dan membawa anak gadisnya –Nurjannah untuk datang menyatakan maksud baik untuk menikahkan putri mereka dengan Fahmi. Fahmi yang teryata belum berkeinginan untuk menikah ini tentu sangat kaget dan meminta waktu untuk mendiskusikannya dengan keluarga. Ibunya sepakat dan sudah cocok dengan sang gadis, namun sang Bapak adalah seorang yang demokratis: meminta Fahmi untuk beristikharah sebelum kemudian memberikan jawabannya.

                Belum usai istikharah Fahmi, beberapa hari berikutnya datang keluarga kyai Arselan. Ulama besar didaerahnya itu awalnya mengabari untuk mampir ke rumah dan Fahmi sekeluarga merasa senang. Namun ternyata, kedatangan Kyai Arselan yang membawa serta Nyai (istrinya) dan anak gadisnya yang bernama Nuzula itu membawa maksud lain: meminta Fahmi untuk menjadi menantunya.

Langit terasa hitam, Fahmi bingung kuadrat. Belum usai ia memutuskan jawaban untuk Nurjannah, kini datang Nuzula yang jelas-jelas adalah keturunan Kyai yang sudah bisa dipastikan bebet, bibit, dan bobotnya. Fahmi yang galau luar biasa- akhirnya menyerahkan urusan itu sepenuhnya kepada keluarganya; setelah istikharah panjangnya. Semua berkesimpulan bahwa memang Fahmi sudah saatnya menikah dan harus memilih salah satu dari mereka. Akhirnya, diputuskan; Fahmi akan meminang Nuzula – putri kyai Arselan. Keluarga Nurjannah memaklumi.

Akad tiba, namun ada perjanjian bahwa mereka akad kemudian berpisah menuntut ilmu di tempat masing-masing. Fahmi di Madinah dan Nuzula di Jakarta. Kyai Arselan menghendaki begitu agar Nuzula lebih terjaga di ibukota karena sudah merasa memiliki suami. Fahmi awalnya menolak karena merasa janggal; namun pada akhirnya mengiyakan, setelah diberi jabaran panjang demi kemaslahatan. Jadilah bakda akad, mereka kembali ke tempat belajar masing-masing.

Fami begitu bahagia memiliki seorang istri, hari-harinya dipenuhi dengan pikiran tentang kekasih halalnya tersebut –karena sebelumnya Fahmi memang belum pernah pacaran atau interaksi intensif dengan lawan jenis. Namun agaknya, Fahmi bertepuk sebelah tangan. Sebab, setiap kali sapaan hangatnya menyapa Nuzula, istrinya yang masih gadis itu menjawab dengan sekedarnya saja. Jawaban singkat-singkat, yang kemudian dimaknai Fahmi sebagai pemakluman, sebab Nuzula sibuk belajar. Namun, kekecewaan kemudian melanda hati Fahmi saat tiba-tiba Nuzula mengirimkan sebuah pesan,

“Mas. Sudah, jangan hubungi aku lagi.”

Fahmi meradang; apa salahnya? Bukankah ia adalah suami sah dari Nuzula? Apa yang telah terjadi?

Fahmi makin meradang saat datang telepon dari Kyai Arselan – mertuanya; agar menceraikan Nuzula, istri sah yang bahkan belum disentuhnya sama sekali itu. Apa salahnya? Mengapa?

Fahmi berkecamuk; bergelut dengan pikirannya sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi?

-Bersambung, in syaa Allah-


Special thanks: 
 Dian Puspita – atas pinjaman novelnya, hehe. 
Sitty Maesyaroh - atas kesepakatan, kesempatan, dan tantangannya “One Week One Book Review- untuk menghidupkan kembali semangat membaca buku yang telah tergilas dengan ribuan chatt whatsapp dan media sosial lainnya. 
Mbak Mifta Damai Riyaningtyas - yang menginspirasi atas kegilaannya dalam membaca yang luar biasa, “Hei, berapa kecepatan bacamu?” 
Mela Melinda - sudah sampai halaman berapa? 
Asih Handayani - Rindu ceracau tulisanmu, apa kabarnya? 
Penggerak literasi dan menulis -penggila baca yang lainnya- , sahabatku Cielo Blu, Astaman Satri, Restia Ningrum, kutunggu tulisan-tulisanmu. 
Partner kamar yang kecepatan bacanya juga luarbiasa, Hani Farida - tantangan menulis kemarin, sudah digarap belum?  
Nibras Isty Putri; mau refreshing baca ini nggak? :) 
 
Juga seluruh sahabat penulis yang tak bisa disebutkan dan dimention satu-satu, serta pembaca budiman yang setia memberikan kritik dan saran bagi perbaikan penulis kedepannya.
 
Semoga bermanfaat, mari membaca lagi. Mari tumbuhkan semangat itu lagi :) 
 
Pacitan, 1 Februari 2017 Rizki Ageng Mardikawati 
 
*Boleh baca tulisan-tulisan yang lainnya di gubuk sederhana saya: www.edogawakeepsmile.blogspot.com



sumber: google.com; belum sempet foto sendiri ^^

Komentar