Bisakah Aku
Bersabar, Bu?
Sabar adalah
pengikat.
Sabar adalah
pengingat.
Bahwa kita;
tercipta untuk membawa misi perbaikan. Misi perdamaian.
Maka,
bersabarlah kamu dengan sabar yang baik
:) :) :)
Ibu, apa kabar hari ini?
Aku mendengar dari kakak, bahwa hari
ini kau bersama Bapak dan juga kakak adik pergi bertamasya. Liburan kantor. Ah,
di usiamu yang menginjak kepala lima ini tentu sebenarnya engkau sudah lelah
bekerja; iya kan, Bu? Namun kau tak pernah menampakkannya. Yang kami tahu;
adalah engkau yang masih saja rajin berangkat ke kantor tempat bekerja, padahal
Bapak juga sudah bekerja. Maafkan kami ya, Bu. Demi membahagiakan dan
menyekolahkan kami tinggi-tinggi, engkau harus berlelah-lelah begitu.
Maka saat pesan whatsapp ku pada kakak
dibalasnya dengan, “Masih nungguin Ibuk nih. Belanjanya lama.”, aku paham, Bu.
Ini adalah liburan milikmu. Dan engkau, berhak refreshing atas itu. Sebab kerja
yang jadi rutinitasmu sungguh menguras energi dan perasaanmu. Ya, walaupun
terkadang jika aku yang berada di posisi kakak; aku juga tak sabar menunggu.
Lalu merajuk dan cemberut saat kau kembali, seperti beberapa waktu yang lalu.
Saat itu liburan kantor, dan aku
terpilih menemanimu. Ada momen di mana Ibu pergi berbelanja begitu lama di
suatu pusat oleh-oleh –dan jahatnya, aku tak mau menemanimu. Sebab aku tahu,
pergi dengan Ibu pasti lama. Dan aku, bukanlah tipikal anak yang suka
berjalan-jalan hanya demi melihat-lihat barang. Aku memilih menunggu dalam bus
sambil membaca buku. Saat itu jam terus berputar, dan satu persatu personil bus
menempati posisinya. Saat bersiap; lalu segera berangkat.
Tunggu! Di mana Ibu?
“Ibu mana, dek?”
Sapa seorang bapak-bapak yang berada di
tepat di bangku seberang kita.
“Sepertinya masih di dalam toko, Pak.”
Aku menjawab lirih, malu. Ibu, jangan lama-lama.
Satu menit, dua menit, sepuluh menit,
setengah jam, kau belum muncul juga. Ibu kemana?
Pesanku belum dibalas, nomormu tidak
aktif. Oh, mungkin ponselmu mati. Satu jam berlalu dengan berbagai kasak kusuk
dibelakangku. Membicarakan keterlambatanmu. Aku menunduk saja. Aku tak mau
mendengar semua itu. Aku memang sebal kau datang terlambat, namun jika
orang-orang membicarakanmu, aku lebih sebal lagi. Sebalku bisa berlipat-lipat.
Namun larik yang kubaca tadi seakan menegur ketidaksabaranku.
“Maukah engkau bersabar? Dan Tuhanmu Maha Melihat…”
Kini yang bisa aku lakukan adalah terus
bersabar; menunggu kehadiranmu.
Tak berapa lama kau datang, dengan
belanjaan penuh di tangan kiri dan kanan. Aku bergegas membantumu, namun masih
dengan menunjukkan wajah cemberutku. Aku gagal menyembunyikannya. Payah!
“Alhamdulillaah!”
Seketika seluruh penghuni bus berseru.
Oke, pasukan lengkap. Saatnya armada meluncur menuju tempat wisata berikutnya.
Engkau duduk di sampingku setelah
meletakkan belanjamu. Aku menunduk. Masih saja menunduk. Kau mendekat,
sepertinya melihati wajahku yang terus kutekuk ke dalam itu. Tanganmu meraih
daguku,
“Nduk, kamu kenapa?”
Aku diam saja. Menahan kuat-kuat agar
buliran yang mati-matian aku jaga agar tak jatuh ke bawah ini bobol pertahanannya.
“Kamu nangis?”
Tanya Ibu lagi. Kini bobol sudah
pertahananku. Buliran itu meluncur deras.
“Kamu marah sama Ibu?
Tangisku makin deras.
Ibu, tahukah Ibu?
Pertanyaan-pertanyaan Ibu semakin membuatku merasa bersalah. Inilah yang
membuatku menangis. Aku marah pada diriku sendiri. Marah kepada diri yang payah
ini. Marah pada diri yang sudah sebesar ini, namun tak bisa bersabar bahkan
pada Ibu; wanita yang kunci surgaku ada padanya. Bagaimana aku bisa marah pada
Ibu? Bagaimana bisa!
Tangisanku makin menjadi.
Sepanjang perjalanan aku tak mau bicara
sepatah katapun. Aku menangis tanpa suara di bahumu. Entah, apa yang Ibu
pikirkan. Yang aku tahu, Ibu ikut menangis melihatiku menangis. Ini membuatku
makin menjadi.
Tangisanku berakhir dengan tertidur di
pangkuanmu.
Ada surga di telapak kakimu,
Lambangkan mulianya dirimu.
Buka pintu maafmu,
Membawaku ke surga
Ah, maafkan aku, Bu. Maafkan atas
ketidak sabaranku yang sudah-sudah.
Ibu, aku jadi takut.
Takut jika aku belum menjadi orang yang
bersabar.
Terhadap orang yang bertahun-tahun
bersabar menghadapiku saja, aku masih kurang sabar. Bagaimana dengan orang
asing yang sama sekali belum kukenal nanti, Bu? Apakah aku bisa bersabar
padanya? Apakah Ia akan bisa bersabar terhadap tingkahku?
Ibu… maaf ya. Ibu mau kan, memaafkanku?
Besok kalau aku pulang, mau ku pijit
kan, Bu?
Yogyakarta, 26 Desember 2016
Rizki Ageng Mardikawati
Sebuah #kado untukmu di tahun 2017, insyaAllah Bu...
Komentar
Posting Komentar
Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-