Ummi kemana saat aksi 4 November 2016 kemarin?



Ummi…

Ummi kemana saat aksi 4 November 2016 kemarin? 

Aku dengar cerita; bahwa hari itu berkumpul muslim dari segala penjuru negeri.
Benarkah itu Ummi?

Mereka bersatu padu –tak peduli apa warna kulit dan baju mereka-; menyuarakan tujuan yang satu.
Al-Qur’an, Ummi. 

Kitab yang selalu kau ajarkan padaku siang dan malam, kitab yang kau kenalkan padaku sedari aku masih di kandunganmu. Menyenandungkannya saat meninabobokanku dan menenangkanku saat aku mulai menangis. Memintaku untuk melafalkan a-ba-ta saat aku mulai bisa bicara, dan kini; menagih setoran hapalanku kala sore hari bersantai bersamamu.

Aku dengar, yang mereka –ummat muslim segala penjuru- suarakan adalah tentang Al-Qur’an. Mereka datang dari segala penjuru; dengan pesawat, dengan mobil, dengan bus, dengan kereta, dengan motor, dengan sepeda, bahkan beberapa di antaranya: dengan berjalan kaki.
Bersama mereka, hadir pula para asatidz yang sering memberikan hikmah di forum-forum ilmu. Mereka datang dengan tawadhu’, berbaur dengan ummat. Bersatu padu menyuarakan tujuan yang satu.

Aih, aku jadi iri, Ummi. Andai aku berada di masa itu; tentu aku menjadi salah satu di antara rombongan itu.


***
Ummi, kau sering bilang padaku; bahwa agama ini agama yang cinta damai. Agama ini adalah agama yang penuh kasih dan sayang. Seperti yang kau ceritakan; bahwa dahulu, ada seorang Yahudi tua yang selalu mencela dan menghina Rasulullah. Ia tua dan buta, tapi mulutnya selalu mengatakan ini itu yang tak baik tentang Rasulullah. Apa yang Rasulullah lakukan mengetahui itu semua, Ummi? Kau bilang, Rasulullah malah tersenyum menghampirinya. Menyuapinya dengan lembut, makanan baik yang dibawanya dari rumah. Sambil menyuapi, Rasulullah bersabar mendengar semua celaan tentangnya dari mulut si Yahudi. Suatu hari saat Rasulullah meninggal, ia digantikan oleh sahabatnya. Tersadarlah si yahudi buta, bahwa orang yang menyuapinya tiap hari telah berganti. “Ia telah meninggal.” Jawab Abu Bakar. “Ia adalah Rasul Allah yang selalu kau kata-katai setiap hari.” Yahudi buta kaget, lalu kemudian bersyahadat.

Iya. Agama ini agama yang begitu indah ya, Ummi? Aku bisa merasakan kesejukannya dalam hari-hariku. Namun, pada peristiwa 4 November itu, apa yang sebenarnya terjadi, Ummi?
Lantas kau tersenyum padaku. Memelukku dengan erat dan hangat. Lalu kau mulai berkisah…
Kau bilang dengan lembut, “Nak, agama ini memang cinta damai… Namun ia juga punya izzah –kehormatan-, yang harus dibela saat ada yang menghinakannya…”

Aku berkerut. Membelanya dengan cara apa, Ummi? Apakah dengan membalas dengan perbuatan yang sama?

Kau tersenyum lagi.

“Tentu tidak, Nak. Lalu apa beda kita dengan mereka saat melakukan hal yang sama?”

Ya Ummi. Sekarang aku paham. Lalu teringatlah aku pada sosok-sosok sahabat yang gagah perkasa; Umar bin Khattab yang syaithan saja memilih jalan lain saat berpapasan dengannya. Atau Hamzah, sang singa padang pasir. Atau Khalid bin Walid, pedang Allah.. kesemuanya adalah orang yang tegas saat harus membela agama; namun hati mereka lembut dan selalu terbimbing dalam kebenaran.

Aku dengar, saat itu kau memang tak bisa menghadirkan raga di aksi damai 4 November itu bersama teman-temanmu. Namun, kau melakukan hal lain untuk mendukung mereka yang sedang berjuang menuju istana Negara. Kau berkumpul bersama teman-temanmu, sama-sama berdo’a dan melantunkan ayat suci bersama. Mengagungkannya. Melesapkannya dalam hati dan jiwa. Lantas terus memantau kondisi di sana; berharap ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk membantu berjuang, walaupun hanya berupa melangitkan do’a…

Aku menangis saat kau mulai bercerita; bahwa ada beberapa ulama dan ustadz yang terkena gas air mata oleh aparat keamanan. Padahal, sang jenderal sudah meminta menghentikan. Allah… itukah para guru yang selalu Ummi usahakan untuk hadiri forum ilmunya pada waktu itu? Tentu ummi lebih sesak. Tentu ummi lebih sedih. Aku yakin, saat mendengar kabarnya, ummi pasti menangis.
Tangisku makin menjadi saat kau bercerita; bahwa saat ribuan-jutaan muslim bersatu padu; muncullah berita-berita miring yang melemahkan ummat. Tentang ummat yang beginilah, yang begitulah. Rabb… mengapa muncul berita-berita semacam itu? Apalagi media-media dan televisi-televisi itu. Pantas saja kau memintaku untuk banyak membaca buku daripada menatap kotak hitam itu.

Namun pada akhirnya –seperti yang selalu kau bilang; semua berakhir damai. Negosiasi dilakukan oleh para pemimpin ummat di Istana. Tentu dengan sepenuh sungguh. Lalu usai itu, keluarlah statement yang menenangkan ummat.  Tak terbayangkan seperti apa suasana saat itu, Ummi. Aku merinding sendiri mendengar ceritamu. Aih, sekali lagi; jika aku ada di masa itu, pasti aku hadirka ragaku bersama gelombang ummat itu, bersama berpadu memperjuangkan agamaNya.

Benar Ummi.

Benar seperti yang kau katakan padaku.

Agama ini memang tidak butuh kita bela. Allah sama sekali tidak butuh kita bela. Al-Qur’an ini sama sekali tidak butuh kita bela. Namun, kitalah yang butuh untuk membelanya! Kitalah yang butuh untuk selalu didekatNya dan memperjuangkan agamaNya! Agar tersingkap sesiapa kaum yang diam dan duduk; agar terlihat siapa kaum yang bergerak dan berangkat! Agar terterang siapa yang lari dari medan pertempuran.

Lalu aku melihatmu menangis Ummi; menyatakan segala kelemahanmu dan ketidakberdayaanmu waktu itu. Kau merasa belum melakukan apapun di hari penuh bersejarah itu. Namun segera engkau bangkit, kembali memelukku. Memintaku untuk menjadi pejuang yang berjuang dengan sepenuh kepahaman ilmu; lalu saat panggilan-panggilan serupa kembali datang, Aku akan berteriak dan pertama kali menjawab dengan sepenuh keyakinan: Aku akan datang!

Kau mengelus rambutku, kembali mengingatkanku. Ya, banyak bekal yang harus aku siapkan. Aku harus rajin belajar, aku harus dekat dengan Al-Qur’an, aku harus sering datang dan memahami bahasan di forum ilmu. Aku harus mengimbangi semangatku dengan akhlak dan kepahaman yang benar. Iya, Ummi. Aku akan berjuang. Tidakkah kau melihat kesungguhan dalam dadaku? Sorot mataku, Ummi. Lihatlah aku; sudahkah meyakinkan bahwa aku tidak main-main dengan ucapanku?
Bahkan burung-burung yang terbang, ikan-ikan di lautan, dan semut-semut yang berjalan beriringan pun menyatakan keberpihakannya. Keberpihakannya di jalanNya. Mereka senantiasa bertasbih dan berdzikir memperjuangkan kalimatNya. Apakah aku akan diam saja?

Tidak Ummi. 

Kelak kau akan menyaksikanku; sebagai seorang pemuda kokoh yang berada di garda terdepan barisan itu.

Yogyakarta, 5 November 2016
Rizki Ageng Mardikawati
 
Sudahkah kita menyiapkan diri?

Komentar