S2 karena Allah, kan? (Bagian pertama)





“Kamu lanjut S2, Ki?”

Tanya seorang teman pada suatu hari; saat berpapasan di jalan. Saya nyengir, sambil bilang;

“Gosip dari mana, eh? Hehe.”

Temen saya manyun. Wkwk. Selesai sudah urusan.
Besoknya lagi, ada yang nanyain lagi.

“Ukiii... kamu S2 toh, kok nggak bilang-bilang?”

Temen saya udah excited banget itu nanyanya. Saya? Sayanya juga nggak kalah excited, njawab dengan penuh ekspresif juga,

“Masaaaa? Kamu tau dari siaapaa?”

Abaikan percakapan alay ini.

                Well. Sepandai-pandainya seorang manusia menyembunyikan suatu rahasia; kelak akan diketahui juga. Kalau nggak di dunia, ya di akhirat sana. Iya nggak, sih? Hehe. Namun dalam konteks ini, rahasia yang telah terlanjur dibocorkan pada satu-dua orang, sudah bukan rahasia lagi namanya. Ya karena udah ada yang tahu, hehe. Dan itu terjadi pada rahasia yang hidup-hidupan saya jaga. Eh, kok hidup-hidupan? Iya, sebab saya nggak pake acara mati-matian pas menjaganya. Alhamdulillaah yaa :D

Ceritanya, saya lagi mau main detektif-detektifan. Pasca lulus dan wisuda S1 kemarin, eksistensi saya di jogja ternyata banyak dipertanyakan oleh khalayak umum. Baik yang kenal dekat maupun kenal jauh. Baik yang sudah tahu gelagat kekonyolan saya maupun yang belum :3

“Eh, antum kok masih di jogja? Sibuk apa?”
“Kamu ngajar dimana kiii?”
“Udah kerja po? Di mana?
“Kamu sih ngapain? Ngajar, lanjut, atau...?”
“Betah banget Kii di jogja, ngapain?”
“Masih ada amanah ya? Ciyeee...”
“Diusir dari rumah, ya? Kok masih ngendon di Jogja?”

Dan seabrek pertanyaan lain yang, hmmm... kalau dipikir banget malah bisa bikin saya menemukan suatu ramuan yang terbuat dari atom-atom dan zat aktif yang bisa meledak, hihi. Alhamdulillahnya saya enjoy-enjoy saja.  Sebab setelah diteliti, pertanyaan-pertanyaan macam itu ternyata masuk dalam kategori pertanyaan sensitif yang bisa menusuk hati seorang fresh graduate #ciyaaah. –apalagi kalau memang benar dia lagi pengangguran wkwk- Tuh, kan.. terbukti. Lulus pun juga tak menjamin kita bebas dari pertanyaan-pertanyaan orang. Yah, tapi paling enggak udah satu step diatas teman-teman kita yang masih ditanyai macam ini:

“Skripsinya nyampe mana?”
“Wisuda kapan?”

Syalalalala. Dan saat klarifikasi ke S2 an ini rampung saya beberkan, saya yakin pertanyaan-pertanyaan berikutnya akan segera meluncur.

“Kapan nikah?”
“Kapan membangun bahtera rumah tangga?”

Nyammmmmm....

***

                Yah. Keinginan untuk lanjut S2 bahkan S3 memang tertancap kuat sejak saya masuk SD. Lho kok SD? Ya jelas, karena cita-cita itu membaraaa. Justru pasca S1 kemarin malah galau-galaunya; aduh duh.. mau ngapain ya? Lanjut kuliah? SM3T? Nikah? Dududu...

                Sekonyol-konyolnya saya dan sesok tenang apapun saya menjalani kehidupan ini; ternyata rasa galau itu pernah mampir juga. Jahat. Mmm... nggak jahat ding, malah bikin kita deket sama Pemilik Jagad ding. Yah, soalnya saat kita nggak punya siapa-siapa untuk dimintain fatwa –yang namanya manusia, nasehat dari manapun pasti kurang-, kita pasti lari ke Allah yang punya segalanya, Maha Tau apa yang kita rasakan; apa yang kita nyatakan dan sembunyikan :’)

                Well, setelah guling-guling beberapa hari bahkan pekan dan bulan; bismillah pas itu saya mantep untuk mengatakan, “Saya akan lanjut S2!” (bayanginnya lagi nonton ultraman yang berubah wujud jadi ultraman raksasa, ya...). Heroik banget soalnya, setelah menimbang ini itu, menilik pasal satu dan pasal berikutnya, konsultasi pada ahlinya, akhirnya saya mencoba tes gelombang tiga yang diadakan oleh kampus tercinta.

Yah, walaupun pada mulanya niatnya coba-coba aja. Berbekal dengan cuman belajar panduan tes TPA (Ingat, Cuma belajar panduannya; belum sempet baca dan pelajari satu-satu soalnya) pada malam tes, saya menghadapi “The Day” dengan pasrah luar biasa. Tawakal sepenuhnya. Sebab pas itu juga lagi ada deadline nglayout buku bareng temen2 Hiji. (Apa itu Hiji? Kita akan bahas kemudian. Sabar yaak..)

“Ya Allah, jika jodohku adalah S2, mudahkanlah.. akan sangat mudah bagiMu untuk membukakan jalan. Jika bukan, Engkau Maha Tahu yang terbaik buat hamba...”

Maka jadilah saya bakda mengeluarkan 300ribu itu, menghadapi hari tes yang bebarengan dengan pertemuan sama dosen mbahas layout. Daftar dan tesnya pun diem-dieman, nggak ada satupun yang tahu kecuali keluarga saya, temen sekamar, Linda, sama Tika –temen yang sama-sama ndaftar pas itu. Ohya, sama 1 temen liqoan dan dedek-dedek binaan; minta doa. Ya kali kii.. itu lebih dari satu namanya XD. Saya memang suka soal-soal TPA dan Bahasa Inggris (bahkan melebihi sukanya saya sama konsentrasi prodi saya, fisika tercinta :3), maka ketika tes itu diadakan, saya seneng-seneng aja ngerjainnya.

Ndredeg itu, kalo ternyata coba-coba saya itu berbuah hasil. Bakda tes, Tika menanyakan kembali komitmen saya daftar S2,
 
“Beneran nggak e kii.. kamu ikutan tes tadi?”

Rupanya ia menguji kesungguhan saya. :3 sayanya manyun. Beberapa detik kemudian, dengan gaya Sailormoon yang membelah malam, dengan pedenya saya bilang ke Tika;

“Berani ndaftar, berani di terima, dong.”

Ciaaah. Tobat nak tobaaat.

Walaupun saat habis bilang gitu saya jadi deg-degan nggak karuan. Saya mikir, 

“Duh, kalau diterima beneran gimana yaaa?”

Dudududu~

***
Benar. Beberapa hari selang kemudian, pengumuman datang. Nur belum diterima. Tika juga. Sayanya ngambek nggak mau buka. Takut diterima. Takut diterima. Takut diterima.

Saya bener-bener takut kalau saya diterima.

Bersambung

Asykar tercintah, pukul 00.38 dini hari
Sabtu, 17 September 2016
Tidur Kii... Perbaiki jadwal bertemumu denganNya...

Komentar

Posting Komentar

Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-