“Kamu lanjut S2, Ki?”
Tanya seorang teman pada suatu
hari; saat berpapasan di jalan. Saya nyengir, sambil bilang;
“Gosip dari mana, eh? Hehe.”
Temen saya manyun. Wkwk. Selesai sudah
urusan.
Besoknya lagi, ada yang nanyain
lagi.
“Ukiii... kamu S2 toh, kok nggak
bilang-bilang?”
Temen saya udah excited banget
itu nanyanya. Saya? Sayanya juga nggak kalah excited, njawab dengan penuh
ekspresif juga,
“Masaaaa? Kamu tau dari siaapaa?”
Abaikan percakapan alay ini.
Well.
Sepandai-pandainya seorang manusia menyembunyikan suatu rahasia; kelak akan
diketahui juga. Kalau nggak di dunia, ya di akhirat sana. Iya nggak, sih? Hehe.
Namun dalam konteks ini, rahasia yang telah terlanjur dibocorkan pada satu-dua
orang, sudah bukan rahasia lagi namanya. Ya karena udah ada yang tahu, hehe. Dan
itu terjadi pada rahasia yang hidup-hidupan saya jaga. Eh, kok hidup-hidupan?
Iya, sebab saya nggak pake acara mati-matian pas menjaganya. Alhamdulillaah yaa
:D
Ceritanya, saya lagi mau main
detektif-detektifan. Pasca lulus dan wisuda S1 kemarin, eksistensi saya di
jogja ternyata banyak dipertanyakan oleh khalayak umum. Baik yang kenal dekat
maupun kenal jauh. Baik yang sudah tahu gelagat kekonyolan saya maupun yang
belum :3
“Eh, antum kok masih di jogja? Sibuk
apa?”
“Kamu ngajar dimana kiii?”
“Udah kerja po? Di mana?
“Kamu sih ngapain? Ngajar,
lanjut, atau...?”
“Betah banget Kii di jogja,
ngapain?”
“Masih ada amanah ya? Ciyeee...”
“Diusir dari rumah, ya? Kok masih
ngendon di Jogja?”
Dan seabrek pertanyaan lain yang,
hmmm... kalau dipikir banget malah bisa bikin saya menemukan suatu ramuan yang
terbuat dari atom-atom dan zat aktif yang bisa meledak, hihi. Alhamdulillahnya saya
enjoy-enjoy saja. Sebab setelah
diteliti, pertanyaan-pertanyaan macam itu ternyata masuk dalam kategori pertanyaan
sensitif yang bisa menusuk hati seorang fresh graduate #ciyaaah. –apalagi kalau
memang benar dia lagi pengangguran wkwk- Tuh, kan.. terbukti. Lulus pun juga
tak menjamin kita bebas dari pertanyaan-pertanyaan orang. Yah, tapi paling
enggak udah satu step diatas teman-teman kita yang masih ditanyai macam ini:
“Skripsinya nyampe mana?”
“Wisuda kapan?”
Syalalalala. Dan saat klarifikasi
ke S2 an ini rampung saya beberkan, saya yakin pertanyaan-pertanyaan berikutnya
akan segera meluncur.
“Kapan nikah?”
“Kapan membangun bahtera rumah
tangga?”
Nyammmmmm....
***
Yah.
Keinginan untuk lanjut S2 bahkan S3 memang tertancap kuat sejak saya masuk SD. Lho
kok SD? Ya jelas, karena cita-cita itu membaraaa. Justru pasca S1 kemarin malah
galau-galaunya; aduh duh.. mau ngapain ya? Lanjut kuliah? SM3T? Nikah?
Dududu...
Sekonyol-konyolnya
saya dan sesok tenang apapun saya menjalani kehidupan ini; ternyata rasa galau
itu pernah mampir juga. Jahat. Mmm... nggak jahat ding, malah bikin kita deket
sama Pemilik Jagad ding. Yah, soalnya saat kita nggak punya siapa-siapa untuk
dimintain fatwa –yang namanya manusia, nasehat dari manapun pasti kurang-, kita
pasti lari ke Allah yang punya segalanya, Maha Tau apa yang kita rasakan; apa
yang kita nyatakan dan sembunyikan :’)
Well,
setelah guling-guling beberapa hari bahkan pekan dan bulan; bismillah pas itu
saya mantep untuk mengatakan, “Saya akan lanjut S2!” (bayanginnya lagi nonton
ultraman yang berubah wujud jadi ultraman raksasa, ya...). Heroik banget
soalnya, setelah menimbang ini itu, menilik pasal satu dan pasal berikutnya,
konsultasi pada ahlinya, akhirnya saya mencoba tes gelombang tiga yang diadakan
oleh kampus tercinta.
Yah, walaupun pada mulanya
niatnya coba-coba aja. Berbekal dengan cuman belajar panduan tes TPA (Ingat, Cuma
belajar panduannya; belum sempet baca dan pelajari satu-satu soalnya) pada
malam tes, saya menghadapi “The Day” dengan pasrah luar biasa. Tawakal sepenuhnya.
Sebab pas itu juga lagi ada deadline nglayout buku bareng temen2 Hiji. (Apa itu
Hiji? Kita akan bahas kemudian. Sabar yaak..)
“Ya Allah, jika jodohku adalah S2, mudahkanlah.. akan sangat mudah bagiMu untuk membukakan jalan. Jika bukan, Engkau Maha Tahu yang terbaik buat hamba...”
Maka jadilah saya bakda
mengeluarkan 300ribu itu, menghadapi hari tes yang bebarengan dengan pertemuan
sama dosen mbahas layout. Daftar dan tesnya pun diem-dieman, nggak ada satupun
yang tahu kecuali keluarga saya, temen sekamar, Linda, sama Tika –temen yang
sama-sama ndaftar pas itu. Ohya, sama 1 temen liqoan dan dedek-dedek binaan;
minta doa. Ya kali kii.. itu lebih dari satu namanya XD. Saya memang suka
soal-soal TPA dan Bahasa Inggris (bahkan melebihi sukanya saya sama konsentrasi
prodi saya, fisika tercinta :3), maka ketika tes itu diadakan, saya
seneng-seneng aja ngerjainnya.
Ndredeg itu, kalo ternyata
coba-coba saya itu berbuah hasil. Bakda tes, Tika menanyakan kembali komitmen
saya daftar S2,
“Beneran nggak e kii.. kamu
ikutan tes tadi?”
Rupanya ia menguji kesungguhan saya.
:3 sayanya manyun. Beberapa detik kemudian, dengan gaya Sailormoon yang
membelah malam, dengan pedenya saya bilang ke Tika;
“Berani ndaftar, berani di
terima, dong.”
Ciaaah. Tobat nak tobaaat.
Walaupun saat habis bilang gitu
saya jadi deg-degan nggak karuan. Saya mikir,
“Duh, kalau diterima beneran
gimana yaaa?”
Dudududu~
***
Benar. Beberapa hari selang
kemudian, pengumuman datang. Nur belum diterima. Tika juga. Sayanya ngambek
nggak mau buka. Takut diterima. Takut diterima. Takut diterima.
Saya bener-bener takut kalau saya
diterima.
Bersambung
Asykar tercintah, pukul 00.38 dini hari
Sabtu, 17 September 2016
Tidur Kii... Perbaiki jadwal bertemumu denganNya...
Mbak Kiki harus S.E.M.A.N.G.A.T
BalasHapus