Mencintai (kembali) Aksara


sumber: google.com


                Rasanya aku tak perlu lagi mengingatkanmu akan perintah pertama yang diberikan oleh Rabb Penggenggam Semesta. Karena benar ternyata, bahwa dibukakannya beribu pintu berawal dari satu gerbang saja: Iqra’. Membaca membuat dunia kita yang sempit berubah menjadi lapangan bola yang berlipat lipat kali luasnya. Membaca membuat duka nestapa seakan lenyap berganti dengan bahagia. Membaca dapat membuka pikir; kita yang awalnya adalah makhluk-makhluk ego yang keukeuh dengan pendapat pribadi saja, menjadi lebih mau menerima. Karena rasionalisasi-rasionalisasi itu kita dapat dari pengalaman membaca.

Sudahkah kita benar-benar mencintainya? Mencintai perintah pertama yang diberikan Rabb pada manusia. Sudahkah hari-hari kita terisi dengan hal baru yang kita dapat dari lembaran buku? Sudahkah amal-amal kita tergerak karena dilandasi dengan kepahaman karena membaca? Membaca; tentu tak melulu diartikan dengan membaca buku. Membaca alam, membaca fenomena, membaca keadaan, membaca permasalahan, dan lain sebagainya.

Malu rasanya jika disandingkan dengan para sahabat, para tabiin, para ulama, yang telah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melahap ribuan buku.Tak usahlah kusebut, sebab aku yakin kau telah hapal di luar kepala. Bukan hanya melahap, tapi mereka juga menciptakan. Ratusan bahkan ribuan karya mereka menggelegar ke dunia; terlahir karena kecintaan akan ilmu. Buku yang hadir bukan sekedar lahir, namun menjadi rujukan bagi semesta. Mereka boleh mati, mareka boleh tiada; namun karyanya hingga kini masih bisa kita jumpa. Mereka menulis, dan mereka tak akan bisa menulis tanpa membaca. Ya, berawal dari membaca saja.

Membaca adalah seni memahami; di mana kita memberi ruang di otak dan hati kita untuk menerima ilmu dan gagasan-gagasan dari orang lain di luar diri kita. Otak dan hati? Ya. Sebab, membaca dengan otak saja mungkin akan membuat kita pandai dan hapal bacaan di luar kepala. Namun membaca dengan hati, akan membuat segerak amal dari diri kita bakda membaca. Maka mengairlah jariyah kepada penulisnya –jika yang ditulis adalah kebaikan- jika apa yang mereka tulis ternyata mampu menggerakkan pembacanya untuk melakukan kerja-kerja besar.

Mungkin pengalaman kita dalam membaca berbeda-beda. Ah, bukan hanya ‘mungkin’ lagi, namun sudah pasti berbeda. Dia yang terlahir dari keluarga cinta baca pasti berbeda dengan dia yang tumbuh kembang dalam keluarga yang dengan buku saja tidak tahu menahu. Namun itu bukan lagi menjadi alasan untuk kita –untuk dia dan dia- untuk tidak sama-sama belajar mencintainya, mencintai aksara.

Maka aku, sungguh berterimakasih pada Bapakku; yang sedari kecil sudah mengajariku untuk mencintai lembaran-lembaran tipis. Aku ingat betul, tiap beberapa bulan sekali, Bapak selalu ditugaskan dinas di luar kota. Kau tahu, apa yang kami tunggu-tunggu saat beliau mengucapkan salam di pagar masuk ke rumah? Iya, oleh-olehnya. Beliau selalu membawakan buku baru untuk kami, masing-masing satu. Lalu aku akan melirik punya kakakku, bercita-cita untuk menuntaskan milikku dengan cepat, lalu bisa pinjam milik kakakku. Ah, anak kecil...

Maka aku, sungguh berterimakasih pada Ibuku; yang sedari kecil memperkenalkan adanya tumpukan buku di rumah. Membelikan majalah kesayangan tiap minggu, sehingga aku sangat mencintai majalah itu. Aku menjadi terbiasa menyisakan uang tabunganku demi membeli bendelan majalah itu di toko buku bekas; atau, jika Bapak mengajakku jalan-jalan, aku bisa membeli buku yang aku mau dengan uang yang kukumpulkan sendiri.

Maka, aku berterimakasih pada Kakakku; yang ia juga cinta membaca, sehingga tiap periode selalu bertambah koleksi buku yang dimilikinya. Kau tau apa? Iya, karena aku akan membuka-buka dan meminjamnya!

Masa kecil hingga periode SMA adalah titik paling kencang dalam hal membaca, membuatku merasa tak kosong saat berdiskusi dengan teman, tahu harus bersikap bagaimana dalam mengambil keputusan. Maka hari ini aku sungguh malu dengan diriku yang dulu; seorang anak kecil yang gemar membaca. Membaca apa saja yang bermanfaat untuknya. Membaca apa saja yang baik baginya.

Maka hari ini, aku malu dengan diriku yang dulu. Hari ini aku merasa tumpul karena sedikit membaca. Buku-bukuku memang banyak. Bahkan tiap ada even pasarbuku dan lain sebagainya, aku pasti bersemangat untuk membeli ini itu. namun hingga detik ini, aku belum tuntas membaca semuanya. Sementara banyak sekali yang harus kubaca, dan aku harus segera memulainya.

Aku malu saat aku tak mampu menuntaskan satu buku karena bosan; lalu dengan mudahnya berpindah ke buku yang lainnya. Aku malu saat aku tak paham atas apa yang sedang kubaca. Aku malu saat aku tak mampu mengamalkan hal baik yang telah kubaca dari buku. Sungguh malu. Aku merasa tumpul.

Namun aku tak boleh terus merasa tumpul. Namun aku tak boleh terus berlarut-larut dalam kesedihan akan minat bacaku yang turun. Buku-buku itu menanti untuk diambil, lalu dibaca. Buku-buku itu menanti untuk di sapa. Buku-buku itu menanti untuk diajak bermesra.

Namun tentu saja; kita tak boleh merasa cukup berduaan dengan buku. Ilmu, tetaplah butuh guru. Maka temukan guru-guru dalam kehidupan kita, ajak berdiskusi tentang cita, cinta, dan semesta. Juga, jangan lupa untuk meminta tambahan ilmu kepada Sang Pemilik Ilmu.

Maka, hari ini aku berjanji pada diriku sendiri untuk mulai mencintai (kembali) aksara-aksara. (Ciye, CLBK :D) Maka, hari ini aku bertekad untuk menuntaskan beberapa buku yang sudah menunggu sedari lama. Aku menargetkan sekian buku untuk selesai periode ini; kamu, bagaimana?
Doakan kita sama-sama diberikan kekuatan untuk istiqomah ya :)

Asykar, 1 Dzulhijah 1437 H/ 3 September 2016
Anak kecil yang berusaha mencintai (kembali) aksara;
Rizki Ageng Mardikawati

Satu lagi teman. Kita sedang berusaha mencintai aksara, kan? Semoga lembaran-lembaran yang akan kita baca dan bersamai tiap waktunya, akan semakin mendekatkan kita pada Allah. Sebab, bukankah ini adalah perintahNya; dan upaya kita untuk mencintai aksara juga berangkat dari kesadaran bahwa kita ingin menjalankan titahNya? :)

Komentar