Tentang Nikah (Share Tulisan Guru)


Assalamu'alaykum, pembaca Pelangi Inspirasi? hihi, siapa emang, Ki? Adalah.. Ehehe... Ohya, Taqabalallahu minna wa minkum sahabat semua. Kali ini, di Idul Fitri, saya pingin merapikan kenangan -ahahaha- , maksudnya ini ada Guru saya, ustadz Salim yang nulis begitu apik tentang topik yang pasti temen2 suka, ehehe.. iya, tentang nikah dan selanjut-lanjutnya..

Ustadz Salim tanggap momen banget. Wkwk. Setelah menuliskan ttg 'kapan nikah' yg jd trendsetter pembicaraan lebaran; kini masih dengan gaya tulisan yang asyik n renyah namun sarat hikmah dan sumber sirah yang kuat; beliau menuliskan, kapan lamaran. Cocok!

Great. Baarakallahu, ustadz. Pena pun bisa digunakan untuk menyampaikan kebaikan.
Menulis adalah menerjemahkan bahasa langit; untuk kemudian bisa dibaca oleh penduduk bumi.
-itulah mengapa kita menulis-

Jazaakallahu khoyron, Tadz. Jadi Semangat nulis lagi

***


Ustadz masih mudaa.. baru lulus SMA :D


KAPAN NIKAH?
@salimafillah


Tidak. Kita tak sedang membahas pertanyaan yang sering muncul di seputar Lebaran. Tulisan ini hanya saran kepada para bujang, semoga mereka berkenan menjadikannya pertimbangan.

Banyak pria yang menunggu mapan untuk mulai berrumahtangga. Tapi saya amati, mereka yang menikah di waktu mapan akan dipertemukan Allah dengan pasangan yang memang siapnya untuk mapan. Dari mereka juga akan hadir anak-anak dalam suasana mapan, dibesarkan dalam kemapanan, dan hanya siap tumbuh menjadi generasi mapan.

Hanya sedikit yang memulai pernikahan dengan kemapanan, lalu dapat menyuasanakan rumahtangganya dengan semangat perjuangan.

Pentingkah rumahtangga yang disesaki ruh perjuangan itu? Barangkali saya terlalu melankolis, tapi rumahtangga para Nabi dan Rasul 'Alaihimus Shalatu was Salaam yang kita baca dalam Al Quran lebih sering mencerminkan itu. Ibrahim yang hidup berpindah-pindah dan sering berpisah. Yusuf yang direnggut dari kasih oleh dengki dan mengalami lika-liku ngeri. Musa yang dibuang agar selamat tanpa kisah tentang Ayah. Muhammad yang yatim lagi piatu, diasuh paman yang hidupnya miskin dan tertungkus lumus di antara debu.

Rumah yang dinyalai ruh perjuangan adalah kebun subur bagi tumbuhnya manusia agung.

Jadi mengapa kita tak mencoba menikah di kala semua tampak jelas bagi iman meski masih remang bagi mata, hidup dalam yakin pada Allah meski diragukan manusia, serta dalam keadaan tetap bekerja meski pekerjaan tak tetap? Bersama itu ada wajah culun, penampilan bosah-baseh, kesibukan yang tak memberi waktu bersantai, dan hidup pas-pasan.

Calon pasangan yang berani mengiyakan lamaran kita di saat seperti itu, pastilah seorang pejuang.

Memang tiap kita diberi ujian. Yang tampan, terkenal, kaya; pasti jauh lebih rumit baginya mendapat pasangan yang mau mendampinginya karena Allah. Bukan karena ketampanannya. Bukan karena kemasyhurannya. Bukan karena kekayaannya.

Tiap hal yang menonjol, selalu lebih kuat potensinya untuk membiaskan niat.

Maka bersegeralah wahai bujang-bujang miskin, sebab Allah menjanjikan kecukupan dalam pernikahan. Maka bergegaslah wahai bujang-bujang tak mapan, sebab Allah kan menyediakan pasangan pejuang bagi para pejuang.

Suatu hari ketika pasangan pejuang itu menikah, berkatalah sang suami pada istrinya, "Maaf ya, belum bisa membelikan rumah. Ini kontrakannya juga kecil dan mesti lewat gang sempit."

"Tidak apa Sayang. Punya rumah itu tidak wajib kok."

"Oh iya ya? He he.."

"Iya, yang wajib itu shalat, hi hi.."

"Iya ya, yang wajib itu shalat. Terus memangnya kamu nggak ingin punya rumah, Sayang?"

"Mau banget banget banget, Sayang. Tapi yang penting rumah di surga. Kalau di dunia, meski pindah-pindah sewa, asal bersamamu aku rela."

"Aduh Sayang, andai semua istri seperti kamu adanya, apalah gunanya ada KPK."

Dan rumah mereka lalu tumbuh meluas atas karunia Allah, sebab puluhan anak-anak tetangga pun terundang untuk belajar, mengaji, menghafal Quran, membaca, dan berkarya di tiap sorenya.

Foto ini diambil beberapa bulan sebelum pernikahan saya. Hitamnya kulit karena terpanggang mentari dalam demonstrasi, kurusnya badan karena banyak pikiran tanpa ada tempat melabuh keluhan, dan wajah pucat yang kini telah berbeda karena ada yang merawat. Special tags untuk para ganteng, kaya, dan terkenal, para Adindaku; @hamas.syahid, @masaji_, @ananditodwis, @zaky_zr. Meski tak mudah, temukan pasangan pejuang ya.




MANA CALONNYA?
@salimafillah

Bukan. Ini juga bukan tentang pertanyaan yang sering mencekat tenggorokan melebihi nastar kadaluwarsa. Bagi sebagian kita, mendapat soalan ini bagai rundungan awan kelabu yang menodai pelangi ceria hari raya.

Kepada para bujang; jodoh sudah tertulis di Lauhil Mahfuzh. Hanya cara kita mengambil menentukan bagaimana Allah memberikannya. Yang dijemput dalam ridhaNya, betapa lembut uluranNya. Yang menyahut pasangan dengan murkaNya, ah tentu akan berbeda rasanya.

Di anggitan ini, saya hendak mengingatkan para Wali anak gadis; ayah, kakek, paman, kakak, adik lelaki dan seterusnya, bahwa tugas mereka soal calon suami para akhawat itu bukan hanya untuk menjadi juri, melainkan panitia seutuhnya.

Inilah 'Umar ibn Al Khaththab yang menantunya, Khunais ibn Hudzafah As Sahmi gugur di Perang Badr. Maka Hafshah pun menjadi janda. Ketika wanita mulia yang baru berusia 18 tahun itu habis masa 'iddahnya, sang ayah bergegas mencarikan suami shalih baginya.

Pertama, 'Umar menjumpai lelaki terbaik ummat, Abu Bakr. Tapi Ash Shiddiq hanya diam dan terus diam dengan segala tawaran 'Umar untuk menikahi Hafshah. Bingung menyikapinya, 'Umar beralih pada sang muhajir ganda, 'Utsman ibn 'Affan.

"Ya 'Utsman", ujarnya, "Masa 'iddah Hafshah setelah gugurnya Khunais telah usai dan dia putriku yang amat kusayangi. Adapun istrimu Ruqayyah binti Rasulillah juga baru saja meninggal. Bagaimanakah pendapatmu jika seorang duda yang baik menikahi seorang janda yang baik?"

'Utsman tampak terkejut dan malu dengan tawaran terus-terang itu. Segera setelah menguasai diri, dia berkata, "Berikanlah aku waktu untuk memikirkannya."

Waktu tiga haripun diberikan, tapi ketika jawaban dihulurkan, 'Umar kembali menangguk kecewa. "Dalam waktu dekat ini, kurasa aku belum bisa memikirkan pernikahan lagi."

"Tak mengapa", sahut 'Umar dengan hambar.

"Ya Rasulallah", adu 'Umar di kesempatan berjumpa, "Telah kutawarkan Hafshah kepada 'Utsman, tapi 'Utsman menolaknya."

"Semoga Allah karuniakan kepada Hafshah", sahut Sang Nabi sambil tersenyum, "Lelaki yang lebih baik daripada 'Utsman. Dan semoga Allah karuniakan kepada 'Utsman, wanita yang lebih baik daripada Hafshah."

Dan berlakulah takdir Allah. 'Utsman dinikahkan oleh Sang Nabi dengan Ummu Kultsum, adik Ruqayyah. Adapun suatu hari, Rasulullah menggandeng tangan 'Umar dan berkata, "Bagaimana jika aku yang menikahi Hafshah?"

Itu salah satu hari paling membahagiakan dalam hidup 'Umar ibn Al Khaththab, sang ayah yang tahu hakikat menjadi Wali.

Saat walimah pernikahan Hafshah dan Rasulullah digelar, Abu Bakr mendekati 'Umar. "Apakah kau masih kesal dengan sikapku kemarin?"

"Tentu saja", sahut 'Umar. Sikap lelaki yang tidak jelas itu menjengkelkan.

"Sebenarnya aku sangat berminat pada tawaranmu."

"Kenapa tidak kau katakan?"

"Karena aku mendengar bahwa Rasulullah juga bertanya tentang Hafshah."

"Itu juga kenapa tidak kau katakan?"

"Karena aku takkan pernah membuka rahasia Rasulullah pada siapapun."

Persahabatan mereka sangat dahsyat bukan?

Nah, kepada para akhawat; sampaikan kisah ini kepada kakak lelaki. Lalu katakan misalnya, "Bang, tukeran teman yuk!"

"Maksudnya?"

"Teman Abang yang shalih buatku. Temanku yang shalihah buat Abang. Skenarionya kita atur nanti ya."

Atau sampaikan kisah ini pada Ayahanda, lalu katakan pada beliau di pagi Jumat, "Nanti kalau shalat Jumat, perhatikan shaff depan ya Bah. Kalau ada yang shalih, ganteng, duduknya khusyu', nyimak khuthbahnya nggak ngantuk ajak lah ke rumah untuk makan siang ya."

Atau sampaikan juga pesan itu pada Kakek kita. Tapi untuk kakek tambahkan pesan tentang umur. Karena kakek bisa salah faham dan yang diajak pulang seusia beliau semua. Jalau diprotes ngelesnya, "Ya kalau shaff pertama isinya sebeginian semua, Cuk.."

Saya tuliskan ini, karena sering beberapa rekan akhawat bertanya bagaimanakah ikhtiyar menjemput jodoh bagi pihak yang biasanya pasif ini dari sisi Allah. Di tengah antara ekstrem hanya menanti dalam doa dan ekstrem lain yang berani menawarkan diri pada lelaki shalih yang diyakini, semoga jalan tengah ini salah satu solusi.

Sampaikan pada para Wali.

FOTO: Saya, kedua dari kiri, zaman di mana bernasyid jadi selingan perjuangan. Yang bersama saya itu, dari kiri, kini Anggota DPRD Kota Yogyakarta, Dokter Spesialis Anestesi, Dokter Spesialis Urologi, Dokter Spesialis Patologi Klinik, Psikolog dan Konselor Remaja, dan Tenaga Ahli sebuah BUMN ternama. Tapi di masa itu, saya yakin jarang yang berani menjadikan kami menantu. 😅


KAPAN TA'ARUF?
@salimafillah


Ini juga bukan tentang pertanyaan pelik dari handai taulan di saat silatil arham. Ini hanya kisah seorang pemuda 20 tahun yang merasa yakin pada pilihan, meski "nekad" barangkali adalah kata yang lebih tepat.

Dia bertemu calon istrinya pertama kali pada 8 Juli 2004 di rumah seorang Ustadz. Ya, sebab ketakpercayaan diri untuk berikhtiar mandiri, dia percayakan urusan "siapa" pada Allah dan serta guru yang dipandang mumpuni, barangkali agar lebih fokus mempersiapkan "bagaimana".

"Mau calon yang kriterianya seperti apa?", tanya sang Ustadz tempo hari.

"Yang shalihah dan menshalihkan", jawabnya.

"Bagus. Tapi abstrak. Bisa agak konkret sedikit?"

"Emm.. Yang punya sedikitnya 3 kelompok binaan pengajian?"

"OK. Mantap. Baarakallaahu fiik."

Lalu tak lama, diapun telah memegang beberapa lembar biodata. Dia telah tahu nama, orang tua, saudara, pendidikan, tinggi dan berat badan, aktivitas, hobi, tradisi keluarga, hingga penyakit yang pernah diderita. Dan hari untuk berjumpa dan melihatnya pun tiba.

انْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

“Lihatlah wanita yang akan kaunikahi itu, karena yang demikian lebih mungkin melanggengkan hubungan di antara kalian berdua.” (HR. An Nasa'i/3235, At Tirmidzi/1087. Dishahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah/96)

Nasehat Rasulullah untuk Al Mughirah ibn Syu'bah ini sebenarnya hendak dia 'amalkan segera. Ketika membaca bahwa gadis itu bekerja paruh waktu di sela kuliah sebagai Asisten Apoteker, diapun mencoba untuk mengamatinya. Kali itu dengan cara sembunyi-sembunyi seperti Sayyidina Jabir diajari Sang Nabi.

Belanja ke Apotek dimaksud, dibelinya multivitamin seharga 18 ribu. Tapi ternyata AA tugasnya di belakang, meracik obat, bukan melayani pembeli. Nazhar pertama seharga 18 ribu itu gagal total.

Maka di pertemuan 8 Juli itu diniatkanlah untuk melihat. Namun apa daya, ternyata sepanjang pertemuan tak banyak kata, dan pemuda ini terus-menerus menundukkan kepala, sama sekali tak berani menatap langsung pada gadis yang ada di hadapannya.

Untunglah meja ruang tamu itu terbuat dari kaca. Bening sekali.😉

Baru pada pertemuan kedua pada 12 Juli, dengan dimoderatori pasangan Ustadz dan sang istri, terjadilah diskusi. Pertanyaan, "Visi misi pernikahan menurut Anda?", "Bagaimana konsep pendidikan anak yang tepat?", "Apa pandangan Anda tentang istri yang berkarier?", "Seperti apa proyeksi nafkah nantinya?", "Bagaimana pendapat Anda tentang homeschooling?", "Rencana tempat tinggal dan penataannya?", diberondongkan dengan lebih mengerikan daripada ujian pendadaran.

Tapi endingnya adalah pengakuan.

"Maaf, saya tidak bisa memasak."

Si pemuda bergumam dalam hati, "Ya Allah aku kemarin minta yang shalihah dan menshalihkan. Mengingati Ibunda 'Aisyah, rupanya pandai memasak belum termasuk di situ. Ya Allah apakah Kau menguji kesungguhan kriteriaku?" Lalu dia kuatkan hati, "Tidak apa Ukhti. Di kota ini banyak rumah makan. Murah-murah lagi."

"Saya juga tidak terbiasa mencuci."

"Alamak", batin hati si pemuda. Tapi mengingat hal yang sama, dia berkata lagi, "Tidak apa Ukhti. Di kota ini banyak laundry. Kiloan lagi."

"Saya bukan mencari tukang masak dan tukang cuci. Melainkan seorang istri. Kalau diperkenankan, saya akan segera menghadap pada Ayah Anda." Maka hari itu, tanggal lamaran pun ditetapkan pada enam hari kemudian, tepatnya 18 Juli.

Kisahnya akan bersambung dalam tulisan "Kapan Melamar?" yang akan datang insyaallah. Sementara itu, pertanyaannya: mengapa pacaran tak memberi kita perkenalan sejati? Karena kita selalu ingin tampil lebih demi memikat hati. Lalu ketika dua hati telah terikat janji, mental set "beri penawaran terbaik" tak diperlukan lagi.

Maka dalam konseling pernikahan, keluhan pasutri yang memukadimahi rumahtangga dengan pacaran biasanya berbunyi, "Tolong Ustadz.. Suami saya sudah kelihatan aslinya."

Nah bagaimana saling mengenal yang hakiki? Ta'aruf itu istilah umum. Dalam Al Quran, ia adalah hikmah diciptakannya kita bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Jadi, kapan ta'arufnya suami-istri?

Ta'aruf itu seumur hidup. Sebab manusia adalah makhluq penuh dinamika. Dia sedetik lalu takkan persis serupa dengan kini adanya. Ta'aruf itu seumur hidup. Sebab kenal sejati adalah saat bergandengtangan dalam surgaNya.

Dua belas tahun berta'aruf, pemuda itu masih terus belajar mengenal istrinya. Dan selalu ada kejutan ketika prasangka baik dikedepankan. Misalnya, si dia yang mengaku tak bisa memasak itu, pada HUT RI ke-60 setahun kemudian, menjadi juara lomba masak Agustusan. Tingkat RT. Lumayan bukan? 😄

Foto sekitar tahun 2003; sejak dulu saya paling tak sadar kamera dan sibuk membaca. Alamak macam mana pula.

KAPAN LAMARAN? (Bagian I)
@salimafillah

Ini boleh jadi juga kalimat yang sering muncul di sekitar hari raya. Soal ini sangat sensitif, apalagi antar sahabat. Mari simak dulu penuturan dari salah satu orang Quraisy paling cerdas, Sayyidina Al Mughirah ibn Syu'bah, sebagaimana dikisahkan Imam Ibn Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah.

"Aku meminang seorang gadis", ujar beliau, "Lalu seorang pemuda menasehatiku. 'Demi Allah, jangan kaunikahi perempuan itu. Aku pernah melihat seorang lelaki menciumnya."

"Maka", ujar Al Mughirah, "Aku membatalkan khithbahku. Tapi tak lama kemudian pemuda yang menasehatiku itu menikahi wanita itu. Kutanyakan padanya, 'Mengapa justru kau yang menikahinya? Bukankah kaukatakan kemarin kau melihat dia pernah dicium seorang pria?"

"Dia menjawab, 'Betul. Laki-laki itu adalah Ayahnya."

Pesan moral kisah penikungan ini; tetaplah yakin bahwa jodoh itu di tangan Allah. Dan milikilah teman yang baik.

Sebagian sahabat kadang bingung tentang kriteria "baik agama dan akhlaqnya". Izinkan saya urun pendapat dari pemahaman sendiri, bahwa terjemahnya bisa kita lihat dari sikapnya pada Allah, pada Ibu, pada sebaya, dan pada kanak-kanak.

Pada Allah dengan keterjagaan ibadahnya. Sebab bagaimana bisa diharapkan setia pada kita, jika pada Allahpun dia berhelah. Pada ibu dengan hormat dan baktinya. Sebab bagaimana dia akan menghargai pasangan, jika pada jalan surganya dia tak ta'zhim. Pada sebaya dengan kejujuran, kesetiaan, tepat janji, amanah, dan ketulusan di kesehariannya. Dan pada kanak dengan perhatian dan cintanya.

Tentang itu semua, kita tak harus berakrab dengannya lama-lama, apalagi dalam pacaran misalnya. Tapi tanyakan pada pihak yang intens berinteraksi dengannya; dari takmir masjid dekat rumah sampai teman arisan ibunya. Kecuali soal kawan, seperti kisah di atas, hati-hatilah di tikungan. 😅

Nah, ketika pada tanggal 18 Juli 2004 pemuda yang kita ceritakan dalam tulisan 'Kapan Ta'aruf?' berangkat ke pelosok Jawa Timur untuk meminang, rombongannya tersesat-sesat jalan karena peta yang digambar si gadis benar-benar peta buta. Berangkat jam 07.00 dengan perkiraan perjalanan 4 jam, baru sampai lokasi pukul 13.30 WIB.

Para tetangga dan kerabat calon besan yang menanti itu wajahnya sangar pula. Rupanya belum makan sebab menunggu tamu yang dari Yogya. Maka baru setelah santap siang, khithbah disampaikan.

Jawabannya?

Agak rumit dalam Bahasa Jawa aras tinggi yang penuh perumpamaan berpilihan kata dari pewayangan. Tapi intinya: 'Lamaran ini diterima, tapi pernikahannya tunggulah 2 atau 3 tahun lagi." Hadirin manggut-manggut. Maklum, kedua calon masih kuliah, si pria baru berusia 20 tahun pula.

Bagaimana nasib calon mempelai lelaki yang sudah ingin menyegerakan separuh agamanya?

(Bersambung ke 'KAPAN LAMARAN?: Bagian II. Foto ini ketika mengantar seorang sahabat pergi meminang sekitar tahun 2006. Alhamdulillah seleranya beda-beda. Jadi tiada tikung-menikung di antara kita.)

-----



KAPAN LAMARAN? (Bagian II)
@salimafillah

Karena beratnya pertanyaan "Kapan Lamaran?" ini dalam jumpa-jumpa hari raya, mari kita mulai perbincangan dengan sabar.

“Hanyasanya orang-orang yang bersabar, disempurnakan pahalanya tanpa batas.”
(QS Az Zumar: 10)

Karena pahalanya tiada terhad, sabar seharusnya tak ada batasnya. Cuma barangkali, bentuknya boleh dipilih.

Itu yang dipikirkan si pemuda pelamar ketika dikatakan padanya, "Lamaran ini diterima. Tapi untuk pernikahan, mohon bersabar barang dua atau tiga tahun lagi."

Setelah perjalanan melelahkan selama 6 jam, tersesat-sesat jalan akibat peta yang sukar dibaca bukan buatan, membawa rombongan yang masih geleng kepala sebab "Rumahnya saja belum tahu lha kok dipinang?", selembut apapun nada jawaban itu rasanya bagai palu godam di dadanya yang kadung dibakar semangat menyegerakan akad pengesahan.

Seorang uwaknya mencoba bertanya, mengapa harus sedemikian lama? Wakil keluarga itu menjawab dalam canda yang santun, "Sebab belum genap setahun, keluarga ini juga baru saja mantu. Rasanya tidak enak juga merepoti para tetangga kok lebih dari sekali di tahun yang sama. Tentu juga, kami belum pulih betul secara keuangan dari penyelenggaraan walimah sebelumnya, ha ha ha."

Hal seperti ini, memang haruslah amat dimengerti. Tapi hasrat hatinya meyakinkan sekali, bahwa hukum menikah khusus baginya sudah dekat pada wajib kiranya. Duhai, memang belum dinamakan cinta, tapi sudah begitu merisaukan dada.

Maka dikerahkannyalah segenap kemampuan Bahasa Jawa Krama Halusnya. Dicobanya menyusun kalimat sesantun mungkin, selembut mungkin, dengan menekankan pengertian, penghargaan, serta penghormatan setinggi mungkin pada keluarga ini.

"Nun nadhah duka saha nyadhong agunging pangaksami", begitu pembukanya. Kalimat ini harfiahnya bermakna, "Saya siap menahan segala rasa pedih dimurkai dan menghaturkan mohon ampun sebesar-besarnya."

"Sudah menjadi niat sesuai keadaan diri saya untuk segera menikah", ujarnya menguat-nguatkan hati. "Belum menjadi soal bagi saya, dengan siapanya. Saya yakin, jodoh sudah ditetapkan Allah. Maka jika yang tertulis di sisiNya itu bukan putri dari keluarga ini, mohon izin dan mohon doa restu Pak, kami segera pamit. Mudah-mudahan bahkan di perjalanan pulang nanti, Allah karuniakan jalan untuk segera menikah, tidak perlu 2 atau 3 tahun menanti. Saya juga mendoakan semoga putri Bapak mendapatkan yang lebih baik insyaallah."

Ayah si pemuda melotot menatap putranya. Wajahnya seakan bicara, "Kamu ngomong apa heh?" Ada pula tamu yang sedang minum jadi tersedak, batuknya menjadi suara latar bagi keheningan yang membuat semua saling pandang.

Sabar tak ada batasnya. Tapi bentuknya dapat dipilih.

Menunggu 2 atau 3 tahun adalah kesabaran. Tapi bagi si pemuda, penantian itu amatlah berbahaya. Dua atau tiga tahun dengan calon yang telah bernama dan di depan mata. Tipu daya syaithan memang lemah. Tapi ia sudah berpengalaman bukan hanya sejak zan Fir'aun pakai behel, tapi sejak Adam dan Hawa masih bermukim di surga.

Atau bagaimana jika ada ujian di sisi lain; bagaimana jika dalam masa tunggu itu dia dipertemukan dengan sosok berbeda yang tampak lebih baik daripada yang sudah dikhithbah? Bukankah hati akan bertambah runyam?

Maka kini, nothing to loose. Ditolak menikah sekarang, ditolak lamaran yang bergegas, lalu harus mencari lagi yang lain yang bersedia digesa, adalah juga kesabaran.

Puisi hati pertamanya tergumam lirih. "Aku bukan tak sabar. Hanya tak ingin menanti. Karena berani memutuskan adalah juga kesabaran. Karena terkadang penantian, membuka pintu-pintu syaithan."

Beruntunglah mereka yang dikaruniai calon mertua dengan cara berfikir out of the box.

Ketidakpatutan ucapan si pemuda dalam forum seterhormat lamaran yang disaksikan puluhan mata, bagi si Bapak rupanya penanda bagi kekuatan tekad, keluhuran niat, serta keterampilan berbudi bahasanya. Maka beliaupun justru berfikir, "Ini makhluq langka. Patut dilestarikan." 😂

"Ya, tidak begitu Mas. Tentu semua kemungkinan masih terbuka. Insyaallah kami juga memandang, disegerakan lebih baik. Kapan kiranya yang dikehendaki?"

"Dari Yogya ke sini, alhamdulillah saya sudah menghafal lafazh ijab-qabul Bahasa Arab, Jawa, maupun Indonesia Pak. Insyaallah sekarang pun siap." 😁

"Wah, ya jangan sekarang. Kan perlu persiapan-persiapan ya." 😅

Alhamdulillah, setelah sang Bapak bolak-balik ke belakang berunding dengan istri dan putrinya, rupanya diplomasi ini sukses mengubah 2 atau 3 tahun menjadi hanya 1 bulan. Lamaran ini terjadi pada 18 Juli 2004, pernikahanpun disepakati akan dilaksanakan pada 20 Agustus 2004.

Si pemuda hingga hari ini masih heran, entah dulu dari mana dia mendapat kekuatan untuk bicara seperti hari itu. Memang kalau sudah bertekad, bertawakkal saja pada Allah. Dan cintanya memang berbeda.

"Ada dua pilihan ketika bertemu cinta. Jatuh cinta, ini sakit. Atau bangun cinta, ini sulit. Padamu aku memilih yang kedua, agar cinta kita menjadi bangunan istana, tinggi menggapai surga."

(Foto: mengantar pernikahan seorang sahabat sekira 2008: rupanya patut pula saya memakai Tanjak Plembang. Cerita lamaran akan bersambung dari sudut pandang si gadis insyaallah.)



KAPAN LAMARAN? (Bagian III)
@salimafillah


Belum dilamar itu menggelisahkan. Tapi dilamar oleh orang yang belum dikenal lagi tampak tak meyakinkan itu lebih bikin galau.

Demikian pula bagi gadis itu.

Yang diketahuinya hanya bahwa pemuda itu bersemangat sekali untuk segera menikah. Dua kali berjumpa pun dia sudah langsung meminta peta untuk membawa keluarganya datang melamar. Pekerjaannya? Penulis katanya. Tapi karyanya belum pernah dia baca. Punya usaha fotokopi kecil-kecilan. Entah di mana. Masih kuliah. Bahkan usianya baru 20 tahun. Itu lebih muda daripada dirinya.

Kalau pelamarnya seperti ini, gundahnya berlipat kali.

Bagaimana menjelaskan ini semua pada keluarga? Betapa mendadaknya. Betapa mengejutkannya. Betapa tidak meyakinkan pelamarnya. Apalagi kakaknya belum lama menikah. Apa kata orang sekampung kalau direpotkan dengan acara besar lebih dari sekali dalam setahun oleh satu keluarga?

Dengan susah payah, dengan ungkapan sesopan mungkin di suasana sesantai mungkin, hal ini disampaikannya. Tapi pasti bagi keluarganya, ini bagai petir menggelegar di terang siang. Dan pertanyaan paling horor yang sama sekali tak diduganya pun muncul.

"Ini bukan karena kamu sudah hamil to, Ndhuk?"

Pertanyaan ini di dada si gadis, rasanya meledak sebagai bom atom ketiga setelah Hiroshima dan Nagasaki. Tangisnyapun pecah. Diiringi pula tangis ibu yang sangat disayanginya.

Perlu 3 hari sampai dia bisa menjelaskan semuanya. Tapi tetap tak meyakinkan. Jangankan meyakinkan Bapak dan Ibunya, meyakinkan diri saja rasanya belum utuh. Dan hari kedatangan keluarga itu semakin dekat.

Gadis itu hanya dapat pasrah kepada Allah. Dan Allah yang Maha Perkasa punya cara tak terbatas untuk menolong hambaNya.

Tetiba sang Bapak bertanya, "Apa pekerjaan pemuda itu Ndhuk?"

"Penulis."

"Penulis itu Sekretaris? Atau Carik begitu?"

"Penulis buku."

"Oo.. Buku Pelajaran seperti yang di Sekolah mungkin ya? Kalau orangtuanya?"

"Eh, bukan Pak. Eh, kalau Bapak-Ibunya dua-duanya Guru."

"O, Guru. Bagus kalau begitu. Ya sudah, Bapak setuju."

"Lho?" 😯

Ternyata kata "Guru", bagi orang sebersahaja dan sepolos sang Bapak mengandung banyak makna. Guru adalah orang pandai lagi terhormat. Beliau menduga, pastilah mereka bisa mendidik putranya dengan baik. Dulu ketika kecil, sang Bapak sangat terkesan dengan para Guru dan ingin menjadi Guru. Tapi takdir Allah menentukan beliau ditempatkan menjadi pegawai jujur di lingkungan sebuah dinas di Kabupaten. Sang bapak merasa, berbesan dengan guru, sosok-sosok terpelajar itu, adalah kebaikan.

Pertolongan Allah sering jalannya tak terduga. Si gadis justru lalu juga seperti diyakinkan gara-gara sudut pandang ayahnya. Dia berfikir, "Kalau pemuda itu bisa meyakinkan Ayah dan Ibunya yabg Guru untuk segera menikah di usia ini, ah pastilah cara berfikir dan caranya menyampaikan pandangan pada kedua orangtuanya istimewa."

Tapi tanggal itu, 18 Juli 2004, si pemuda telah membuat gara-gara. Dia mengatakan pernikahannya harus segera. Atau dia mencari yang lain saja. Sungguh terlalu.. Sungguh terlalu..

Cerita akan kita sambung pada "Kapan Ijab Qabul?" insyaallah, karena ada guncangan dahsyat beberapa menit menjelang akad.

(Foto: di Puncak Lawu, sekitar 2005. Peristiwa mendebarkan di atas tepat terjadi di kaki gunung ini, Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi.)
 
  -----------------------------
dan, masih bersambung teman2 hihi.. kita nanti tulisan beliau ya; insyaAllah post ini saya tambahin terus ^_^

Komentar