Serial Raihan dan Iqbal: Ramadhan, Aku Ingin Menang!


Bagian I

Ah. Sampai juga. Bau harum itu memenuhiku. Melingkupi jaketku. Mengelilingi tas ransel di pumggungku. Juga, mengenai beberapa kresek tentengan yang tergenggam erat di tanganku. Bau rumah!

Tak sabar aku melihat Iqbal, adik kecilku yang katanya kini sudah tumbuh besar. Iqbal sekarang pandai mengaji, begitu kata Ibu lewat telepon beberapa saat yang lalu. Ya, tahun ini Iqbal lulus SMP. Dan aku punya sesuatu untuknya.

"Assalamualaykum, Bu!"

Aku menghela napas. Mencoba menata kata agar ia terporsikan pada tempatnya. Rindu ini memang penuh, berdesakan di dalam dada; namun aku tak mau ia meledak tanpa kontrol. Akan kujaga, agar rindu ini bisa keluar pelan-pelan. Agar tak berlebihan.


"Waalaykumussalam.. Siapa itu?"

Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh membukakan pintu. Aku nyengir.

"Oalaah.. Raihan.. Tak kiro sopo, Le..."

Wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Ibuku itu sontak langsung memelukku. Kubalas pelukannya dengan lebih erat.

"Lha kok dhewekan to, Le? Ndi si Nina?"

Glek. Selama itukah aku tak pulang hingga Ibu lupa bahwa anak bujangnya ini masih sendiri. Ya, sudah 2 tahun aku tak pulang karena kuliah sambil kerja di kota Pahlawan. Aku sudah mandiri dan alhamdulillah sejak tahun lalu aku sudah bisa rutin mengirimi Ibu uang.

"Nina sinten to, Bu?"

Aku tak dapat menahan tawa. Mencoba mengingat-ingat Nina yang mana yang dimaksud Ibu. Seingatku, seingatku lho ya. Aku tak pernah punya teman atau tetangga yang bernama Nina. Atau, siapa dia?

"Kae lhoo.. Cah Ayu sing biasane mbok ceritakke.. Lak yo Nina to, jenenge? Gek ndang, kapan Ibu dikenalke. Opo perlu tak celukke pak Abidin nggo ngancani?"

Ibu tampak bersemangat.

"Ibu iki wis tuwa Le. Gek pingin nduwe mantu. Gek pingin nduwe putu. Gek ndang, to.."

Mukaku memerah. Eh, eh, tunggu dulu. Nina siapa to? Aku jadi bingung. Aku berkerut, mendekat ke Ibu.

"Bu, niki Raihan taksih nggawa tas. Menika oleh-olehe. Raihan angsal lenggah?"

Bahkan sampai Ibu lupa mempersilakanku duduk.

-bersambung-
‪#‎RAM‬
#5-7-16
‪#‎Fiksi‬-MudikLebaran
‪#‎MenulisBahagia‬

Bagian II

Sejenak, lupakan soal Nina.

Aku meletakkan tasku di kamar yang sudah kutinggalkan dua tahun ini. Kamar itu masih terawat, karena kini adikku Iqbal yang menggunakannya. Kulihat ada secangkir teh hangat yang nangkring di meja belajar yang terbuat dari kayu jati. Ah, Ibu pasti menyiapkannya untukku. Dengan bahagia, kuraih cangkir itu dan dapat kuhirup aroma teh khas desaku itu. Eh, tunggu dulu. Bukankah scene cerita ini adalah Ramadhan? Oke, lupakan soal teh.

Aku melihat sebuah kertas manila tertempel di dinding kamarku. Paling atas, ada tulisan besar-besar; TARGET RAMADHAN IQBAL. Wow, adik kecilku sudah kenal kata 'target' nih.

Diantara target-target itu, hampir semua sudah dicoret oleh Iqbal; tanda sudah melampauinya. Baca Buku, membantu Ibu, Main ke tempat Amin, shalat Dhuha, dan hei.. Apa itu? "Doain Mas Raihan biar cepet ketemu jodoh." Aku tergelak. Iqbal.. Iqbal.. ada-ada saja kamu ini, dek. Namun ada satu target yang belum dicoret, padahal ini sudah 30 Ramadhan. Aku mendekati kertas target itu untuk memastikan. Tertulis, KHATAM AL-QUR'AN DI BULAN RAMADHAN.

Olala. Adikku...

"Bu, Iqbal mana?"

Aku segera ingin menemuinya. Ibu sedang memasak untuk persiapan buka menoleh ke arahku.

"Iqbal dari pagi tadi pergi, Le.. Belum pulang.."

"Kemana, Bu?"

"Ngga tau.. Katanya mau menyelesaikan targetnya gitu."

"Kemarin sampai lupa nggak sahur karena begadang sampai pagi..."

"Kayak nggak kenal adekmu to, kalau udah punya kepinginan, tekadnya kuat. Nggak ada yang bisa mencegah..."

Aku mengangguk. Ibu benar.

"Terakhir, sampai juz berapa emang, Bu?"

"Katanya tadi pagi, 20 Le.."

20? Berarti 10 Juz lagi..? Hei...

Iqbal!

Aku berlari ke luar rumah. Aku harus segera menemuinya! Soal Nina sudah benar-benar tak kuambil pusing.

Tunggu Mas, Iqbal!

-bersambung-

‪#‎RAM‬
#5-7-16
‪#‎Fiksi‬-MudikLebaran
‪#‎MenulisBahagia‬

Bagian III
 
"Bal... Iqbaal..."

Aku memanggil namanya di tempat ini. Ya, rumah kayu bikinan almarhum Bapak saat kami masih kecil ini memang favorit. Letaknya yang menghadap sungai membuat suasana syahdu karena suara air gemericik.

Aku langsung menuju tempat ini, karena aku hapal betul; Iqbal selalu ke sini jika ingin menenangkan diri.

Benar saja, ia ada di sana!

Dan hei, ia ternyata tertidur. Kudekati ia, wajahnya tampak kelelahan. Tangannya mendekap erat mushaf hijau yang kubelikan sebelum aku merantau dua tahun yang lalu.

"Bal.. Bangun Bal.. Bentar lagi adzan Ashar..."

Bisikku lirih tepat di telinganya. Ia menggeliat, matanya terbuka. Kaget, ia melonjak bangun.

"Astaghfirullah! Jam berapa ini?"

Ia tampak kebingungan mencari jam tangannya.

"Eh masyaAllah Mas Raihan.. Kapan datang?"

Rupanya ia baru menyadari kedatanganku. Segera, Iqbal meraih tangan kananku dan menciumnya penuh takzim. Aku mengelus-elus peci putih di kepalanya. Sepertinya belum dicuci seminggu ini. He he.

"Yah.. Bentar lagi ashar, Mas. Iqbal gagal.."

Ia tertunduk lesu. Giginya menggigit bibir bagian bawahnya.

"Kurang Lima juz.. Iqbal kalah.. Iqbal lemah.. Iqbal nggak sesuai target..."

Bisiknya lirih. Angin sepoi membelai rambut kami yang sama-sama ikal. Seikal rambut Bapak. Aku tersenyum.

"Iqbal tetep bisa menang, kok..."

"Menang? Kok bisa? Targetnya kurang satu, Mas. Khatam Qur'an, harusnya. Tapi Iqbal kalah, sering ketiduran pas baca Qur'an.. Akibatnya, masih 5 juz yang belum kebaca.."

Aku mengelus kepalanya lagi.

"Iqbal, menang itu saat kamu bisa mempertahankan amal-amalmu selama bulan ramadhan, bahkan setelah ramadhan itu usai. Coba, sebutkan targetan-targetan Iqbal yang Iqbal tulis kemarin..."

"Baca buku, mbantuin Ibu, main ke rumah Amin, ndoain Mas Raihan biar cepet dapet jodoh, sama khatam Qur'an, Mas.."

Polos sekali ia bicara. Bening. Seperti tanpa dosa. Aku tergelak.

"Menang itu.. Saat ramadhan habis, Iqbal tetep melakukan apa yang Iqbal targetkan itu. Ya tetep rajin baca buku, tetep jadi anak Ibu yang selalu bantuin, selalu menyempatkan main ke rumah Amin, ngaji tilawah tiap hari, dan..."

"Dan tetep doain Mas Raihan sampai ketemu jodohnya!"

Iqbal menyahut dengan cepat. Aku tertawa.

"Ya, ndoainnya nggak cuma sampe ketemu Jodoh aja dong. Tetep ndoain, saling ndoain sampai masing-masing kita nggak bisa berdoa...alias.."

"Alias dipanggil Allah!"

Iqbal tertawa. Aku ikut tertawa.

"Bener banget. Pinter!"

"Dan lagi, kita harus rajin doain Bapak... Sebab semua amal manusia itu akan terputus saat ia meninggal; kecuali tiga hal. Ayo, coba Iqbal sebutkan..."

Iqbal tersenyum, nampak sangat bersemangat.

"Shadaqah jariyah, Ilmu bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan orangtuanya!"

"Yak. Pinter.. Makanya belajar yang rajin biar ilmunya berguna dan bisa mbantuin orang; terus jangan boros biar uangnya bisa ditabung sama disedekahin..."

"Satu lagi. Nggak ada pilihan buat nggak jadi anak sholeh yang selalu ndoain Ibu Bapak.."

Iqbal nampak senang. Mushafnya didekap lebih erat.

"Bener juga ya, Mas. Berarti Iqbal nggak kalah, nih?"

"Nggak, Bal. Asal Iqbal bisa mempertahankan amal-amal tadi..."

"Horeee... Iqbal menaaang.. Iqbal menaaang!"

Aku tertawa melihat tingkahnya. Untuk kesekian kalinya.

Allahu Akbar Allahu Akbar...

Tiba-tiba adzan berkumandang. Ashar telah tiba. Dilanjutkan dengan kumandang takbir yang menggema.

Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
La ilaha ilallah wallahu Akbar
Allahu Akbar walillahilhamd..


"Udah adzan tuh. Sholat yuk, Bal.."

Iqbal mengangguk. Kami berjalan bersama menuju surau dekat rumah. Tiba-tiba Iqbal membisiki telingaku.

"Mas Raihan tambah ganteng deh..."
 
Aku tertawa.

Allah... Jadikanlah kami sebenar-benar hambaMu yang menang dan lulus dari pesantren ramadhan ini...

-tamat-

‪#‎Fiksi‬-Mudik Lebaran
‪#‎MenulisBahagia‬

Taqabalallahu minna wa minkum, Shiyamana wa Shiyamakum. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 H. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga kita menjadi pribadi-pribadi yang menang di hadapanNya!
_yaa muqalibal quluub, tsabit qalbi 'ala dinnik, wa 'ala thoatik..._

Pacitan, 1 Syawal 1437 H/ 6 Juli 2016
17.40
Sepenuh Cinta,
Rizki Ageng Mardikawati

Catatan ini murni dibuat secara spontan dengan mengetik di hape android dalam rangka #menulisbahagia selama bulan ramadha. Mohon maaf jika ceritanya juga terkesan sangat spontan dan belum terkonsep secara matang :D -bukan pembelaan-

Komentar