Patah Hati

sumber gambar: google. Desain: @rizkismile1
"Mbak, pernah patah hati?"

Katanya sambil menatap es krim cokelat kesukaannya. Tak segera dibuka.

"Nanti meleleh lho, eskrimnya..."

Sang kakak menegurnya. Memintanya untuk segera membuka bungkus eskrim dan segera memakannya.

"Lelehnya eskrim ini tak seberapa jika dibandingkan patahnya hatiku. Patah sepatah-patahnya. Leleh!"

Sejenak hening.


"Patah hati? Hatinya patah? Bagaimana bisa? Wong jasadnya masih utuh.. Kalau hati kita patah, tubuh tak akan menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Mati, kan? Atau.. Paling tidak harus operasi. Transplantasi hati.."

Sang kakak mengulum senyum.

"Kaak...."

Sang Adek manyun, tak jadi makan eskrim cokelatnya lagi.

"Iya..iya.. Mbak bercanda."

Tergelak.

"Patah hati, adalah seni. Ya, seni memahami hidup ini."

" Patah hati, bagi sebagian orang mungkin akan menjadi kesakitan. Kecewa, marah, benci. Lalu ia akan berubah menjadi energi negatif yang menghancurkan; malas, dendam, dengki, bahkan konflik berkepanjangan juga kriminal, yang seringkali dijadikan topik di drama-drama.."

"Namun tak sedikit juga, yang menjadikan patah hati sebagai energi positif. Episentrum kebaikan. Bangkit, menepis sedih, berprasangka baik, dan lari untuk menjadi lebih baik lagi. Muhasabah... Introspeksi..."

"Patah hati tak melulu soal cinta, namun ia adalah soal bertepuk sebelah tangan. Saat asa kita tak sesuai dengan realita. Apapun. Begitu, kan?"

Kau mengangguk.

"Maka kita boleh memilih, apakah marah dan berhenti, atau berlapang dada dan bangkit kembali."
"Bacalah referensi. Betapa dunia ini membuat kita patah hati berkali-kali. Lagi dan lagi..."

"Sedang Allah, selalu berhasil membuat kita jatuh hati. Lagi dan lagi..."

"Sudah tahu begitu; sadar kepada siapa seharusnya kita kembali?"

Sang mentari tersenyum, mengiring percakapan mereka.

Komentar