"Nak. Belajar yang sungguh ya, di sana..."

Ospek mipa 2011 (ada saya..he...)

"Nak. Belajar yang sungguh ya, di sana..."

Setidaknya, kalimat itu yang bisa saya baca dari sorot mata - sorot mata khas itu. Sorot mata yang sebenarny tak menyiratkan kesedihan atau keteribaan, namun selalu sukses membuat saya pilu: terharu. Hal yang paling saya hindari ketika di muka umum; mudah terharu. Lalu lamat-lamat menepi, mengusap tetes air mata yang tak diminta tiba-tiba membanjiri.

Selalu sama dari tahun ke tahun. Bapak, Ibu, dan Mahasiswa Baru. Gelombang besar berbagai macam sesi yang berganti-ganti nama setiap tahunnya, namun esensinya sama: Selamat datang, pewaris peradaban. Selamat datang, calon pemimpin masa depan.
Trenyuh, setahun yang lalu menyaksikan seorang Bapak yang bertanya ini itu tentang verifikasi dan sebangsanya; info kos dan sejenisnya, sementara anaknya terpekur diam mengekor di belakang. Malu-malu. si Bapak tak malu, si Bapak ingin sang anak mendapatkan informasi yang ia perlu.
Marah, setahun yang lalu menyaksikan seorang Bapak yang berjalan mengekor di belakang putrinya, membawa tas ransel sang putri. Sementara sang putri? Berjalan melenggang di depan ayahnya seolah-olah ingin berteriak, "Ayah! Aku sudah besar. Tak bisakah kau biarkan aku berjalan sendiri bersama teman-temanku? Jangan ikuti aku." Tampak angkuh, namun saya tak kuasa menegur. Hanya (lagi-lagi) air mata yang membanjiri tatkala melihat roman muka ayahnya yang sama sekali tak terbebani.

Haru, saat melihat seorang Ibu tergopoh menghampiri stand kami, -ces waktu itu, dua tahun yang lalu- , menanyakan posisi limuny untuk mencetak ini itu. Dan anaknya diam, lagi-lagi malu dan mengekor di belakang Ibunya.

Hari ini. Sorot mata-sorot mata itu masih sama. Menimbulkan sedikit ngilu karena haru, tak kuasa berlama bercakap karena lagi-lagi nanti akan ada yang keluar dari mata. Tentang perjuangannya, tentang perjalanannya, tentang betapa orangtua berharap pada anaknya yang kini resmi berstatus mahasiswa baru.

Kamu, yang kini berstatus mahasiswa. Ayah Ibumu tak ingin hal yang muluk-muluk atasmu. Sebab itu jangan khawatir. Satu, kamu belajar sungguh-sungguh supaya kamu dapat bermanfaat. Dua, kamu makan teratur, istirahat terjaga, dan selalu berada dalam jalan kebenaran. Tiga, kamu bahagia. Sudah, itu saja. Poin pentingnya adalah kamu bahagia dan kamu baik-baik saja.

Hai dek, sudah minta maaf dan berterimakasih pada Ayah Ibumu hari ini? Atas sikap malu-mu yang memaksa mereka untuk berada di garda terdepan dalam mencari informasi. Atas sikap angkuh-mu yang membuat mereka harus berjalan di belakangmu. Padahal mereka orangtuamu.

Hai dek, mereka hanya ingin kamu bahagia dan berada dalam jalan kebenaran. Itu saja. Sudah minta maaf dan berterimakasih?

Komentar