Kapan ke Jepang, Ki?




Kapan ke Jepang?

Jika terus seperti ini; berkutat dengan data, berhadapan dengan nama-nama. Bertemu dengan banyak kepala. Berdialog dengan banyak hati, merunduk sabar dalam-dalam. Semuanya ingin dimengerti! Dan kau, merelakan segenap waktumu untuk bersamanya. Untuk bersama mereka. Demi memahami mereka, kau biarkan waktumu berlalu. Lalu tiba sang malam kau hanya bisa tersenyum memandangi list-list yang kau kerjakan. Memandangi berpuluh targetan yang tak kunjung terhapus karena tercapai. Kau menyesal?

Kapan ke Jepang?

Bahkan memikirkannya pun kau tak sempat. Bahkan mencari-cari info dan memperdalam keingin tahuanmu padanya pun lenyap. Bahkan mengikuti bermacam konferensi dan pameran tentangnya pun harus kau skip dalam-dalam. Sebab banyak yang harus kau kerjakan. Sebab ribuan mata menatapmu, menantimu untuk sejenak meninggalkan ingin pribadimu itu. kau berontak, tapi kau tak bisa. Kau bukan tipikal yang seperti itu.

Kapan ke Jepang?

Jika kau terus saja seperti ini; memprioritaskan ini itu. kau bilang ini semua demi ummat? Namun makin kau mencinta, waktumu makin tersita. Engkau sesak? Makin kau berkorban, ia menarikmu semakin dalam. Ia bagaikan lingkaran aktif yang berputar; dan kau tertawan. Terkadang, pagi kau lewati dengan sepenuh senyum; karena kau begitu percayanya, bermacam target akan kau tuntaskan hari ini. Karena kau begitu yakin, bahwa berbagai macam impian akan kau wujud hari ini. Namun semua lenyap saat tetiba panggilan datang menyeruak. Kau terpaksa harus merombak ulang jadwalmu, kau terpaksa harus menata ulang jeritan hatimu. Kau ingin tak datang. Tapi tetiba beribu bayangan berkelebat: bagaimana jika teman seperjuanganmu berbuat sama sepertimu? Tak akan ada yang melanjutkan perjuangan ini, bukan? lalu kau menegarkan diri: kau tetap datang. Dengan meluruskan niat dalam-dalam; Lalu jikalau bukan karena Sang Pencipta Hati, lalu karena siapa lagi? Katakan! 


Kapan ke Jepang, Ki?

Sebenarnya kau tahu harus berbuat apa. Sebenarnya kau tahu harus bersikap seperti apa. Sebenarnya kau sudah paham harus memprioritaskan yang mana. Kau lemah! Kau kalah! Kau payah! Kau tak konsisten, kau sering melanggar jadwal-jadwal rapih yang kau susun sepenuh hati. Kau sering mengabaikan berbagai macam hak yang harus dipenuhi... seringkali kau berlari-lari, berusaha memenuhi berbagai macam hati. Namun, kau tak sadar? Ada satu hati yang kau tinggalkan, dan sering kau abaikan hak-haknya: hatimu sendiri...

Kapan ke Jepang, Ki?

Maka saat tanya itu kembali berputar di kepalamu; simpanlah rapi-rapi. Mungkin tidak kini, karena kau begitu yakin bahwa pemilik skenario akan memberikan sebaik-baik kenyataan untukmu. Dan kau percaya itu, kan? Lalu kau tersenyum, setapak demi setapak kau mulai melangkah lagi. Kau perbaiki semuanya, walaupun sedikit demi sedikit. Kau berusaha untuk tetap menjadi seperti dulu, dan kini; kau tak melupakan hak satu hati: hatimu sendiri.

Tubuhmu; matamu, telingaku, badanmu, dan intelektualitas dan kehausan akan ilmu-mu, harus kau penuhi hak-haknya pula. Jangan lupakan mereka. Perbaiki mereka, ajak mereka berjalan; sesekali meghirup napas segar untuk menambah kesyukuran. Rutinkan mereka pada sujud malam-malam, sebab jika kau sudah memiliki tempat dihati-Nya, kau tak perlu bingung lagi harus pergi ke mana, kan? Sebab jika kau sudah terbiasa untuk berdialog dengan-Nya, kau tak perlu merasa menyesal lagi atas segala langkah yang kau pilih. Sebuah keputusan kecil yang menyeretmu hingga sejauh ini. Di lingkaran ini. Hadiri majelis ilmu, perkaya mereka dengan kesantunan dan keindahan akhlaq. Hiasi mereka dengan balutan ilmu pengetahuan dan ilmu syar’i yang bercahaya. Sebab yang bercahaya selalu tahu ke mana harus melangkahkan kaki.

Dan kau, tahu betul bahwa kau sedang tak salah jalan. Kau memperjuangkanNya! Kau memperjuangkan agamaNya! Kau mengajak banyak hati untuk kembali menetapi ketaatan padaNya. Apa... kau masih sempat-sempatnya ragu? Tidak, kan?

Dan segala kekacauan yang kau rasakan; di sanalah tarbiyah untukmu. Pelan atau pasti, tatalah kembali. Luruskan niatmu, bersihkan hatimu, perbaikilah segala sesuatu yang melekat padamu. Agar nanti, jika kau bertemu denganNya, kau tak perlu malu.. Tuhanku, inilah aku, hambaMu... dengan sepenuh kesadaran berusaha mendekatkan diri padaMu. Tuhanku, inilah aku, hambaMu.. dengan sepenuh cinta berusaha menunaikan amanah-amanah yang terlimpah pada pundakku, yang kuyakin bahwa amanah ini jua datang dariMu... 

dan manusia-manusia pemberi amanah itu, tak lebih hanyalah perantaraMu.. dan hati-hati yang bekerja bersamaku itu juga hanyalah makhlukMu, sama sepertiku. Maka jika aku merasa kecewa pada mereka ya Allah, aku tak akan menyalahkannya. Sebab kami hanyalah manusia, sama-sama manusia. Sama-sama bisa khilaf dan memiliki dosa.. maka Ya Allah, kuserahkan hidup dan matiku hanya padaMu. Kuserahkan skenario terindah kehidupanku hanya kepadaMu. Sebab selihai apapun aku melukis mimpiku, semahal apapun kanvas yang kubeli untuk melukis hidupku, setajam apapun pena dan kuas mediaku menari diatas kanvas itu; tetaplah, pemilik legalitas hidupku adalah diriMu. Kau Maha Mengetahui yang terbaik untukku Ya Allah.

Sungguh ya Allah, aku hanya manusia yang berusaha taat. Aku tak berusaha sok kuat, aku hanya berusaha agar selalu terlihat baik di mataMu, meski tak sempurna. Maka Ya Allah, mudahkanlah langkah ini, bersihkan dan bimbinglah selalu niat dalam hati ini.
Aku hanya ingin dekat denganMu ya Allah,,,

Dalam kesendirianku, aku yakin; Kau Maha Melihatku... Kau lebih tau, Kau lebih tahu...

                                                                                                Pojok Perpus UPT, 30 Maret 2015; 14.04 WIB
Seorang hamba yang belajar taat, yang paling tak bisa berkata “Tidak...”

Komentar