Suara yang dulunya kecil imut-imut itu kini sudah besar; menggelegar

Suara yang dulunya kecil imut-imut itu kini sudah besar; menggelegar. Dan, berkharisma. Yah, setidaknya menurutku.

"Adek ke mana, Buk?"

Tanyaku suatu waktu saat pulang beberapa waktu yang lalu-lalu. Saat itu ia masih duduk di bangku SMP.

"Kemah, Nduk."

Ya, ia aktif di organisasi; entah mencontoh kedua kakaknya atau inisiatif sendiri. Tapi ia laki-laki; karenanya pasti ia memilih jalannya sendiri. Bukan karena aku dan kakak perempuanku. Ia aktif di pramuka, osis, rohis, dan marching band. Persis seperti aku dulu.

Lalu, beberapa waktu yang lalu; saat aku pulang lagi, tiba-tiba saja ia sudah SMA. Kelas sepuluh; sama dengan kelas yang ku ampu waktu PPL kemarin.


"Adek ke mana, Buk?"

Saat kujumpai rumah tanpa suara genjrengan gitarnya atau gerak-gerik autisnya saat sedang menggambar atau asyik dengan photoshop-nya. Acuh tak acuh saat aku datang; meski aku tahu ia memendam rindu yang mendalam. Hanya, tak ia tunjukkan.

"Mabit, Nduk.."

Olala... acara menginapnya sudah berubah menjadi malam bina iman taqwa. Pramuka, Saka Bhayangkara, (mungkin) osis, dan kini.. rohis. Tahun pertama, ia didaulat menjadi wakil ketua. Olala, siapa yang mengajari? Sementara SMA kami bertiga tak sama; kakak di kota kelahiran, aku di kota seberang, dan ia... memilih si SMA dekat tempat tinggal. Bukan kami yang mengajari; ia menemukan jalannya sendiri...

Suara imut itu sudah berubah menjadi besar, dan (sedikit) berat menggelegar. Alunan gitarnya tak lagi diiring dengan suara kecilnya menirukan mbah surip,

"Bangun tidur.. tidur lagi.. bangun lagi, tidur lagi.." ; seperti saat ia menghibur kerumunan anak kecil dekat rumah -sambil pamer, hehe-. Suara itu sudah berubah jadi merdu saat mengiring lagu; tangannya terampil memetik senar mengiring kakak dan bapak bernyanyi.

Raut muka imut itu -yang semasa kecil sering ku goda dan kujahili- kini tumbuh menjadi laki-laki yang pemberani.

"Buka majalah hidayah halaman 168 jaaab..."

kataku dulu waktu ingin menakuti. Ada gambar pocong dikebumikan di sana. Ia lalu menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Haha, aku memang jahil. Kini? Ia tak takut sama sekali.

"Heleh.. ora wedi.."

Tubuh kecil yang dulu sama sekali tak mau jajan -karena takut jajan-nya tercampur borax dan formalin- itu, yang dulu dikerubuti teman-teman perempuannya karena berebut minta digambarkan ini dan itu; kini menjadi tubuh yang besar dan kekar.

Dulu ia sebahu-ku; kini aku sebahu-nya.

Saat kutelepon beberapa waktu yang lalu;

"Materi fisika-mu nyampe apa, Jab? fluida statis?"

"Ora mbak.. sekolahku belum siap kurikulum 2013; balik KTSP. Padahal penak K13.."

"Kok iso?"

"Yo penak wae mbak, wis biasa aku..."

Aku menutup telepon dengan haru. Ada yang ingin kukatakan namun tak bisa terkatakan saat itu. Aku mencintaimu karena Allah, Jab. Tumbuhlah besar dan dewasa dengan caramu. Aku percaya padamu.

-semoga ia tak membaca tulisan ini, sekalipun ia membaca; ia pasti katakan padaku:

"Alaaaaaaaayyy..."

atau;

"Ojo ngerag-ngetag aku mbak, opo meneh sing (sok) sweet karo (sok) romantis. Aku isin nek di delok koncoku.."

gkgkgkgk... mumumu Jab

Komentar