Lelaki


Seorang lelaki, dipegang atas ucapannya.

Saya pernah membaca kalimat ini di status salah seorang sahabat saya. Siapa, di mana, saya lupa. Dan kemarin, saya baru tahu betul di mana letak kebenarannya. (Atau saya yang mencocok-cocokkan? Entahlah)

Kemarin, mengambil pesanan di suatu tempat.

"Mas, pesenan saya sudah jadi?"

Salah seorang pegawai meminta nota dan mulai mencari-cari pesanan saya. Lama, ia mencari-cari dan tak kunjung bertemu; sampai pada akhirnya saya menunjuk pada tumpukan kertas yang kelihatan dari ruang pengunjung.

"Itu pesenan saya mas."

Ia melihat-lihat dan menghampiri saya.

"Engg.. maaf mbak. Sudah jadi, tapi tepi-tepinya belum dipotong, bagaimana?"

Mukanya awalnya biasa, lalu tetiba pucat.

Saya tertegun. Kemarin, pesanan ini dijanjikan bisa diambil siang bakda dhuhur. Kini? Maghrib baru saja berlalu, dan pesanan belum jadi. Suara saya tergetar. Saya, dengan posisi seperti ini; boleh marah, tidak?

"Tapi kemarin akadnya dipotongin mas..."

 Namun, hanya kalimat itu yang keluar. Tercekat, tergetar, karena saya merasa sebagai pihak yang (merasa) di-dzalimi dan dibuat menunggu.

Tetiba pegawai lain datang, langsung menceburkan diri dalam percakapan kami.

"Iya. Nanti kita potong."

Datar. Tanpa spasi apatah lagi ekspresi.

Mas pegawai yang satu menjadi gugup dan mengangguk.

"Iya, mbak. Kita potongin sebentar, ya.."

Ia menunduk-nunduk dan mengembalikan nota. Saya tak mau menatapnya. Lalu kembali ke tempat duduk ruang tunggu. Tertunduk.

Saya tenggelam dalam perenungan-perenungan. Suara yang tergetar, saya tahan agar diam. Tangan refleks mengambil mushaf dan melantun ayat pelan-pelan: Saya akan menunggu, jam berapapun jadinya.

Menit berganti, tangan sibuk sesekali membalas sms-sms yang membanjiri. Tahan-tahan, sabar-sabar...

Satu jam kemudian, -atau lebih?- mas pegawai menyerahkan sebundel kresek besar. Pesanan saya.

"Maaf ya, Mbak.."

Saya tersenyum. Berucap terimakasih, lalu pergi.

Ah ya. Lelaki dipegang atas ucapannya. Dan wanita adalah perasa; ia tak suka dikhianati, ia tak suka diingkari janji, dan ia tak suka, dibuat menunggu terlalu lama. Sesabar-sabarnya ia, air matanya tak akan bisa membohongi.

Di lain kesempatan -masih soal pelayanan- saya pernah menemani teman saya membeli sebuah makanan yang harus dibuat terlebih dahulu. Lama ia mengantri, dan tetiba saja antriannya diserobot. Si mas-mas pembuat makanan, justru memberikan dan membuatkan pesanan untuk orang yang mengantri di belakang teman saya tersebut. Teman saya -perempuan- sepertinya ingin protes. Namun -sama seperti saya- , suaranya tercekat. Ia diam saja dan menerima ketidak adilan itu.

Barulah setelah perjalanan, teman saya yang sebelumnya tak pernah saya lihat bulir air matanya; menangis di depan saya. Sepele, namun ternyata hati wanita memang begitu lembutnya.

"Aku nggak suka diperlakukan nggak adil, kak.."

Ia terisak. Aku diam saja. Lamat-lamat aku berpikir dan menemui berbagai kejadian di sekitar, seorang lelaki dan wanita. Dengan cara pikir berbeda-beda. Tak menggeneralisir mereka, karena berbagai latar belakang tentu akan berujung beda.

Lalu, teringatlah saya pada sosok lelaki sempurna yang hampir-hampir tak pernah ingkar janji pada saya. Ucapannya bisa dipegang. Kata-katanya selalu berujung aksi nyata. Tak lain tak bukan: Bapak saya.

"Pak, ada PR bikin tabungan ..."
rengek saya kala itu.

Tak berpanjang kata, Bapak mengajak saya membuat adonan kertas dan membentum tanah liat. Jago merah. Lalu melapisinya dengan adonan kertas. Dijemur. Sorenya, ayam jago saya sudah jadi dan bapak mengambil tanah liat di dalamnya.

Bapak saya. Lelaki paling kongkrit dan tak pernah ingkar janjinya. Selalu berusaha memberikan yang terbaik yang ia bisa. Pernah membuat saya menangis semasa kecil dulu -karena kenakalan-kenakalan saya sendiri- dan hingga kini, masih saja suka membuat saya menangis: karena menyadari betapa hebatnya beliau. Betapa bekerja kerasnya beliau. Betapa baiknya beliau. Seperti apapun orang memandang dan berpersepsi, bagi saya; Beliau adalah lelaki paling hebat di dunia.

Komentar

  1. Lelaki, sepanjang perjalanan hidup, aku bahkan hanya mengenal satu lelaki yang benar-benar aku pahami.

    BalasHapus
    Balasan
    1. siapakah nama lelaki yang beruntung itu, Lel? ^_^

      Jawab: Bapak :)

      Hapus

Posting Komentar

Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-