--Bersyukur, Allah membatasi pendengaran kita


Apa jadinya, jika tiap kita bisa mendengar suara hati satu sama lain? Kita akan saling berpikir dan sibuk mendengar.

"Kira-kira, apa ya, yang ia pikirkan tentang aku? Tentang tingkah laku-ku?"

Apa jadinya, jika tiap kita bisa mendengar batin dan perasaan orang lain? Maka kita jadi tak nyenyak tidur, karena sering memikirkan perkataan orang lain. Maka kita jadi tak lahap makan, sebab kita terlalu mendengar apa yang dikata orang. Kita tak bergerak bebas, karena selalu terpaku dan tergugu oleh persepsi dan pendapat orang tentang kita.

"Aku, norak ya?"

"Ah, sebaiknya harus bersikap seperti apa, ya?"

 Apa jadinya, jika tiap kita bisa mendengar apa yang tak terkatakan oleh orang lain tentang kita? Maka kita akan sibuk dengan penilaian orang. Mau berbuat begini.. takut disangka begitu. Mau berlaku seperti ini.. takut akan pendapat orang lain tentang kita.

Memang baik, saat kita berusaha menjaga perasaan orang lain jika kita tahu apa persepsi orang lain tentang kita. Namun ia akan menyakiti satu hati, lambat atau cepat: hati kita sendiri.

Apa jadinya jika tiap kita mampu mendengar batin orang lain? Maka dunia sepertinya terlalu berisik. Kita bingung membedakan mana yang harus kita ikuti dan dengar. Kita pusing karena terlalu banyak suara berdesing: ramai membicarakan kita.

Apa jadinya, jika tiap kita mampu mendengar kata hati orang lain? Sedang saat seperti ini -saat kita hanya mampu mendengar apa yang seharusnya didengar-, kita sudah sibuk memikirkan pendapat orang tentang kita? Apa jadinya?

Bersyukur, Allah membatasi pendengaran kita. Karena Allah percaya, kita mampu bergerak menempuh perjalanan dengan cara kita masing-masing. Tanpa harus takut omongan orang, tanpa harus takut dicela dan dikomentari orang.

Karena kita, lagi-lagi, lebih tahu perihal kita sendiri. Jauh lebih tahu daripada oranglain. Jadi, mengapa harus resah dengan penilaian orang? :)

‪#‎obrolankemarin‬

Komentar