(merasa) Tumpul




“Mbak.. Nulis sih tentang ini. Biar ada pencerahan.”
 
 Katamu sore tadi; saat tiba-tiba saja kau datang mengikutiku yang tak jadi membeli makan karena sudah ada tangan baik hati yang membelikan.

“Kamu yang nulis.”

Aku menunjuk sebuah buku setebal BOAS yang menjejal paksa masuk di tas mungilmu. Fiqh kehidupan karya Ustadz Ahmad Sarwat. Keren. Mbak bangga padamu, Nak.

“Bentar lagi berangkat, kan? Ringkas dan share ilmunya biar orang-orang tahu juga tentang isinya.”

Kau mengangguk saja. Sementara kamu yang satunya senyum-senyum sendiri.

“Kamu; juga nulis. Bagi pengalamanmu. Biar temen-temen belajar dari apa yang sedang kau hadapi saat ini.”

Aku menekankan suara pada kata ‘nulis’ padamu. Dan kau yang satunya; lagi-lagi membalas dengan senyuman.

“Mbak.. nulis sih, tentang ini.” Kau mengulangi pintamu.

Aku menggeleng pelan.

“Akhir-akhir ini tangan mbak kaku; mau menuliskan banyak hal, tapi tak bisa. Berhenti di atas tuts. Ya sudah...”

Sorot matamu seakan katakan, “Tak mungkin. Biasanya lancar-lancar saja, kan?”

Sebelum kau benar-benar mengatakan hal itu; aku terlebih dahulu menangkis.

“Lama gak baca dek. Serasa tumpul. Kosakata nggak ngalir. Ilmu pas-pasan. Menyedihkan, ya?”

Aku tergelak; menertawai diriku sendiri.
Kau mengaamiini.

Ah iya; penulis yang baik, adalah pembaca yang baik pula, kan?

Untuk bisa menulis; kau harus banyak-banyak membaca pula. Bahkan, gaya tulisanmu sedikit banyak akan terpengaruh oleh apa-apa yang terbiasa kau baca. Akan ter-sibghoh oleh apa yang sehari-hari kau temui. Aku juga sama.

Aku sedang merasakan tumpul yang luar biasa; tumpul setumpul-tumpulnya. Dan aku; tak bisa memaksakan jari jemariku untuk lincah menari tanpa sokongan isi dalam kepala. Penyebabnya akut: malas membaca.

Teko kosong, tak bisa menuangi cangkir dengan air, kan?

Ah iya. Maafkan aku yang belum bisa menulis apa yang menjadi keresahan hatimu saat ini. Aku sedang dan akan giat membaca. Bukan. Bukan agar jemariku lincah menari di atas tuts, bukan. Terlebih, agar apa yang ditulisnya tak hanya jadi deretan aksara tanpa makna; karena akan ada banyak yang membacanya. Aku tak mau jika deretan aksara itu hanya menambah bingung dan gelengan tak mengerti; sebab sejatinya menulis itu untuk berbicara dari hati, melibatkan rasa, dan ada unsur memperbaiki. Itu yang kupahami selama ini.

Maafkan mbakmu ini, ya...


“.....Pinta kami; dekatkan kami pada apa-apa yang mendekatkan kami padaMu. Dekatkan kami pada apa-apa yang membuatMu ridho pada kami dan semakin menyayangi kami. Itu saja...”
-no space for futur-


Yogyakarta, 10 Januari 2014
23.47 WIB
(masih) Uki

Bakda resah akan ketumpulan diri. Hmmm...ternyata ada banyak hal yang masih perlu dipelajari. Ada banyak sekali. 

Special thanks: 2 bidadari yang dikirimkan Allah untuk mengingatkanku sore ini. Dua adik bercahaya; yang akan melaju menuju ibukota belajar fiqh kehidupan, dan yang baru saja kedatangan Ibunya di rantau sekaligus berhasil menaklukkan hatinya; bersedia jadi batu bata baik yang bersahaja.

#BukanGAPURA
#MariMenulisLagi

Komentar