“Berjamaah
itu tak mudah, dek...”
Kuawali prosaku dengan kalimat itu.
kau tampak tertegun; antara membenarkan dan hampir tersedak. Sebab, saat itu
kita sedang makan. Kau hanya menapak piring capcaymu lekat-lekat. Kali ini kau
terdiam; sebab sedari tadi kau sudah mengeluarkan semuanya. Tentang resahmu,
tentang galaumu, tentang semua-semua yang menyita perasaan dan hatimu. Di musim
pancaroba seperti ini –istilah teman selingkaranku-. Dan kali ini, aku
mengambil alih hak bicaramu dan kau harus mendengarkan aku.
“Jikalau
berjamaah itu mudah, tentu semua orang berbondong-bondong untuk mendukung
kebaikan ini.”
Napasku
mulai (agak) tersengal. Kau menanti-nanti kata-kata selanjutnya.
“Pernah
dengar perkataan Ali bin Abi Thalib? Keruhnya berjamaah lebih aku sukai
daripada jernihnya sendirian. Pernah dengar?”
Kau
mengangguk sambil mengunyah capcay rebusmu pelan-pelan.
“Karenanya;
jika kita sudah meniatkan bahwa gerak kita di bumi ini adalah karena-Nya; kita
tak akan kecewa. Di manapun, sebagai apapun, bersama siapapun; tak masalah,
kan?”
Kau
mengeluarkan catatanmu. Entah apa yang kau tulis di sana. Ah, adikku. Kau mulai
mendewasa...
***
“Aku
hanya ingin jadi batu bata yang baik, mbak...”
Kau
berkaca-kaca.
“Iya,
lalu?”
Aku
memberondongmu dengan senapan bak terdakwa.
“Ingin
di sana, mbak.. tapi tak mungkin. Tempat yang kini harus kuhadapi, tak pernah
aku menyangkanya. Apa... aku bisa? Apa... aku punya teman di sana? ”
Kau
terbata-bata menyusun kata.
Aku
menghela napas dalam-dalam. Mengunyah pelan capcay rebusku yang tinggal
setengah juga.
“Pernah
dengar kisah kaum anshar dan harta rampasan perang?”
Aku
memancing, dan kau menggeleng.
“Mbak
juga agak lupa...”
Aku
tergelak. Menertawakan hapalanku yang payah.
“Tentang
apa itu, Mbak?”
Kau
terlihat penasaran.
“Manajemen
kekecewaan...” Aku tersenyum.
Karenanya,
izinkan aku untuk mencuplikkan sirah yang telah dirombak bahasanya oleh penulis
yang kukagumi racikan padan katanya, Ustadz Salim A Fillah. Kau bisa
menemukannya juga dalam buku-buku beliau..
***
Sudut
Pandang dan Kesetiaan
Anshar berarti
penolong. Dan kaum Anshar adalah penolong yang paling menakjubkan.
Perang Hunain baru
saja berakhir. Duabelas ribu pasukan yang semula berbangga dengan jumlahnya,
berantakan tercerai berai ketika dikepung di celah sempit. Gemuruh
berjatuhannya batu, luncuran tombak, hujan anak panah, serta hingar-bingar
teriakan perang suku Hawazin dan Tsaqif menderu mengerikan, menyisakan tak
lebih dari 40 orang di sisi Rasulullah.
“Aku Rasulullah!
Aku putra ‘Abdul Muthalib!”, seru Sang Nabi.
Kalimat pertama
mungkin ditujukan pada mereka yang iman telah kokoh dalam hatinya. Kalimat
kedua barangkali teruntuk mereka yang masih diliputi perasaan jahiliyah, yang
mereka ingat adalah keagungan kakek Sang Nabi memimpin Makkah.
“Wahai Paman”,
kata Rasulullah kepada ‘Abbas, “Panggil mereka!”
Maka ‘Abbas ibn
‘Abdil Muthalib, saksi Bai’atul ‘Aqabah itu, pertama-tama teringat para ahli
Madinah. “Wahai orang-orang yang berbai’at di ‘Aqabah! Wahai orang-orang
Anshar!” Maka merekapun menyambut, “Labbaik.. Labbaik.. Labbaik wa sa’daik..”
Maka Anshar-lah
yang menjadi penentu kemenangan hari itu. Saat akhirnya berlembah-lembah
kambing dan unta menjadi rampasan perang yang dikumpulkan di Ji’ranah.
Pertimbangan manusiawi mengatakan, Anshar yang paling berhak mendapatkan segala
harta yang memenuhi wadi itu. Tapi Rasulullah justru membagikannya kepada
pemuka-pemuka Thulaqaa , para muallaf Makkah yang paling depan dalam
melarikan diri dari pertempuran dan berkata, “Mereka takkan berhenti berlari
sampai mencapai laut!“
Ada sesuatu yang
mengganjal setelah pembagian itu, sesuatu yang disampaikan oleh Sa’ad ibn
‘Ubadah dan membuat orang-orang Anshar dikumpulkan di sebuah ladang
penggembalaan. Rasulullah datang dan berbicara kepada mereka.
“Amma ba’du. Wahai
semua orang Anshar, ada kasak kusuk yang sempat kudengar dari kalian, dan di
dalam diri kalian ada perasaan yang mengganjal terhadapku. Bukankah dulu aku
datang, sementara kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi petunjuk kepada
kalian melalui diriku? Bukankah dulu kalian miskin lalu Allah membuat kalian
kaya melalui wasilahku? Bukankah dulu kalian bercerai berai lalu Allah
menyatukan hati kalian dengan perantaraanku?“
Mereka menjawab,
“Begitulah. Allah dan RasulNya lebih murah hati dan lebih banyak karunianya.“
“Apakah kalian tak
mau menjawabku, mendebatku, membantahku, wahai orang-orang Anshar?“, tanya
beliau.
Dengan terhenyak,
mereka ganti bertanya, “Dengan apa kami menjawabmu Ya Rasulallah? Milik Allah
dan RasulNya lah semua anugrah dan karunia…“
Beliau bersabda,
“Demi Allah, kalau kalian menghendaki, dan kalian adalah benar lagi dibenarkan,
maka kalian bisa mengatakan padaku: Engkau datang kepada kami dalam keadaan
didustakan, lalu kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan lemah lalu
kami menolongmu. Engkau datang dalam keadaan terusir lagi papa lalu kami
memberikan tempat dan menampungmu..“
Air mata sudah
mulai melinang, pelupuk mereka terasa panas, dan isak mulai tersedan.
“Apakah di dalam
hati kalian masih membersit hasrat terhadap sampah dunia, yang dengan sampah
itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar mereka berislam, sedang
keimanan kalian tak mungkin lagi kuragukan?“
“Wahai semua orang
Anshar, apakah tidak berkenan di hati kalian jika orang-orang pulang bersama
kambing dan unta, sedang kalian kembali bersama Allah dan RasulNya ke tempat
tinggal kalian?“
Isak itu semakin
keras, janggut-janggut sudah basah oleh air mata…
“Demi Dzat yang
jiwa Muhammad dalam genggamanNya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk
orang-orang Anshar. Jika manusia menempuh suatu jalan di celah gunung, dan
orang-orang Anshar memilih celah gunung yang lain, tentulah aku pilih celah
yang dilalui orang-orang Anshar. Ya Allah, sayangilah orang-orang Anshar, anak
orang-orang Anshar, dan cucu orang-orang Anshar…“, Rasulullah menutup
penjelasannya dengan doa yang begitu menenteramkan.
Dan tentu, akhir
dari semua ini mempesona, semempesona semua pengorbanan orang-orang Anshar
selama ini, “Kami ridha kepada Allah dan RasulNya dalam pembagian ini.. Kami
ridha Allah dan RasulNya menjadi bagian kami…“
***
Dan
kita; belum ada apa-apanya jika disandingkan dengan kaum Anshar yang mulia...
Ah,
dik. Teringat akan sebuah janji pada seorang pemateri waktu mbak masih
awal-awal di kampus.
“Antum
masih suka kecewa? Antum masih suka futur? Masih suka ngiri dan suudzan dengan
saudara seperjalanan antum?” kata beliau berapi-api; waktu itu.
Aku
dan teman-teman dalam forum terhenyak dan tertarik akan kata-kata yang keluar
dari beliau selanjutnya. Ah iya, karena kami dek, adalah makhluk-makhluk lemah
yang rentan dengan kata kecewa, futur, dan sejenisnya.
“Berarti
antum kurang referensi!”
Stag!
Degup jantung kami seakan terhenti waktu itu.
“Jika
antum semua sudah khatam sirah nabawiyah dan sirah-sirah sahabat pembangun jiwa
lainnya; antum tak akan merasa kecewa! Sebab sahabat-sahabat telah mencontohkan
bagaimana. Jika antum masih saja ngelendot dan manja, pasti antum belum kholas
membacanya. Sebab para sahabat telah mencontohkan bagaimana cara mengatasinya.”
Beliau semakin berapi-api.
“Maka
saya minta... yang ada di ruangan ini untuk berjanji; mengkhatamkan sirah
nabawiyah dalam sebulan di ramadhan tahun ini.” Beliau memberikan closing
statement yang cukup menohok, waktu itu.
Ah
iya dek, kami sadar betul. Ini semua karena kami kurang referensi saja. maka
bakda membaca kisah-kisah perjuangan, benar kata ustadz yang mengisi kajian
tiap bakda maghrib di masjid kampus kita; kisah-kisah para sahabat itu,
meskipun mereka telah tiada namun hidup mengabadi di dunia dan surga..
***
Tentang
kakak-kakak yang kau tanyakan keberadaan dan pundaknya, sudahlah. Mereka juga
manusia. Mungkin kemarin, saat kau ingin bertemu namun tak jua sua; ia sedang
memiliki kesibukan lain yang lebih menyita.
Tentangmu
yang merasa terombang-ambing akan seretan arus amanah; hei, bukankah kau jadi
belajar bersabar? Bahwa semuanya tak selalu cepat seperti yang kau pinta. Allah
mengujimu dengan sabar yang tak bertepi.
Tentang
amanah yang kini mau tak mau harus kau hadapi setahun ini; yang sebelumnya kau
buta akan nya; Hei, bukankah ini kesempatanmu untuk belajar lebih baik dan
lebih giat lagi? Ingat, kita akan selalu dipertemukan dengan sesuatu yang tak
kita sukai; sampai kita betul-betul menyukainya.
Tentang
tempat yang kau damba-damba namun kau tak bisa di sana; Hei, kau tak ingat
firmanNya yang mulia? Boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tak baik
bagimu, dan boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu?
Allah
Maha Tahu, Allah lebih tahu, Allah Paling tahu.
Dan
kita? Kita terkadang (terlalu) sok tahu...
***
Maafkan
kakak-kakakmu ini yang terkadang melupa pada hak-hak yang harusnya kau terima;
sehingga kau berteriak dan menanyakan,
“Mana
pundak mereka untuk kami?”
Ah
ya dek, kami yakin kau akan segera mengerti. Karena kelak, kau yang akan
menjelaskan hal ini pada adik-adik kalian nanti.
Jadi
batu bata yang baik, ya...
Sebagai
penutup, izinkan (bukan) puisi ini untuk jadi bahan perenungan dalam
sujud-sujud panjang kita.
(hanyalah)
Batu Bata
Bismillaah.
Karena
setiap kita adalah batu bata yang harus siap ditempatkan di mana saja; terlepas
dari rasa suka dan tak suka. Karena setiap kita adalah batu bata yang terbiasa
di tempa. Untuk tak mengeluh panas karena terik. Untuk tak protes dingin karena
angin badai.
Karena
setiap kita adalah batu bata; yang proses penempaannya mungkin tak sama. Ada
yang lebih dulu datang dan dibakar hingga hitam; ada yang baru karena potensi
liatnya terlihat di akhir. Namun tujuan pembuatannya adalah sama: untuk
mengokohkan dan menopang. Mengisi bagian-bagian kosong; di manapun itu. Tak
peduli di atas yang nantinya akan dipercantik dengan semen dan cat hias ataupun
di bawah. Terhimpit dan tertindih oleh yang lainnya.
Karena
setiap kita adalah batu bata. Kita sadar bahwa awalnya kita hanyalah tanah liat
yang pada asalnya diinjak-injak oleh manusia, lalu ada yang menemukan kita.
Terangkatlah dari injakan; lalu menemukan jalan. Untuk sebuah tujuan kebaikan.
Lalu besar dan cantiklah kita di permukaan. Ada yang menjadi pengokoh gedung
pencakar langit; ada pula yang menjadi penahan reyot dari gubuk-gubuk senja.
Lantas
kita jadi mengenal Tuhan. Lantas kita terbiasa dengan lamat-lamat lantunan
adzan. Lalu bacaan kalam menjadi sesuatu yang membuat kita nyaman.
Menerima,
siap sedia, dan mau belajar keras di manapun tempat dan kawannya adalah bentuk
rasa syukur batu bata yang telah dipertemukan dengan jalan kebaikan.
Sebab,
dahulu kita hanyalah sebongkah tanah liat yang diinjak-injak manusia.
Yogyakarta, peralihan
antara sebelas januari menuju duabelas januari.
2015. Ah ya, sebelas januari bertemu. 00.04 WIB
Kakakmu yang banyak cela dan compang camping di sana-sini
2015. Ah ya, sebelas januari bertemu. 00.04 WIB
Kakakmu yang banyak cela dan compang camping di sana-sini
(masih) uki
Satu hal
dek; ini pula yang selalu dikatakan kakak-kakak kami dulu.
“Ada atau
tidaknya kita, dakwah ini akan terus berjalan. Sekarang, akankah kita diam atau
ambil bagian?”
Kuatlah. Lalu
kuatkan yang lain.
Lillah,
ya...
Maaf,
tulisan ini masih tumpul...
Gile, panjang bener Uki...
BalasHapusmasa-masa pancaroba seperti ini :) sesuatu ya di zaman 'masih kecil' dulu :D
*Emang sekarang enggak? :D ggkgkgkgk
Tapi setiap perjalanan pasti ada cerita, anggap saja semuanya baik-baik saja dan bahagia, dengan mengatakan, "Ceritaku sih keren :3 berdarah-darah, kayak film action, dihiasi dengan cerita es teh, slah motor, dan kamu ^_^..." #eh