Indonesia Mencari Ki Ha Myung

Bismillaahirrahmanirrahiim..

“Jangan berhenti jadi reporter. Tunjukkan pada dunia  dan juga padanya, bagaimana seharusnya menjadi reporter itu.”

Ini adalah kata-kata penyemangat Ki Jae Myung pada Ki Ha Myung, adiknya; saat mengunjunginya di balik sel-sel besi penjara. Dalam drama korea yang banyak dibicarakan dan (kebetulan) juga baru selesai tayang di negeri aselinya –korea selatan- ; pinnochio.


Serial Pinnochio; Drama Keren!
Serial Pinnochio; Drama Keren!



Saya tak hendak memberikan sinopsis mengenai drama ini; bagi anda yang belum tahu jalan ceritanya bisa search di google dengan kata kunci “resensi pinnochio” atau jika anda tak puas membaca; silakan tonton filmnya; ada 20 episode yang cukup direkomendasikan untuk diikuti sampai akhir.

Ki Ha Myung yang menjadi Choi Dal Po
Ki Ha Myung yang menjadi Choi Dal Po



Saya bukanlah penggemar fanatik korea sebenarnya; hanya ada beberapa judul yang semoat membuat saya penasaran untuk melihatnya hingga ending. Rata-rata drama tentang konspirasi, profesi dan sejenisnya; mendebarkan sekaligus memberikan pengetahuan tersendiri bagi saya. Cyber ghost, I Can Hear Your Voice, God of Study, dan baru-baru ini; Pinnochio. Bisa dihitung dengan jari. Sementara itu sebagian besar teman saya hafal dan sudah khatam puluhan judul drama korea.

Kembali ke Pinnochio; Film ini cukup sukses mengobrak abrik suasana hati pemirsanya –termasuk saya-. Film ini benar-benar direkomendasikan buat sesiapa saja; yang ingin tahu tentang permainan media. Tak hanya dalam film; ini benar-benar terjadi di dunia. Tak hanya di korea atau negeri adidaya sekelas Amerika. Indonesia kita, kau tahu, adalah salah satunya.
Film ini diawali dengan kisah 14 tahun silam tentang kasus tewasnya 17 pemadam kebakaran (saya lupa jumlahnya) dalam suatu peristiwa kebakaran. Ki Ho Sang, sang Kepala Pemadam yang saat itu jasadnya tidak ditemukan, diberitakan oleh media sebagai orang yang bertanggung jawab atas semua ini. Jelas saja, keluarganya tidak terima. Namun apa daya; satu berita yang terhembus dari satu mulut reporter lewat satu stasiun televisi –dan itu dianggap cukup bagus untuk menaikkan rating televisi- diikuti oleh media lainnya. 

Akibatnya? Jangan tanya. Seluruh dunia seakan mengutuk kelaurga ini hingga akses ke pasar pun ditutup untuknya. Jahat. Pikir saya waktu itu. mindset tentang media yang jahat semakin menguat saat Ki Jae Myung dan Ki Ha Myung –anak dari Kepala Pemadam yang tertuduh- berangkat sekolah dan dihujani pertanyaan oleh puluhan reporter yang membuat sesak di dada. Kesemua statemen maupun pertanyaan yang diajukan kepada keduanya seolah merujuk pada satu kata: Ayahnya bersalah.

Saat Pemadaman... peristiwa itu
Saat Pemadaman... peristiwa itu

mungkin melakukan perbuatan nista itu dituduh sebagai penjahat tak bernurani oleh media. Sudah kehilangan ayah, masih dituduh yang tidak-tidak. Bagian ini ditutup dengan Ki Jae Myung yang pada akhirnya pergi memberanikan diri ke MSC –salah satu stasiun televisi- untuk mengumumkan pada dunia bahwa ayahnya tak bersalah. Namun ia justru menerima ketidakadilan dan dimasukkan dalam sel sementara. Sementara itu; Ibu dan adiknya pergi melihat kembang api dan bunuh diri.

Ki Jae Myung dan Ki Ha Myung kecil - saat diserbu wartawan dan reporter

Ki Jae Myung dan Ki Ha Myung kecil - saat diserbu wartawan dan reporter
Keesokannya, berita heboh. Ki Jae Myung menangis dan benci menatap ribuan kamera. Hanya karena satu kesaksian yang sama sekali tak adil baginya –dari seorang pinnocio yang digambarkan tak bisa berbohong- Ayahnya tertuduh dan sebab itu Ibu dan adiknya harus mengakhiri hidupnya dengan cara yang kurang ahsan. Keluarganya hancur. Keluarganya berantakan.

Di akhir cerita, ternyata benar; Ayahnya sama sekali tak bersalah. Tulang belulangnya ditemukan dalam suatu agenda pembongkaran gedung. Ki Jae Myung remuk. Sementara itu adiknya, Ki Ha Myung yang telah menjadi Choi Dal Po –ia selamat dan hidup bersama suatu keluarga- dan berusaha menjadi seorang reporter juga menyaksikannya.

Ki Jae Myung dan Ki Ha Myung mengetahui kebenaran...
Ki Jae Myung dan Ki Ha Myung mengetahui kebenaran...

Singkat cerita, Ki Jae Myung ingin membalas dendam pada orang yang telah menyebabkan keluarganya hancur; dan Ki Ha Myung dengan berbagai dilema harus melaporkan bahwa kakaknya bersalah.

Setelah ditelusur lebih lanjut, ternyata berita Ki Ho Sang ini muncul sebagai pengalihan isu saja; sementara itu telah terjadi penggelapan dana dan sejenisnya dalam eksekutif pemerintahan. Dengan tangan Park Ro Sa –seorang pemilik supermarket yang terkenal- , direktur Yeoun –direktur MSC TV- dan seorang reporter bernama Sung Cha Ok. Penyebab terbesarnya adalah: Liberalisasi. Harta dan Jabatan. Naudzubillahi min dzalik.

Ki Ha Myung; reporter YGN..
Ki Ha Myung; reporter YGN..
Ada satu poin penting di sini: Suatu Kasus tertutupi oleh kasus yang lainnya. Dan media, adalah oknum yang memberitakan pada dunia tentang hal ini. Sebenarnya masalah kuat-kuatan saja, media mana yang menarik kepercayaan masyarakat; itulah yang akan dilihat, dan itu berimbas pada naiknya rating media tersebut. Tak perduli berita yang disajikan benar atau salah. Suatu kebohongan yang dikatakan berkali-kali; akan menjadi kebenaran, kata pepatah. Itu baru satu media. Jika banyak media yang mengatakan hal yang sama, semakin menguatlah opini publik tentang isu yang dihembuskan.

Di akhir, ada kasus serupa dan hampir menjatuhkan An Chan So; polisi sipil yang merupakan teman sekelas Dal Po juga Inha. Pelakunya sama, sehingga bisa ditelusur dan akhirnya berakhir melegakan: Park So Ra menyerahkan dirinya, meski harus lewat kesaksian anaknya sendiri; Soe Bum Jo.

“Semua yang telah kugunakan dalam hidupku. Juga apa-apa yang akan kugunakan di masa mendatang. Bersama dengan Ibu, aku akan mempertanggungjawabkannya.”
Hancur hati Soe Bum Jo saat itu. bagaimana tidak, Ibu yang dikenalnya sebagai wanita terkasih telah terlibat dalam skandal mafia besar yang telah menyengsarakan kehidupan sahabatnya.

Media oh media.

Teringat Indonesia; dan beberapa (jutaan) kasus didalamnya. Entah century yang belum selesai hingga kini, dana BLBI yang tertutupi oleh kasus yang lain dan baru-baru ini; kasus Cicak Vs Buaya Jilid Tiga yang ternyata bisa menutupi kasus besar yang lainnya: Perpanjangan Freeport Indonesia yang jelas merugikan negara.

Cicak vs Buata
Cicak vs Buaya
Teman-teman mungkin tahu; bahwa media kita selalu saja begitu. Belum habis satu kasus –biasanya korupsi dan kejahatan level dewa- diusut; muncul peristiwa lain yang mendadak booming seketika. Menutupi kasus utama yang merugigakan negara dan banyak jiwa. Entah kasus terorismelah, berita soal kehebohan inilah, itulah. Siapa korbannya? Kita. Masyarakat Indonesia.

Saya bukanlah pengamat politik yang ulung melihat kondisi polemik politik negara; bukan pula seorang pakar yang mampu menganalis segala jenis kemungkinan dan menemukan fakta. Saya hanya mahasiswa biasa yang pernah tergabung dalam jurnalisme mahasiswa. Ah tidak. Tak perlu embel-embel pernah ikut kegiatan ‘permediaan’ untuk dianggap mampu melihat fakta yang terjadi pada negara kita. Cukup pikiran jernih dan hati nurani sebagai seorang warga. Kasus-kasus dan ‘keanehan’ yang terjadi pada media yang menggambarkan kondisi negara kita jelas-jelas terpampang nyata di hadapan kita. Seorang yang tak pernah mengenyam pendidikan sekalipun.

Masalahnya; iya jika semua bisa berpikiran seperti kita. Lalu, rakyat biasa yang hanya menjadi konsumen berita yang tak jelas keabsahannya itu lalu menelannya mentah-mentah; bagaimana? Juga ribuan rakyat miskin yang bahkan tak tahu menahu soal ini; gelandangan di jalanan, pengemis yang menengadah setiap hari hingga bandit-bandit kecil yang terpaksa terekrut karena tuntutan keadaan. Mereka sama sekali tak tahu. Dan parahnya; merekalah yang jadi imbas ketidaksejahteraan negeri ini. Menyedihkan.

Teringat saya akan kata-kata Pak Ananda Ismail –seorang produser di SCTV-; saat beliau diundang sebagai pemateri di agenda Islamic Journalist Festival #1 tahun 2013 lalu. Betapa sulitnya menjadi orang yang bekerja di ranah media; apalagi pertelevisian seperti beliau. Betapa untuk meluncurkan satu berita yang durasinya tak lebih dari satu menit saja perlu rapat redaksi yang berjam-jam hingga malam; menguras hati dan tenaga. Tentang idealisme? Disitulah semuanya dipertaruhkan. Siapa yang lebih kuat opininya –juga yang paling berkuasa diantara yang lainnya- yang menyebabkan landingnya suatu berita atau wacana; atau topik mana yang hendak jadi hot news dan menggemparkan dunia. 

Saya tak tahu; mengapa Presiden Jokowi begitu keukeuh untuk mengangkat Budi Gunawan sebagai Kapolri yang jelas-jelas telah memiliki track record yang cukup buruk; ia pernah korupsi dan lain sebagainya. Saya tak tahu apakah ada ‘sesuatu’ di balik ini semua. KPK sebagai lembaga tertinggi pemberantasan korupsi menangkapnya. Lalu tetiba ada berita penangkapan Bambang Widjojanto –wakil KPK- saat mengantarkan anaknya ke sekolah. Lalu muncul nama Abraham Samad. Heuu, Begitukah mudahnya? Lalu ternyata; semakin lama berita yang tak booming padahal penting muncul juga: tentang menteri ESDM dan freeport yang diperpanjang massanya –ah, saya belum banyak membaca soal ini-. Yang jelas, kasus ini jelas terpampang sebagai kasus yang ditutupi dan ‘sengaja tertutupi’ dengan kehebohan Cicak Versus Buaya Jilid Tiga. Benar-benar mirip (bahkan lebih mengerikan) daripada drama korea. Ah ya, barangkali ada produser TV yang berminat mengangkat kisahnya dalam box office Indonesia?


Selamatkan KPK
Selamatkan KPK


Bambang Widjojanti - Pimpinan KPK
Bambang Widjojanti - Pimpinan KPK


Budi Gunawan - Calon Kapolri
Budi Gunawan - Calon Kapolri

Dan lagi, kasus ini mengingatkan saya tentang sebuah luka lama: Penangkapan Ustadz Lutfi Hasan Ishaq beberapa waktu yang lalu; juga beberapa peristiwa lainnya; Sri Mulyani, dan ribuan nama yang lain.

Ada banyak kasus yang belum terselesaikan di negeri yang kata Multatuli adalah Jamrud Katulistiwa ini, yang kata Trio Kwek-Kwek negeri loh jinawi ini. Saya tetiba berpikir tentang kantung mata presiden SBY yang telah menjabat delapan tahun lamanya –dengan berbagai polemik yang dihadapinya-. Senyumnya yang memudar dan kantung matanya yang makin besar membelajarkan kita: Jadi presiden itu tak mudah, dek... Kabarnya, setelah terdemisioner dari jabatannya, Pak SBY lebih bisa menikmati hidupnya. Allahu Alam. Seperti Sung Cha Ok setelah membeberkan kebenaran, ia bisa tertidur pulas setelah 14 tahun lamanya terpenjara dengan ‘menutupi kebenaran’ dan ‘hidup penuh tekanan’. Entahlah.

Sebagai penutup, saya mohon Pak Jokowi selaku presiden; Imam yang telah terpilih beberapa hari yang lalu; yang digadang-gadang membawa Indonesia lebih baik ini untuk segera memberikan ketegasan. Kalau bisa, membenahi semuanya.


Pak Jokowi -Presiden Terpilih 2014 dst
Pak Jokowi -Presiden Terpilih 2014 dst



Terlepas dari segala yang jelas telah terpampang nyata: tentang Jokowi dan latar belakangnya, partai ‘merah’ yang menjadi kendaraan politiknya, juga oknum-oknum macam Megawati dan yang lainnya yang dikabarkan menyetir pak Presiden. Saya tak bersuuzon, Pak. Tapi ini yang saya lihat di kacamata saya –meski saya tak minus-.

Walaupun di pemilihan kemarin saya jelas-jelas tak memilih anda –saya dan hati nurani memilih Prabowo Hatta dan koalisi Merah Putihnya- ; bukan berarti kali ini saya tak percaya anda mampu menjadi pemimpin di negeri Indah ini. Justru, kami sangat berhusnudhan dan berharap Bapak mengerti nurani kami. Saya yakin Bapak bisa membedakan mana yang benar mana yang tidak, mana yang harus diutamakan dan mana yang harus ditangguhkan. Maka Pak, kami berharap anda jadi orang yang benar-benar bisa kami percaya, menjadi pemimpin yang mencintai kami dan kamipun mencintai anda.

Jangan pernah mengkhianati kepercayaan jutaan rakyat yang memilih anda, Pak. Juga, jutaan lainnya yang berlapang hati untuk menerima dan mendukung anda meskipun bukan pilihannya saat pemilu lalu –termasuk saya-. Jaga kepercayaan kami, Pak. 

Hei para reporter, akankah kau menjadi Sung Cha Ok yang sempat menutup-nutupi berita dan mengubah alurnya, atau keukeuh untuk kebenaran dan idealisme reporter seperti Ki Ha Myung dan Choi In Ha?

Dan stasiun televisi; apakah memilih menjadi MSC yang kebanyakan citra dan memboomingkan pengalihan isu, atau memilih menjadi YGN yang pada akhirnya harus memilih: ini harus dikupas tuntas hingga bersih. Sampai ke akar-akarnya.

Dan rakyat biasa –termasuk saya- biasakan untuk tak gampang reaktif dan asal klik share atau copas dari grup ke grup. Biasakan budaya untuk menelisik kebenaran sebelum mengungkapkan. #hiks

Siapa yang benar? Allahu Alam, Hanya Allah yang tahu.

Yogyakarta, (masih) Januari; tanggal 25 tahun 2014.
Warga Negara Indonesia, Rizki Ageng Mardikawati.
Maaf, tulisan ini hanyalah pelampiasan dari rasa resah, tanpa analisa, penuh dengan praduga prasangka, dan.. (masih) tumpul.

#BukanGapura





Ya Allah, lindungilah negeri yang kami cintai ini. Jagalah dari tangan-tangan penguasa zalim. Aamiin.
Tunjukilah kami yang benar itu benar dan beri kami kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah yang salah itu salah dan beri kami kekuatan untuk menghindarinya.

Komentar