Istikharah Diary Biru-Putih



Jika aku, bukan jalanmu
Ku berhenti mengharapkanmu
Jika aku memang tercipta untukmu,
Kukan memilikimu...
Jodoh pasti bertemu.
(Afghan_Jodoh pasti bertemu)

Ah! Dia lagi. Kenapa dia selalu datang di manapun aku melangkahkan kaki? Apa dia membuntutiku? Apa sih, maunya? Apa dia mau merusak niat yang susah payah kubangun ini? Apa dia mau mendobrak lagi pertahanan hatiku? Hai, Boy.. aku tahu. Tapi bisakah kau tak datang sekarang? Aku masih sekolah, aku masih ingin belajar. Banyak ilmu yang harus kupelajari. Ilmu jurusanku yang semakin hari semakin rumit saja. Aku belajar eksak, Boy! Tak sepertimu yang menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Ilmu agamaku juga belumlah seberapa. Aku hanya anak kos-kosan biasa yang harus berlari kesana kemari untuk menimba ilmu syar’i. Aku bukan anak pondokan yang setiap hari mendapat siraman ilmu dan lingkungan yang akan sering mengingatkanku. Tolong, Boy! Menjauhlah dariku. Setidaknya untuk saat ini…


***

Allah… aku tahu, Engkau menciptakan keindahan dengan luar biasa. Terimakasih atas ilmu dan pemahaman yang telah Engkau berikan padaku selama ini. Tapi Rabbi, kali ini… apakah Engkau sungguh sedang menguji imanku? Gadis berkerudung biru itu… mengapa Engkau selalu mempertemukanku dengannya? Aku tahu, ini titik terlemahku. Benar Engkau sedang ingin mengujiku? Aku tak tahu perasaan apa ini. Namun kemanapun aku melangkah, aku selalu bertemu dengannya. Jantungku, ya Rabbi… berdetak lebih cepat dari biasanya tiap kali merasa bahwa dia ada di tempat yang sama denganku. Rabb, tolonglah aku..

***

Boy! Biarlah aku memanggilmu dengan sebutan ini, karena aku sedang merutuk dalam-dalam di hati. Aku tahu, engkau tak melakukan kesalahan apapun padaku. Kau bahkan seorang lelaki yang baik, yang pandai, dan tentu saja shalih. Itu semua terpancar dari dalam dirimu. Kau tak perlu merasa bersalah dan meminta maaf seperti itu, karena itu memang bukan salahmu. Aku, seorang wanita yang lembut hatinya, walau terkadang aku bisa marah-marah seperti ini. Sekuat dan setegar apapun aku, aku tetaplah kaca berdebu! kaca ini gampang sekali berdebu jika tak rajin-rajin dibersihkan. Ia akan pecah dan retak jika kau membersihkannya dengan keras. Namun ia akan rentan dan bernoda jika terlalu kau manjakan. Ah, tunggu dulu.. kau yang membersihkannya? Tidak, Boy. Aku tak tahu… aku tak berani berandai-andai apakah engkau ataukah yang lain.  Tak baik, Boy. Pergilah. Aku tahu ada rasa yang salah disini, karenanya tolong pergilah dari hidupku. Setidaknya untuk saat ini.

***

Rabbi… kali ini aku ingin bertanya padaMu. Tanda-tanda apakah ini, Rabbi? Aku, lelaki yang lemah ini menyerahkan segala-galanya kepadaMu. Di titik terlemah ini kau mengujiku, aku tak tahu perasaan apa ini. Aku terlalu takut untuk mendefinisikannya. Gadis itu… berbeda dengan yang lainnya. Ia berbeda, Rabbi. Ia tegas dalam mengambil sikap. Ia shalihah. Ia.. Ah, mengapa aku jadi memuji-mujinya seperti ini? Bisa jadi apa yang aku lihat tak seperti yang sesungguhnya terjadi. Pertama aku tahu namanya, jantung ini berdetak kencang. Kencang sekali Rabbi, hingga teman disampingku mampu merasakannya. Dan, tiap kali aku bertemu dengannya –selalu dengan cara yang tidak disengaja- aku merasakan hal yang aneh menjalar dalam dada. Mengapa aku selalu bertemu dengannya, padahal aku tak pernah merencanakan sebelumnya? Apakah hatiku sedang tertawan, ya Rabbi? Aku tak berani menarik kesimpulan atas tiap kejadian-kejadian yang begitu cepat terjadi ini… Apa.. apa aku sedang jatuh cinta pada makhlukMu?

***

Aku memutuskan untuk ikut UKM Bahasa Jepang. Setidaknya ini akan membuatku sejenak melupakannya. Lagian, mana mungkin dia ada di sini? Orang shalih seperti dia pasti akan masuk UKM Kerohanian atau Rohis Fakultas. Ya. Bismillaah. Tahun ini aku akan mengisi waktu luangku untuk belajar Bahasa Jepang. Ya... siapa tahu suatu saat nanti aku akan pergi ke sana, dengan beasiswa tentu saja. Masuk Rohis? Tentu saja aku ingin. Ingin sekali bahkan. Meneruskan perjuangan semasa SMA dulu. Namun, dalam buku yang kubaca, dakwah nggak mesti harus masuk Rohis, kan? Aku bisa menebarkan kebaikan agama ini dimanapun aku mau dan mampu. Sebagai Mahasiswa Baru, pasti akan menyenangkan mengenal keberagaman.

Tapi, Hey! Kenapa kau... ada di tempat ini lagi, Boy? Allah... aku berusaha untuk menjauhinya, mengapa Engkau malah mempertemukan aku lagi dengannya? Atau... jangan-jangan dia mengikuti dan menelusuri setiap aktivitasku? Ah.. rasanya tak mungkin. Bercakap langsung dengannya saja aku tak pernah. Bahkan, aku tak yakin ia mengenalku dan tahu namaku. Aku mengenalnya? Tentu saja. Ia mahasiswa terbaik saat ospek universitas beberapa waktu yang lalu.  Ia sering maju ke depan dan menyerukan kalimat-kalimat motivasi di depan umum. Semua panitia –kakak kelas- mengenalnya. Semua gadis –kecuali aku- pasti memuji-mujinya. Tampanlah. Alimlah. Ah, aku gerah dengan semua pernyataan-pernyataan itu. Tapi, belakangan ini aku bertanya-tanya pada hatiku lagi. Gerahku ini, marahku ini, rasa tak sukaku pada pujian-pujian berlebihan yang diberikan teman-teman gadisku padanya apakah menandakan sesuatu? Aku.. aku cemburu? Tidak!

***

Setiap aku mengedarkan pandangku, ke kerumunan manusia-manusia baru didepanku, mengapa hanya dia yang terlihat? Rabbi, aku mulai meracau lagi. Apa dia mengenalku? Aku tak yakin. Walaupun aku sering maju ke depan mimbar saat Ospek universitas kemarin, aku tak yakin dia memperhatikanku. Tapi setidaknya aku sudah mendapatkan sesuatu. Aku memperhatikannya saat ia bertanya kepada salah seorang pembicara. Dinda. Nama yang indah. Aku mendengarkannya baik-baik saat ia menyebutkan nama dan fakultasnya, juga pertanyaannya. Pertanyaan cerdas untuk mahasiswa baru seperti kami ini. Dinda, fakultas MIPA.

Astaghfirullah... rasa-rasanya aku merasakan sesuatu yang salah sedang merasuki hatiku. Sejenak saja aku ingin melupakannya. Tapi ini sulit. Aku begitu takut akan perasaan ini, jika suatu waktu nanti aku bertemu dengannya. Namun nyatanya, aku selalu saja bertemu dengannya. Selalu saja bertemu. Kemarin di perpustakaan, hari ini di Student Center: Ia ikut UKM Bahasa Jepang juga? Rabbi.. bukankah dengan begini kami jadi sering bertemu? Aku, aku takut.. namun, mengapa hatiku jadi berbunga?

***

Boy, belajarmu sungguh cepat. Hari ini kau mengalahkanku dalam permainan kosa-kata bahasa Jepang. Kau dapat 30 sedang aku masih 27. Baiklah, aku mengaku kalah. Namun tidak untuk perasaanku yang tak jauh beda saat pertama kali aku mengenalmu. Hati ini masih saja berdegup kencang tiap melihat sosokmu. Masih sama. Bahkan, hanya melihat namamu di lembar presensipun, aku merasakan hal yang sama. Sampai-sampai, salah seorang temanku menegurku, apa aku sedang sakit kala itu. Getarannya sangat besar. Mungkin kedengarannya agak sedikit berlebihan. Namun ini sungguh terjadi, Boy..

Apalagi, hari ini kau mengucapkan sebuah kata yang kau tujukan khusus untukku. Ya.. karena kita sedang berlatih mengucapkan kosa kata dengan teman. Dan, mengapa aku mendapatkan partner untuk pertamakalinya itu, adalah kau? Boy, pergilah! Saat kau mulai berlatih kata di depanku, aku membuang muka saat itu. Menunduk dalam-dalam. Mungkin kau dan yang lainnya akan menganggapku seperti orang marah. Sebagian mungkin akan menganggapku angkuh dan tak tolerir kepadamu. Autis bahkan. Ah, terserah. Aku tak peduli. Aku tak mau melihat mukamu, itu saja. Alasanku cukup sederhana, kan? Namun belakangan aku takut, dan kembali bertanya-tanya pada hatiku. Jangan-jangan, sikap dinginku padamu adalah representasi dari ketakutan hatiku untuk makin tertarik padamu. Tertarik? Ah, tidak, Boy! Tak mungkin...

***

Hari ini, aku bertemu dengannya lagi. Rabbi, gejolak hati ini sudah bisa kuredam dan kupendam lagi. Kuikat kuat-kuat agar ia tak membuncah, apalagi terumbar. Setidaknya untuk saat ini, sampai aku benar-benar siap suatu hari nanti. Aku begitu kaget saat tentor bahasa Jepang menunjukku untuk berpartner dengannya untuk latihan hari ini. Dan, aku memanggil namanya. Dinda. Ia agak kaget waktu aku mengucapkan namanya saat  itu. Untuk pertama kali. Mungkin ia bingung, bagaimana bisa aku tahu namanya? Ah, itu tak penting. Hari ini, kau menundukkan wajahmu, lebih tepatnya, pandanganmu. Terimakasih. Aku jadi tersadar dan mengikutimu untuk sama-sama menundukkan pandangan. Terimakasih untuk mengingatkanku bahwa aku tetaplah seorang ikhwan. Rabbi, jagalah hatiku selalu..

***

2 tahun kemudian...

***

Pagi ini kontrakanku gempar. Ah, tidak. Mungkin hatiku saja yang sedang gempar. Aku mendengar kabar dari abang kontrakanku, bahwa salah seorang temannya akan meng-khitbah seorang mahasiswi semester lima, seangkatan denganku. Rabbi... aku biasa mendengar kabar tentang khitbah dan pernikahan. Bahkan, aku sudah tiga kali diajak abang-abang kontrakanku untuk menemani mereka mengurus proses itu. Aku sering mendengar, bahwa mereka –yang sudah siap menikah- akan mengajukan proposal diri kepada murabbi-nya. Ya, jika mereka belum menemukan jodoh namun sudah siap menikah. Mereka menyerahkan sepenuhnya proses itu kepada murabbi dan tim proses di kampus. Namun, ada beberapa yang sudah menemukan tumpuan hati, sehingga tak lagi perlu minta dicarikan oleh sang murabbi. Pilihan mereka sudah jatuh, dan mereka benar-benar memilihnya sendiri. Seperti saat ini. Pagi ini, akan ada seorang kakak tingkat yang aku kenal baik sejak semester satu. Orang terkeren dalam sepanjang sejarah kehidupanku, Bang Fadlan namanya. Sudah lulus bulan kemarin, dan sudah mapan pula. Pantas saja ia mulai memutuskan untuk tak lagi hidup sendiri. Aku penasaran, akhwat seperti apa yang akan menjadi pendamping hidupnya? Pasti akan sama kerennya. Yang aku heran, kenapa bisa aku sepenasaran ini. Tak seperti biasanya.

Siangnya, aku bertemu dengannya dan berusaha untuk menanyakan hal itu. Untuk menuntaskan rasa penasaranku.

“Bang Fadlan mau mengkhitbah siapa nih?” aku mulai mengawali percakapan. Ia tergelak.

“Kamu ini, mau tahu saja urusan orang dewasa.”

“Aku sudah 20, Bang.” Aku protes.

“Lalu? Sudah siap menikah? Sudah ada calon belum?” Bang Fadlan menggodaku, sukses membuat pipiku bersemu merah.

“Ah, Abang ini. Aku serius tanya, Bang. Siapa gadis beruntung yang akan dipinang Bang Fadlan?”

“Ini baru proses, Dhil. Tak semua pinangan diterima, dan abang sudah siap dengan semua kemungkinan-kemungkinan itu. Nanti abang kasih tau setelah dapat jawaban pastinya, ya.” Katanya bijak. Terdengar sangat bijak ditelingaku.

“Ah, gadis mana, Bang, yang tega menolakmu. Sudah tampan, aktivis BEM, hafalannya mantap lagi. Kalau aku akhwat, pasti aku sudah mencintaimu, Bang.”

“Kamu serius mencintai Abang?” katanya menggodaku lagi.

“Karena Allah, Bang.” Aku berlari meninggalkannya sebelum habis diserbu umpan baliknya. Ya, ia memang abang paling cerdas dan menginspirasi yang pernah kutemui.

***

“Apa? Saya nggak salah denger kan, Ummi?” jantungku berdegup kencang akan sebuah telepon siang ini.

“Iya, Dinda. Jadi, bisa bertemu kapan?” kata sebuah suara dari seberang. Murabbi-ku.

“Sore ini, Mi...” aku menjawab dengan nada lirih.

            Rabbi, apakah ini semacam ujian semester lima? Tidak.. ini lebih susah daripada kuantum. Apalagi mekanika. Semua terasa terjadi begitu cepat dan berlalu begitu saja. Aku berdoa semoga saja apa yang aku dengar dari Ummi tadi salah.

“Apa? Dikhitbah ikhwan, Din?” Luna, sahabatku terbelalak. Aku mengangguk. Luna tertawa terbahak-bahak. Aku manyun. 

“Sama siapa, Din?” tanyanya begitu antusias. Aku menggeleng lemah.

“Nggak tahu, Na... sore ini aku diminta menemui Ummi untuk membicarakan hal ini.”

Barakallah, Sayang.” Luna tersenyum.

“Aku belum siap, Na. Aku merasa masih kecil sekali. Aku masih semester lima. Dan.. apakah yang akan meng-khitbah-ku nanti benar-benar jodohku? Aku bahkan belum mengajukan proposal bahwa aku sudah siap menikah. Aku masih terlalu kecil untuk membicarakan masalah ini...”
“Kamu sudah 19, Din... sudah bisa menikah.” Luna tertawa lagi.

“Hampir 20, 5 bulan lagi.” Koreksiku.

“Nah, itu lebih malah. Sudah bisa, Din.” Luna terbahak untuk kesekian kalinya. Aku manyun lagi.

***

“Dinda, Bang?” Aku mencoba untuk meng-klarifikasi lagi kata-kata yang barusan aku dengar.

“Iya, kamu kenal, kan? Dinda, aktivis berprestasi yang pernah exchange ke Jepang kemarin.” Bang Hendra menegaskan.

“Bang Fadlan, Bang? Dinda yang seangkatan sama Fadhil?” Aku bertanya lagi. Bang Hendra mengangguk.

“Dinda, fakultas MIPA? Yang suka pakai kerudung biru itu, Bang?” Aku bertanya lagi. Bang Hendra menoleh, sejenak mengalihkan pandangannya dari komputer kerjanya. Melihat serius ke wajahku.

“Kok, mukamu merah, Dhil? Iya, Bang Fadlan kemarin bilang mau mengkhitbah Dinda yang itu. Tunggu, jangan-jangan... Fadhil suka sama Dinda? Ada rasa ya, Dhil?” Bang Hendra curiga.

“Enggak, Bang. Sungguh...” Aku segera ke luar kamar Bang Hendra. Lemas.

Dinda?

***

“Mas Fadlan, Ummi? Mantan ketua BEM Universitas yang kemarin baru saja diwisuda itu?” aku terkejut.

“Iya, ini data dirinya. Dinda baca dulu. Kamu beruntung, Din..” Ummi tersenyum.

Aku meringis. Mas Fadlan? Tak pernah terbayangkan. Dalam mimpi sekalipun.

***

            Tak boleh ada pinangan di atas pinangan saudaranya, begitulah ilmu yang aku tahu. Bang Fadlan mungkin memang cocok dengan Dinda. Shalih dan Shalihah. Sama-sama pintar. Sama-sama pernah ke luar negeri. Sama-sama aktivis. Aku bahkan pernah mendengar, jika seseorang yang berjodoh itu, akan ada banyak kemiripan. Dan itu terbukti. Rabbi... inikah jawabanMu atas doa-doaku semenjak 2 tahun yang lalu? Jika bukan jodohku, jauhkanlah.. namun, mengapa hati ini sulit untuk menerima kenyataan? Rabbi..

“Kamu mencintainya, Dhil?” kata-kata Bang Hendra barusan sungguh menusuk-nusuk hatiku.

***

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kebaikan kepadaMu dengan Ilmu-Mu, aku memohon kemampuan kepadaMu dengan kekuasaanMu, dan aku memohon kepadaMu dari anugerahMu yang agung. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Mahatahu sedang aku tidak mengetahui, Engkaulah Zat yang Yang Maha Mengetahui perkara yang ghaib.

Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini adalah baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akhir urusanku, maka tentukanlah untukku, mudahkanlah jalannya, dan berkahilah aku di dalamnya. Dan apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akhir urusanku, maka jauhkanlah ia dariku darinya, tentukanlah untukku apapun yang terbaik, kemudian ridhailah aku dengannya.

Aku menghela napas.

Sudah ratusan kali doa ini –istikharah- yang diajarkan Nabi kulantunkan usai sholat sunnah dua reka’atku. Namun, jawabannya sama. Aku masih belum menemukan kemantapan hati. Apa aku menolak saja? Ah, bukankah kau beruntung, Dinda? Banyak yang memuja-muja orang yang kini tengah mengkhitbahmu, namun kau malah membiarkannya menunggu. Tapi, ini urusan hati, Dinda. Hari ini dan seterusnya. Kau harus segera memberikan jawaban! Tinggal berkata iya atau tidak. Beri kepastian! Sepuluh hari telah terlewat daru batas waktu yang ditentukan dalam kesepakatan untuk memberikan jawaban. Tapi hai, Boy! Kenapa sosokmu yang malah muncul usai istikharahku? Padahal kau tak sedang melamarku. Apa, aku terlalu berharap? Rabbi... ampuni aku

***

            Kudengar dari Bang Hendra bahwa pagi ini Bang Fadlan akan mendapatkan jawaban dari Dinda. Bang Hendra masih saja menggodaku,

“Kamu mencintainya, Dhil?”

Aku menggeleng kuat. Namun aku mendengar suara lain dari hatiku. Mungkin iya, jawabku dalam hati. Sejak pertama kali mengenalnya, tambahnya. Hei hati, benarkah kau yang sedang berbicara? Aku takut ini nafsuku saja...

Dan aku mengangguk saja ketika Bang Hendra mengajakku menemani Bang Fadlan mendapat jawaban. Ke rumah Dinda. Untuk pertamakalinya...

***

“Maafkan saya Ummi.” Aku menundukkan kepalaku lagi. Ada bulir-bulir bening menjatuhi pipi. Aku tahu tujuh orang yang dihadapanku sedang berdebar menanti sepatah kata dariku. Iya atau Tidak. Ayah, Bunda, Ummi –Murabbi-ku-, Mas Fadlan, Murabbi-nya, Mas Hendra, dan.. hei Boy, kenapa kau ikut kemari?

Mas Fadlan tersenyum, membuatku kaget setengah mati. 

“Saya sudah tahu jawabannya Ummi, Abi.” Ia memandangi para muasis dakwah di kampus kami itu. “Dinda, mungkin saya bukan jodoh Dinda. Dan bisa jadi, Dinda bukan jodoh saya.”

“Maafkan saya..” aku menutupi mukaku dengan kedua tangan.

Ketujuh orang dihadapanku menghela napas, aku tahu itu. Namun aku tak berani menampakkan mukaku. Mas Fadlan sudah mendapat jawaban dariku dengan lapang, senyum terus mengembang di wajahnya; makin membuat sesak dadaku dan perasaan bersalahku.

Sebelum rombongan berpamitan, tiba-tiba Mas Hendra bertanya padaku. 

“Dinda, apakah sedang mencintai yang lainnya? Jika saat ini seseorang yang Dinda cintai mengkhitbah Dinda, bagaimana?”

Aku terkejut. Eh? Apa maksudnya?

Ada seraut muka yang sama terkejutnya denganku.

Bang Hendra melirik pemuda yang sering kupanggil ‘Boy’ dalam diary-ku itu. 

“Sepertinya, Fadhil mencintaimu, Din..” Mas Hendra tersenyum.

Gimana, Dhil?” Bang Hendra melirik Fadhil. Ia kikuk. Semua sudah tahu jawabannya.

***

“Sedang apa, Dinda?”

Suara itu!

Suara itu!

“Serius banget, apa itu?

Kembali ia bertanya.

Aku segera menutup kedua diary itu, Diary berwarna biru dan putih. Diary biru, itu punyaku. Warna yang belakangan aku tahu adalah warna kesukaannya. Ah, kenapa aku memilih diary warna biru untuk menumpahkan segala perasaanku yang tak terbendung itu? Dan satunya, diary warna putih. Warna kesukaanku. Itu miliknya. Warna yang juga belakangan ini baru diketahuinya, adalah warna kesukaanku. Dia tak mau mengaku mengapa memilihnya untuk menuliskan pengalaman hariannya.

Ia memandangiku, bergantian dengan dua diary yang terserak di hadapan kami berdua. Senyumnya begitu manis pagi ini, kembali mengingatkanku pada awal-awal kami bertemu, perasaan kami yang ternyata sama-sama tak menentu. Cinta? Ah, hingga kini aku terlalu takut untuk mendefinisikannya.

“Dinda, sholat malam dulu, yuk? Jamaah.” Ia berkata lagi. Aku mengangguk. Kami sholat berjamaah, jamaah cinta, begitu kami biasa menyebutnya. Walaupun udara dingin di kota ini begitu menusuk-nusuk kulit, ada sesuatu yang hangat yang mengalahkan segalanya. Perasaan hangat ini masih sama seperti dulu, hanya kali ini ia tidak terbingkai dalam kecemasan, tidak terwarnai oleh ketakutan.

“Dinda, tahu nggak bedanya dinda sama kulit durian?” tiba-tiba ia menoleh kepadaku usai salam.

“Kulit durian? Jelek banget. Apa memangnya?

“Kalau kulit durian diciptakan untuk melindungi buahnya dari manusia yang ingin mengambilnya sebelum matang, Dinda diciptakan untuk melindungi hatiku dari yang belum halal..” Ia tertawa tergelak sebelum akhirnya aku menimpuknya dengan ujung sajadah.

Rabbi, indah sekali skenario yang Engkau beri.







*Cerpen ini pernah dikirimkan pada rubrik Roman Annida-online.com

Komentar