(tentang) diam-diaman


"Jangan bermusuh-musuhan. Jangan saling diam. Jadilah mukmin yang bersaudara."

Begitu lelaki yang paling mulia mengajarkan; lewat rentetan peristiwa dan hikmah yang terlihat dalam keseharian. Berlapang-lapang atas segala hal yang terjadi dalam kehidupan, berprasangka baik dalam setiap ujian; termasuk ujian persaudaraan.

Betapa ketika beliau ditanya Humaira, sang kekasih jiwa,

"Ya Rasul, ujian terberat apakah yang pernah kau alami dalam hidup -dakwah- selama ini?"

Ia menghela napas. Ujian terberat beliau bukanlah saat beliau datang ke Thaif lalu dilempari batu; bukan pula saat beliau sedang shalat dan dilempar kotoran; bukan pula saat cacian demi cacian beliau dapatkan ketika menyampaikan kebenaran.

Ujian terberat; menurut beliau,

"Adalah saat aku diberikan kewenangan atau kekuasaan untuk membalas perbuatan Kaum yang mendzalimiku. Saat kalimat 'hancurkan!' menjadi halal bagiku, saking buruknya perlakuan mereka kepadaku..."

Subhanallah.. T_T

akankah kita bisa berucap seperti lelaki paling mulia itu?



***

Diam-diaman.

Tak saling menyapa.

Ketika bertemu, senyum tak berbalas dan menyeri ulu hati: sakit.

"Apa salahku terhadap saudaraku ini?" begitu ronta hati.

Diam-diaman. Saya ingat betul; terakhir kali diam-diaman lama dengan seorang -lebih dari seorang teman-. Lebih tepatnya; didiamkan. Karena hingga saat ini pun; saya tak pernah benar-benar mendiamkan seseorang karena suatu kesalahan. Sifat sanguinis ini begitu kental; hingga kadang marahan hanya beberapa detik lalu terguyur candaan: lalu kita bersama hujan-hujanan.

Saat itu -diam-diaman- saya ingat betul; ketika itu baru saja pengumuman kejuaraan di kelas satu SD. Saya, si anak baru dari TK yang bukan favorit biasanya meraih juara 2 atau puas di kursi ketiga saat cawu satu dan dua, ternyata diberi kesempatan Allah untuk menduduki peringkat pertama kelas saat kenaikan ke kelas 2. Dan saya; dapat hujan hadiah dan pujian dari guru-guru saya.

Lalu, saat duduk di kelas dua awal; ada yang berbeda dengan tatapan teman-teman. Terutama yang perempuan. Ketika saya sapa; banyak yang mendelik kesal. Saya senyum; mereka mengabaikan. Saya ajak main, mereka diam. Aduhai, anak kecil mana yang tak teriris melihat teman-temannya mengabaikan?

Tapi saya tak mudah patah. Saya -yang memang sedari kecil biasa berlari-larian dengan kawan laki-laki- (karena memang di RT saya yang usianya sepantaran dengan saya laki-laki semua); memilih mengalah. Siapa bilang saya tak punya teman? Teman laki-laki saya banyak. Kami main layangan. Kami main seperti biasa; kami menggambar dan bertukar gambar tanpa beban. Seolah saya lupa bahwa "saya sedang dibenci sekelompok orang."

Lalu saat ujian matematika mendadak dari sang mahaguru tiba. Saya; yang memang dibiasakan Ibu untuk belajar dan disemangati bapak untuk terus mengasah keahlian, tenang-tenang saja mengerjakan soal. Bukan sombong, sebab ini sudah pernah diajarkan. Tiba-tiba, ada seulur tangan yang mencolek bahu: Teman yang sedang memusuhi saya, -Bahkan menurut cerita seorang teman; satu tahun kemudian, anak inilah yang 'mengajak' teman lain untuk memusuhi saya- berbicara lirih,

"Ini jawabnya apa?"

Melirik ke buku saya. Saya? Secara spontan menutup jawaban; selain karena mencontek itu tak diperbolehkan, dia sedang memusuhi saya. Batin anak kecil saya memberontak, "Hei! Setelah mendiamkan saya atas sesuatu yang saya tidak merasa salah; masih berani bertanya begitu pada saya?"

Hingga belum selesai saya berontak dengan batin, ia sudah berucap,

"Dasar Pelit..."

Aduhai, hati anak kecil mana yang tak perih?

Lalu saya menyodorkan jawaban dan berteriak. "Silakan! Silakan! Contek saja yang kamu mau!"
Itu baru satu. Masa-masa kelas dua itu; begitu menyakitkan -hingga terngiang sampai sekarang-. Hingga kelas tiga datang dan semuanya berubah seperti semula; teman-teman bersikap biasa saja. Saya? Marah iya... tapi saya tak berhak. Saya sudah memaafkan mereka.

Dulu, kala itu, saat saya tak kuat dengan kejadian-kejadian menyakitkan akibat perbuatan teman -diam-diaman-; saya menumpahkannya pada diary mungil yang saya buat sendiri. Anak kecil; bergulat dengan kata demi mereda gejolak hatinya.

Saat menemu diary usang itu beberapa waktu yang lalu; saya tertawa. Adek dan kakak saya yang membacanya; tak kalah keras gelak tawanya.

Ah iya, masa lalu. Anak kecil yang mencoba dewasa dalam bersikap dalam keseharian. Saya cengeng sekali saat itu, saya sering marah dan tak terima. Ketika membaca rentetan kalimat keluhan itu; senyum tak hilang-hilang dari peredaran. Menyadari Kekonyolan. Bacaanku waktu itu bukan buku-buku Salim A Fillah, apatah lagi kenal sirah nabawiyah. Aku hanya mengeja kata dari bobo dan cerita rakyat oleh-oleh Bapak.

Hei kamu; sudah memaafkan aku? Aku akui aku salah... Maafkan aku.

Hei kamu; sampai kapan terus begitu? Aku.. Akulah yang harus banyak berkaca; sebab saat kita temu cela pada saudara kita; berarti kitalah yang harus segera berbenah.

Aku tak pernah membencimu; aku tak pernah mendiamkanmu. Jikalau memang kamu yang salah sekalipun; aku, sudah jauh-jauh hari memaafkanmu.

Hei kamu; maafkan diri yang masih keruh dan tak pandai menjaga lidah ini..

Kau tak mau memaafkanku? Aku sudah menyerahkan perkara ini pada Allah... Semoga, Allah lembutkan hati-hati yang sedang berseteru. Moga, Allah ikhlaskan segala noktah-noktah cela dalam pandangan hati yang saling membisu.

Yogyakarta, 14 Oktober 2014;
Bakda menikmati senja di langit Yogyakarta...
Aku baik-baik saja...

Komentar