Menangislah

Lihat kambing-kambing yang berjejeran di sepanjang trotoar kampus itu; mereka tahu kalau esok akan di beli. Kalau esok kan di sembelih. Tapi mereka terlihat tegar; iya kan?

Ismail pun tak protes kala ayahnya membawanya ke puncak bukit untuk memenuhi titah Tuhannya. Ia tegar; walau ajal sudah membayang.

Kita manusia, memang makhluk lemah.
Tapi Allah, menciptakan kita ke dunia untuk menjadi manusia yang kuat
.

Kata pepatah, orang menangis itu bukan karena mereka lemah. Itu karena mereka sudah kuat terlalu lama.

Menangislah, tak apa. Aku juga pernah.

***
Kecewa? Ya.. itu fitrah manusia. Saat apa-apa yang kita harap ternyata tak berbanding lurus dengan apa kenyataannya. Ada masalah. Lagi-lagi; soal hati-hati manusia. Tak apa. Mungkin imanmu yang sedang rapuh; karena saat kau temu cela pada saudaramu, bukan mereka yang harus kau tanyai dan sodori dengan rentetan pertanyaan menghakimi. Tapi hatimulah yang harus kau tanyai; kau sudah beres belum?

Saat kau merasa sesak karena tak ada tangan-tangan yang membantu atas apa yang kau kerjakan. Kau harusnya malu; pantaskah, kau mengeluh seperti itu? Padahal kau tahu, Allah berjanji langsung dari langit; bahwa tentara langit lebih akan membantumu lebih dari siapapun.

Saat kau merasa saudara-saudaramu tak ada yang mengerti akan dirimu; saat mereka terlihat sibuk memikirkan dirinya sendiri dan mengabaikanmu. Hei, harusnya kau marah pada dirimu. Apa pantas, kau berpikir seperti itu? Kau tak tahu kondisi mereka. Mungkin, beban yang mereka dapatkan melebihi beban yang kini kau rasa sedang menghimpitmu.

Saat kau merasa harus terus dan telah mengayomi adik-adikmu, dan kau merasa tak pernah mendapatkan pengayoman dari kakak-kakakmu, lalu kau cemburu. Hei hati, seharusnya engkau malu dan bersyukur. Engkau sudah mendapat pemahaman itu, kan? Kau mau jadi makhluk manja yang minta untuk terus diperhatikan? Hei.... kau sudah besar! Kau bahkan sudah tahu sebenarnya harus bersikap bagaimana. Bahwa berlapang-lapang, adalah memang jalanmu.

Tapi kadang kau meminta pembenaran. Bahwa sekuat-kuatnya manusia, ia tetap harus dikuatkan. Iya, yang bisa menguatkan hanyalah mereka yang sudah kuat. Sementara dirimu yang rapuh itu; terus dipaksa untuk menguatkan, padahal kau belum mendapatkan contoh bagaimana cara menguatkan itu; sebab kau belum pernah sama sekali dikuatkan. Belum sama sekali.

Lalu kau merajuk; lalu kau termenung. Haruskah aku yang mengalah? Aku juga butuh dikuatkan; tapi.. mana kakak-kakakku? Begitu katamu. Lalu kau menambahi prosa-prosa itu; Mana pundak yang mereka janjikan padaku? Pundakku; banyak yang bersandar. Padahal aku belum pernah menyandarkan kepalaku sendiri pada pundak siapapun.

Hai hati.. kau ingin menangis? Tak apa... menangislah. Kau ingin mengadu? Tak apa,, mengadulah. Jika saat ini kau rasa beban semakin berat dan tak ada yang menggandeng tanganmu, Hei.. ada Allah; mengapa kau masih ragu?

Jangan bermuka masam.. Tetap tebarkan senyum dan salam. Pada siapapun. Termasuk pada mereka yang kau harapkan pundaknya bisa kau sandari.

Tak apa. Tak apa. Kau sudah paham (atau terpaksa paham?). Bahwa merajuk dan meminta untuk didengarkan, adalah bukan masamu lagi. Bahwa ngambek dan minta diperhatikan, adalah bukan zamanmu lagi. Kau sudah dewasa; kau sudah paham. Jangan merepotkan.

Ada Allah.. Dia rindu padamu. Segeralah bersujud berlutut padaNya.. cari Ia dalam keheningan shalat malammu.. berbaik sangkalah pada saudara-saudaramu yang terlihat banyak cela di kacamatamu. Kau yang harus berbenah. Kau yang harus sedikit lapang, maklum, dan menerima.

Aku memang manusia biasa. Tapi aku diciptakan untuk menjadi manusia yang kuat. Kamu juga, kan?



3/10/14

Untukku; yang terkadang masih bertanya-tanya, "Mana pundak mereka?"

Komentar

  1. wkwkwk, menangis saja... menangis itu melegakan...

    BalasHapus
  2. Jazakillah khoir ya, ukh Rizky. Tulisan ini telah membantu menjawab pertanyaan sy beberapa waktu lalu. :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-