Mujahidin, I’m in Love!



 “Mujahidin. Mungkin ia sama dengan masjid-masjid lainnya. Dengan masjid-masjid kampus lainnya. Namun, ia tetap berikan warna berbeda. Ada yang kutemukan di sini. Ah iya. Mujahidin memang rumah kita. Rumah penuh cinta...”

                Di mana-mana, yang namanya “Rumah Allah” itu pasti menyenangkan. Yap! Rumah Allah, di mana-mana pasti jadi yang pertama dicari, terkhusus muslim tentunya. Bayangin aja nih, ya. Bayangin kamu adalah seorang asing dari negeri antah berantah yang sedang berkelana di suatu tempat dan tak memiliki sanak saudara, lalu kamu ingin bernaung berteduh barang sejenak di suatu tempat. Tempat yang tentu saja nyaman, milik bersama dan gratis hingga kamu tak perlu membayar. Tempat yang meneduhkan dan kamu bisa mendapatkan apapun di sana tanpa rasa sungkan pada yang lainnya. Tempat apa yang pertama kali kamu tuju? Dari Sabang sampai Merauke, saya yakin jawabannya sama; MASJID!
                Iya. Masjid selalu mempesona; di manapun letaknya dan seberapapun besarnya. Gimana enggak, masjid itu serba bisa, serba ada, dan yang paling penting: bikin kita demen ibadah dan deket sama Pencipta! Rasulullah aja ketika sampai di Madinah langsung mencari lahan yang pas buat membangun masjid. Iya, masjid Nabawi yang lalu kokoh berdiri dan menjadi pusat peradaban di sana. Ya tempat Ibadah, ya tempat rapat, ya pusat pemikiran dan diskusi, ya tempat buat belajar, banyaklah pokoknya. Maka ketika saya berada dalam kondisi apapun, baik-baik saja atau lagi galau, Masjid adalah yang pertama saya cari.

Hanya Anak Manusia yang Biasa Biasa Saja
                Ohya, gak ahsan ya kalau cerita panjang lebar tapi gak kenal. Siapa sih ini anak yang berani-beraninya nimbrung nulis di buku ini? Bahasanya gak formal pula. Okai. Assalamu’alaykum, perkenalkan! Saya bukan siapa-siapa, hanya anak manusia yang juga biasa-biasa saja. Tapi, saya merasa luar biasa karena sudah diberi kepercayaan oleh Allah untuk menghirup napas di dunia ini dan berlaku layaknya manusia; terlebih dilahirkan dari rahim seorang wanita keren dan dibesarkan dibawah pengasuhan seorang pria berjenggot tipis yang tak kalah kerennya. Ibu dan Bapak saya.
                                Terlahir dari sebuah keluarga yang alhamdulillah harmonis. Ibu dan Bapak saya, walaupun nggak begitu religius, sudah menanamkan nilai-nilai agama sejak saya masih kecil, tepatnya ketika adik laki-laki saya lahir. Bapak saya yang awalnya merokokpun sampai menghentikan kebiasaannya saat adik lahir; dan itu berimbas pada segi-segi kehidupan yang lainnya. Bapak saya adalah seorang seniman otodidak yang luar biasa; melukis, membuat patung, menggambar, menata taman adalah pekerjaan sehari-harinya. Ibu saya, seorang yang cerdas dan menjadi bintang kelas saat beliau masih sekolah. Hal inilah yang mungkin membuat kami belajar lebih awal daripada anak-anak seusia kami; menulis, membaca, dan mengaji ditanamkan Ibu sejak dini. Dari segi lingkungan, desa kami kebanyakan adalah Nahdatul Ulama (NU). Jadi, tradisi tahlilan, yasinan, dan peringatan-peringatan yang lainnya masih sangat kental di desa kami.
                Di rumah, kami tinggal ber-enam; Ibu, Bapak, Simbah Putri (dari Ibu dan satu-satunya yang tersisa dari simbah-simbah saya yang lainnya), kakak perempuan, saya, dan adik laki-laki. Sejak kecil hingga SMP, saya menghabiskan hidup saya di desa tercinta, Dusun Krajan, Desa Kendal, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Temen-temen tahu Goa Gong dan Pantai Teleng Ria? Nah. Disitulah letak kabupaten tempat saya tinggal. Kehidupan saya selama itu pun juga berjalan biasa-biasa saja, dalam arti aman dan sentosa dan nggak begitu paham sama agama. Cuma, Ibu Bapak senantiasa menerapkan norma-norma dan itu berimbas pada saya yang kemudian tumbuh menjadi gadis cilik yang lumayan akademis (jadi juara kelas tiap tahunnya dan sering mewakili sekolah untuk mengikuti lomba mata pelajaran, storry telling, dan kesenian) dan nggak mau bersentuhan dengan dunia pacaran (meskipun juga sempat galau alay juga).
                Di SMP saya sudah mengikuti Rohis (Kerohanian Islam) disamping Pramuka dan OSIS, namun kehidupan agama saya juga biasa-biasa aja; nggak ada sesuatu yang spesial. Barulah kemudian saat mau melanjutkan pendidikan ke SMA dan saya memutuskan untuk berjilbab, tantangan demi tantangan demi mempertahankan prinsip mulai ada.
“Serius Ki, mau jilbaban? Nanti kelihatan pendek dan gendut lho.”
Kata seorang teman SMP saya. Ibu saya pun juga sempat meragukan keputusan saya. Namun bismillah, saat itu saya benar-benar harus konsekuen terhadap keinginan saya. Saya bersungguh-sungguh ingin berjilbab, demi untuk memperbaiki diri saya. Saya pun jadi getol baca buku-buku Islami berkenaan dengan jilbab untuk memperteguh hati saya.
Bertemu Cahaya
                Entah kenapa, setia bercerita saya selalu menyebut fase ini adalah fase “Bertemu Cahaya.” Ya, di tempat menimba ilmu saya ini: SMA Negeri 1 Wonogiri. Karena berbeda provinsi dan harus menempuh perjalanan dengan bus selama 2 jam untuk mencapainya, maka saya harus menjadi manusia mandiri yang jauh dari orangtua: Ngekos untuk pertamakalinya. Pengalaman ngekos dan mencicipi yang namanya survival, ngirit duit, dan pinter-pinter cari temen serta lingkungan saya temukan di sini.
                Iya, masa-masa SMA inilah yang kemudian drastis membawa perubahan dalam diri saya. Karena sudah berjilbab dan sedang merasa haus-hausnya akan Ilmu Agama, maka saya memutuskan untuk mengikuti Rohis (kali ini saya mencoba untuk lebih serius dari waktu SMP). Selain itu saya juga mengikuti OSIS, Pramuka, dan ECSA (Klub Debat Bahasa Inggris). Terkait akademik, alhamdulillah perjalanan saya menjadi seorang siswa jurusan IPA dilancarkan oleh Allah. Terkait prestasi, yang lebih menonjol semasa ini adalah organisasi dan Debat Bahasa Inggris. Sempat beberapa kali diikutkan Olimpiade Fisika, namun belum beroleh juara, hehe.
                Masa SMA ini pula yang mempertemukan saya dengan Mushola Al Azhar (Bukan di kairo!) dan segala aktivitasnya; Rohis, Ukhuwah, dan teman-teman yang “se-frekuensi” yang selalu ada kala suka dan duka. Di sini pula saya menemukan mata air menyejukkan itu; Tarbiyah. Mulai mengazzamkan diri untuk menimba ilmu bersama teman-teman lainnya dipandu oleh seorang Murabbi yang juga guru mata pelajaran di SMA setiap pekannya, berusaha mengupgrade diri terutama dalam hal pemahaman agama. Masa ini pula yang lalu membentuk saya waktu itu menjadi seorang yang idealis. Sempat berdebat beberapa kali dengan Ibu soal Yasin, Tahlil, dan ha-hal yang saya anggap bid’ah waktu itu.
Universitas Negeri Yogyakarta, Tempat Tepat dan Terbaik
                Beranjak kelas tiga SMA, saya mulai disibukkan dengan aktivitas mencari kuliahan. Alhamdulilah, terkait pendidikan Ibu dan Bapak memberikan dukungan sepenuhnya bagi putra-putrinya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Jadilah saya seorang yang sangat bersemangat untuk menjadi agen perubahan dan agen pencerah di Indonesia.
                Pendidikan Fisika? Universitas Negeri Yogyakarta? Awalnya keduanya tak pernah masuk list daftar pencarian hidup saya. Saya, yang memang sejak kecil ingin menjadi dokter, segala hal yang berkaitan dengan anak, dan seni ini pun menaruh tambatan ke beberapa program studi yang tersedia. Pendidikan Dokter UGM menjadi bidikan pertama, menyusul Hubungan Internasional dan Psikologi saat SNMPTN Undangan tahun 2011 di gelar. Belum lolos. Galaulah saya, tapi Cuma sebentar karena ada big battle yang kedua: SNMPTN Tertulis. Proposal saya pada Ibu untuk mengambil Psikologi di Universitas Indonesia di Jakarta dan Astronomi serta Seni di Institut Teknologi Bandung tidak diterima oleh Ibu. Alasan klasik, jaraknya terlalu jauh. Hal ini tentu membuat jiwa muda nan idealis saya berontak; namun segera surut karena teringat sebuah ayat bahwa Ridho Allah itu tergantung Ridho Orangtua. Jadilah saya, memilih program IPA untuk SNMPTN Tulis  dengan prioritas pendidikan Dokter UGM di pilihan pertama dan pendidikan Fisika UNY di pilihan yang kedua.
                Sempat saya diam-diam menabung dan mendaftarkan diri di Program SIMAK UI yang akan diselenggarakan sabtu pagi, sementara pengumuman SNMPTN adalah malam jum’at. Malam-malam, diantarlah saya oleh Bapak ke Warnet di Kecamatan, dan kursor itu berkedip-kedip saat saya memasukkan nomor urut peserta SNMPTN saya beserta passwordnya: Alhamdulillah, Pendidikan Fisika UNY. Diterima. Saya bukannya bersyukur malah nyengir senyum datar. Rizkiiiii... barulah beberapa detik kemudian saya tersadar bahwa pasti ada rencana indah dibalik ini semua; langsung saya sujud syukur. Alhasil, uang yang saya kumpulkan dari uang saku berbulan-bulan itu kandas begitu saja, karena Ibu tak mengizinkan saya ikut tes SIMAK UI, karena sudah diterima di UNY.
Mencari Rumah Allah
                Alhamdulillah, saya menjadi orang yang cukup legowo dan bersyukur atas segala pemberian Allah. Meskipun sempat satu semester galau luar biasa dengan jurusan yang saya ambil ini; sekalipun saya menyukai fisika. Rasa-rasanya bayang-bayang untuk menjadi dokter masih ada.
                Tak apa. Saya mencoba move on. Registrasi Pertama adalah terkait Tutorial PAI, semacam asistensi agama Islam di Universitas. Dalam perjalanan, saya sempat membuat tulisan,
“Sekarang, Nasi sudah menjadi bubur. Sekarang terserah kamu, Ki. Mau ngebiarin buburnya jadi bubur biasa atau kamu taburin suwiran ayam goreng dan bawang merah yang enak.”
Maksudnya, segalanya sudah terjadi. Saya sudah menjadi mahasiswa pendidikan Fisika di sebuah Universitas yang dulunya IKIP; Universitas Negeri Yogyakarta. Saya mau jadi mahasiswa biasa aja atau luar biasa, itu semua tergantung ikhtiar dan usaha saya. Tentu, doa dan izin Allah tak lupa.
                Pertama sampai, yang saya baca adalah tulisan di atas masjid megah itu: MASJID AL-MUJAHIDIN UNY. Saya memandang optimis ke menara masjid waktu itu. Tak apalah bukan Nurul Huda UNS, Maskam UGM, Salam UI, Al Hurriyah IPB, ataupun Salman ITB: Masjid ini tak kalah indah; Al Mujahidin UNY. Entah mengapa, sejak saat itu saya merasakan keteduhan yang luar biasa saat berada di Masjid ini. Masjid ini indah, sejuk, dan membuat saya memiliki tambahan alasan untuk betah dan bangga berada di Universitas Negeri Yogyakarta.
Mujahidin, I’m in Love!
                Bagi saya, Mujahidin bukanlah masjid biasa. Ia kekuatan inspirasi dan menjadi tempat bernaung saya hampir setiap hari. Alhamdulillah, lokasinya memang tepat berada di depan fakultas saya, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Kuburan Karangmalang yang berada di sampingnya menjadi keunikan tersendiri, seperti yang dikatakan Dekan FMIPA 2011 saat saya menjadi maba, Pak Ariswan.
“Bersyukurlah adik-adik yang terpilih di FMIPA, berjanjilah untuk rajin beribadah. Lihatlah di depan adik-adik; ada Masjid Al-Mujahidin dan ada makam umum karangmalang. Semoga bisa membuat kita dekat dengan pencipta, karena ingat mati ingat Ibadah.”
                Oh iya. Saya punya cerita unik tentang Mujahidin. Waktu itu sedang OSPEK 2011, Pemandu saya meng-sms kami untuk berkumpul di suatu tempat,
“Dek, nanti shalatnya di Masmuja aja ya, biar nggak telat datangnya.”
Masmuja? Tempat apa itu? setelah muter-muter dan tanya di sana-sini barulah saya tahu bahwa Masmuja ini adalah singkatan dari MASJID AL MUJAHIDIN UNY. Olala! Semenjak saat itu, saya lebih suka memanggil Masjid Al-Mujahidin dengan Masmuja.
                Masmuja, begitu mengena dan bersejarah. Di fakultas sebenarnya juga mushola, namanya Mushola Al-Furqan. Namun entah kenapa, saya lebih sering menggunakannya untuk shalat sunnah dhuha atau ketika kepepet waktu dengan jam kuliah saja; selebihnya saya memilih untuk sholat berjama’ah di Masmuja. Entah kenapa, feel –nya berbeda.
                Masmuja lalu menjadi tempat favorit bagi saya dan teman-teman. Saat kos tak lagi menjadi tempat yang kondusif untuk belajar, saya dan teman kos saya mengungsi ke Masmuja lantai 2 sambil membawa alat-alat belajar. Saat sedang ingin menyendiri, saya sering mojok di masmuja. Pun saat sedang kesepian, futur, dan merasa butuh charge, saya pasti lari ke Masmuja. Di sana, pasti bertemu dengan teman-teman yang membuat semangat lagi. Uniknya! Masmuja bisa disetting menjadi apapun; saat ingin sepi atau ramai. Sayaaaang banget sama Masmuja :’)
Bertemu Dakwah Kampus
                Saat awal-awal masuk kampus adalah hal yang sangat luar biasa bagi saya. Bagaimana tidak? Disambut secara terhormat, heboh, dan menyenangkan oleh kakak-kakak angkatan di sana. OSPEK UNY yang meriah, lalu dilanjutkan dengan OSPEK Fakultas yang nggak kalah keren. Hati siapa coba yang nggak berbunga waktu Pak Rektor bilang, “Selamat! Andalah putra-putri terbaik bangsa yang terpilih untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta.” Hati mana coba yang nggak semangat waktu disambut dengan kebaikan-kebaikan luar biasa kakak angkatannya; pas registrasi, pas stanisasi, pas OSPEK, dan lain sebagainya. Jiwa mana coba yang nggak terpanggil waktu ada orasi-orasi penyemangat dari ketua-ketua BEM di UNY, “Wahai Agent of Change! Wahai Iron Stock! Berikan bakti terbaikmu untuk bangsa.”
                Saya sangat bersemangat waktu itu. Ada beberapa peristiwa unik dan menyenangkan di awal-awal masuk kampus. Semoga semangat itu masih terbawa hingga kini, aamiin. Melihat eforia kampus yang luar biasa heboh itu membuat saya bertanya-tanya, “Energi macam apa yang membuat panitia-panitia OSPEK ini begitu bersemangat menyambut kami?” belum lagi, Mbak-mbak mas-mas yang berjaket hijau-hijau (yang belakangan saya tahu, jaket itu adalah jaket Haska; nama Rohis Fakultas saya) yang selalu tersenyum ramah sembari membagikan bunga yang ada tulisan kata mutiaranya, juga buletin mini yang isinya cukup mencerahkan saya tentang kampus yang luar biasa ini. Saya pun mulai tertarik; sebenarnya siapa sih mbak-mbak dan mas-mas yang amazing ini?
                Bermula dari wanti-wanti Murabbi saya pas di SMA, bahwa kuliah adalah lahan yang sangat luas dan ada bermacam aliran dan harokah yang berkembang di sana. Beruntungnya saya yang langsung mendapatkan kelompok ngaji pekanan di kampus ini, sehingga nggak bingung lagi mau menambatkan hati kemana. Segala kejadian dan peristiwa hingar bingar waktu OSPEK; mulai dari registrasi, penyambutan maba, dan juga ada sedikit peristiwa kontoversial waktu itu yang bernama “Aksi Balik Badan” cukup membuka pandangan saya; bahwa menjadi seorang mahasiswa itu memang harus punya prinsip dan pendirian. Jangan ikut-ikutan. Dari awal, tentukan siapa kamu dan amu apa kamu. Mau jadi apa kamu, mau berteman sama siapa kamu, mau diisi apa hari-harimu, itu tergantung kamu dan pilihan-pilihanmu. Iya, kan?
                Saya suka membaca dan menulis, itu sebabnya selebaran dan buletin apapun yang diberikan kakak kelas ataupun nemu di jalan selalu saya kumpulkan (sampai sekarang masih ada). Saya baca, saya cermati, dan saya coba analisis satu persatu. Ada buletin kecil yang menarik perhatian saya kala itu; Progress. Buletin terbitan UKKI Jama’ah Al Mujahidin (Rohisnya UNY) ini berisi tentang berbagai informasi yang memang saya butuhkan di masa-masa itu. belum lagi, perkenalan tentang rohis-rohis berbagai fakultas beserta jargonnya yang menggetarkan jiwa muda seperti saya.
Tiada Kemuliaan Tanpa Kesunguhan ---UKKI Jama’ah Al Mujahidin UNY
Tiada Istirahat Bagi Seorang Mukmin Kecuali di Surga --- HASKA JMF FMIPA
Tiada yang Kami Inginkan Selain Perbaikan --- JM Al Ishlah FIS
Islam Terlalu Indah Untuk Tidak Diperjuangkan --- KMIP FIP
Muslim Olahragawan --- KM Al Hidayah FIK
Titik Cita Merengkuh Sejuta Karya --- KM Al Huda FBS
Siapa yang Bersungguh-Sungguh Ia akan Berhasil – KMM FT UNY
Saat itu belum ada fakultas ekonomi. Baru-baru ini berdiri, dan rohisnya, KM Al Fatih juga turut membersamai dengan jargon, “Spirit Perbaikan, Raih Kemenangan.”

HASKA, Rumah Hijau yang Menyejukkan
                Berawal dari keinginan untuk merubah bubur – tak ingin menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja; saya berniat untuk aktif di berbagai organisasi. Tahun pertama, saya memberanikan diri untuk mengikuti berbagai macam kepanitiaan. Saat open recruitmen, jadilah Himpunan Mahasiswa Fisika dan HASKA (Himpunan Aktivitas Kajian Agama, Rohis-nya FMIPA) menjadi tambatan hati saya. Alhamdulillah, saya diterima di Hima jadi staff Kelompok Karya Ilmiah Fisika dan HASKA di bagian BSO Laboratorium Jurnalistik. Yaa.. nggak jauh beda lah ya. Nulis, nulis, nulis.
                Saat memulai organisasi inilah saya merasakan atmosfer yang begitu berbeda ketika saya berada di hima dan di rohis. Entah kenapa, hima, serame apapun dan sebanyak apapun orang-orang didalamnya, tetep nggak begitu menarik buat saya. Sedang haska, setiap hari kaki saya selalu pingin melangkah ke sekrenya; entah Cuma mau menyapa siapa yang lagi di sana, baca buku, sampai nyapu-nyapu aja. Atmosfernya beda. Tapi hebatnya, kakak-kakak di haska justru menganjurkan saya untuk lebih banyak interaksi sama temen-temen di luar haska, termasuk hima juga.
“Ageng nggak mau sholih sendirian, kan? Coba keluar. Kenalkan indahnya Islam pada yang lainnya.”
Di Haska juga, saya belajar banyak hal. Apa itu tentang ukhuwah, mengutamakan saudara –itsar-, dan saling menyemangati dalam kebaikan. Tahun ke dua, saya diamanahkan untuk tetap di Haska, untuk menjadi direktur (kepala bidang) BSO yang saya ikuti itu, meskipun rada galau juga mengingat di hima fisika nggak ada ikhwahnya lagi T.T karena saya merasa belum begitu klop sama atmosfer hima dan takut jika malah nggak maksimal dan nggak bisa berbuat apa-apa, saya memilih Haska. Di tahun yang sama, saya juga dapat amanah di CES (Centre of Excellent Student) sebagai kadep MPR (Media and Public Relation) dan komunitas Gapura.
                Banyak peristiwa amazing yang saya dapatkan di tahun-tahun itu. Bersyukur sekali dipertemukan dengan sosok Mbak Anisyah yang diberi kenikmatan Allah lewat sakitnya, dan akhirnya beliau berpulang di malam Jum’at barakah, Insya Allah. Tentang perjuangan, tentang ukhuwah, tentang persaudaraan, dan cinta.
                Di tahun-tahun itu, saya takjub dengan kata ‘syummul’. Bahwa Islam itu syummul, Islam itu menyeluruh. Ia tak hanya mengurusi melulu soal Ibadah, tapi ia juga menyentuh segala sisi: Pendidikan, Hukum, Perdagangan, hingga Politik. Luar Biasa. Saya jadi saksi hidup betapa teman-teman aktivis muslim ini –yang orang mengenalnya dengan Orang Mujahidin- sangat bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan apa yang memang harus diperjuangkan. Maka tak heran, jika orang-orang yang saya temui di beberapa hima, BEM, dan di UKM adalah anak-anak rohis juga. Sederhana; ingin membagi keindahan Islam yang telah mereka dapatkan di rumah hijau, agar yang lain juga merasakan.
“Ayo jangan telat masuk kuliah! Aktivis harus jadi teladan di kelas.”
“Yang rapih pakai jilbabnya, aktivis itu sorotan massa.”
                Tahun ketiga ini, mendapat amanah di rohis lagi, kali ini di UKKI Jama’ah Al Mujahidin; Rohis Universitas, yang jadi payung bagi rohis-rohis fakultas. Bertemu orang-orang luar biasa, kali ini dari fakultas lain juga. Agak aneh juga mengingat saya yang masih ‘pecicilan’ ini amanahnya di rohis. Mungkin Allah pingin saya belajar banyak disini biar jadi shalihah. Aamiin. Hehe.
Finnaly, Jogja Memang Istimewa
                Benar, rencana Allah itu sungguh luar biasa. Bahwa dibalik skenario yang telah kita rancang seindah-indahnya itu, tetep kalah dengan skenario Allah yang luar biasa. Mungkin saya nggak jadi dokter, tapi saya bisa jadi guru atau dosen inspiratif gara-gara masuk pendidikan fisika. Mungkin saya nggak jadi mahasiswa UGM atau ITB, tapi saya dapat sesuatu yang lebih di sini (UNY) yang mungkin tak saya dapatkan jika saya di kampus-kampus yang lainnya. Dan tahu apakah yang paling berkesan? Masjid, Dakwah Kampus, dan Orang-Orangnya!
                Saya menemukan banyak aktivis keren di tempat ini; yang expert di bidangnya tapi tak meninggalkan tugas utamanya: berdakwah, berdakwah, berdakwah! Alangkah banyaknya yang berseliweran di ormawa; menjadi eksekutif dan legislatif tapi nggak lupa tilawah dan ngaji di mujahidin bakda maghrib. Banyak yang prestatif, jadi mahasiswa dengan IPK Cumlaude, menang lomba-lomba dan terbang ke sana kemari hingga luar negeri karena prestasi, tapi binaan (adik tutor)-nya juga banyak. Banyak yang buka wirausaha mandiri dan bikin komunitas sana sini buat ngembangin bakat yang lainnya. Nggak sedikit, men! Dan lagi-lagi, Mujahidin yang menyatukan. :) sesibuk apapun mereka, sepadat apapun aktivitas mereka, masih bisa diakses di Mujahidin tercinta. Karena memang, mereka tumbuh dan besar di Mujahidin.
                Saya percaya, Mujahidin akan terus berkembang dengan pusat dan menjadi pusat peradaban ummat, khususnya ummat UNY. Ia, bukan hanya jadi tempat ibadah; lebih dari itu. Menjadi forum ilmu, kajian-kajian keilmiahan, pusat kegiatan pencerah dan inspiratif. Mujahidin, sebuah tempat yang didalamnya mengalir keberkahan. Mujahidin, oase di tengahnya kering kerontang iman. Mujahidin, generator pencetak inspirator-inspirator muda.
                Pingin Mujahidin rame, yang ketika kajian riyadus shalihin, sirah nabawiyah, dan tafsir qur’an rame. Pingin mujahidin juga ngadain forum-forum kelimiahan, fisika, matematika, geografi, seni, dan yang lainnya. Pingin kegiatan di mujahidin bisa diikuti oleh semuanya; nggak Cuma “Lu lagi, Lu lagi.” Atau kepanitiaan SKI yang terkadang masih “Dari, Oleh, dan Untuk”. Optimis, bahwa Mujahidin akan semakin ramai dari hari ke hari.
                Bahagia, saat Ramadhan dan Mujahidin sesak oleh jama’ah yang mencari takjil gratisan (Aha! Saya salah satunya). Bahagia, saat melihat suara isak tangis bakda shalat di shaff-shaff depan. Haru, saat melihat sekelompok orang melingkar dan bersama membahas ilmu-Nya. Senang, saat forum tahsin dan tahfidz dari LPIM makin banyak yang mengikuti. Trenyuh, saat melihat ada yang hanyut dalam bacaan Qur’annya. Berbunga, saat melihat seorang Ibu yang tampak kelelahan namun tak henti memperhatikan kelima anaknya bakda shalat di mujahidin. Takjub, saat melihat duka satu orang adalah duka bagi yang lainnya, saling meneguhkan dan memberi nasihat kesabaran. Bersyukur, dipertemukan dengan keadaan seperti ini; bertemu Mujahidin, masjid pusat peradaban dan inspirasi. Keadaan yang mungkin tak bisa ditemukan jika tak diterbangkan di tanah Jogja.
Mujahidin. Mungkin ia sama dengan masjid-masjid lainnya. Dengan masjid-masjid kampus lainnya. Namun, ia tetap berikan warna berbeda. Ada yang kutemukan di sini. Ah iya. Mujahidin memang rumah kita. Rumah penuh cinta... []

Komentar