Oke, Nak. Aku hapal namamu (1) #catatanPPL

“Sudah siap ngajar?”

Tanya salah seorang guru waktu kami awal-awal menjejakkan kaki di tempat ini. Kami –aku dan temanku, Imah- meringis.

“Siap nggak siap pokoknya harus siap ya.” Lanjut beliau dan kami mengaamiini sembari memeriksa degup jantung yang berdetak lebih kencang saat kata “ngajar” itu mampir ke telinga kami. Iya, meskipun sudah latihan di ruang mikro berkali-kali; perasaan itu selalu hadir. Perasaan cemas, takut, was-was, penuh harap, dan lain sebagainya.

Murid-murid di sana nanti, gimana ya?

Mereka bisa paham penjelasanku nggak ya?

“Di sini itu yang penting manajemen kelasnya, Mbak. Anak-anaknya memang seperti ini. Jika sudah bisa mengendalikan anak-anak dan kelas, Ilmu akan gampang diserap.”

            Ah iya. Ini bukan SMA Kota, di mana murid-muridnya kebanyakan antusias untuk belajar dan bersemangat untuk turut aktif dalam pembelajaran. Apalagi, tahun ini kami harus menerapkan kurikulum 2013 yang mengharuskan siswa lebih aktif daripada gurunya. Iya, sebab siswa adalah subjek sentral pendidikan ini.

***


            Berdasarkan testimoni teman-temanku yang sudah terlebih dahulu melangkahkan kakinya ke kelas; rata-rata mengeluhkan hal yang sama: Siswanya susah diatur. Banyak yang celelekan dan ramai sendiri.

“Kalau ada gurunya mah, agak tenang dan kita bisa njelasin di depan. Kalau nggak.. wah..” salah seorang berpendapat.

“Kelas itu tu.. masya Allah.. pingin nangis rasanya.” Sahut yang lainnya.

Pikiranku langsung melayang ke sebuah drama korea tentang pendidikan yang dulu pernah kutonton dengan teman-teman kos; SMA Byung Moon (agak lupa namanya), dalam God of Study dimana murid-muridnya masya Allah sulit datur. Guru saja dibantah, lah mahasiswa PPL? Bisa jadi objek sasaran bully mereka. Oh tidak-tidak, SMA ini lebih baik. Muridnya baik-baik kok, aku menenangkan diri.

***
Rabu, 13 Agustus 2014

Hari itu, pertama kali aku masuk ke kelas untuk mengajar. Entah sudah tertulis di lauhul mahfuz atau apa, aku kebagian mengajar kelas X di 3 jam terakhir sekaligus, jam 11.15 hingga 14.00 WIB. Kebayang? Sudah fisika, siang-siang pula.

“Ngantuk, kiii..” kata beberapa teman saat kutanyai apa perasaan mereka saat diajar fisika di jam terakhir.

Aku menenangkan diri: kau pasti bisa, Ki! Now your turn, buktikan!

Berbekal RPP yang sudah kurancang sebaik-baiknya; apersepsi motivasi yang sudah kubayangkan akan berjalan lancar, dengan percaya diri aku melangkahkan kaki ke kelas X MIA 3. Pokoknya aku akan meneriakkan pada mereka bahwa Fisika itu AMAZING! :D

Bu Yayuk, mana ya?

Jam sudah menunjukkan jam 11.15 namun guru pembimbingku belum kunjung datang di kelas. Akhirnya aku memasuki kelas. Seorang diri.

Suasana gaduh. Laki-laki dan perempuan; sama-sama sedang bercakap. Dan kau tahu? Itu ramai sekali.

“Ngopo, mbak?” salah seorang anak laki-laki melihat ke arahku. Aku meringis.

“Fisika yo, mbak?”

Berdehem berkali-kali, mereka tak kunjung memperhatikan. Akhirnya aku memaksimalkan volume suaraku dan memulai untuk menyapa mereka.

EHEM!

“Bismillah. Assalamu’alaykum warahmatullahi wa barakatuh.”

Kelas hening, ada yang menjawab salam lirih-lirih.

“Ehm. Perkenalkan, nama saya Rizki Ageng Mardikawati, mahasiswa pendidikan fisika Universitas Negeri Yogyakarta. Insya Allah hingga 17 september, saya akan membersamai temen-temen semua belajar fisika. Bisa dipanggil mbak Ageng.”

“Kalian mau dipanggil adek-adek atau anak-anak, nih?”

“mas-mas, mbak!” jawab salah seorang dari ujung belakang.

Kelas ramai.

Karena gaduh dan belum kondisif untuk pembelajaran, maka kuminta mereka untuk memperkenalkan diri satu persatu. Nama dan cita-cita.

“Halah.. ora usah lah mbak...”

“Nama sama cita-cita tok, mbak?”

“Alamat iya nggak mbak?”

“Facebook sama twitter juga ya mbak!”

Aku berdehem, meminta anak laki-laki paling pojok untuk pertama memperkenalkan diri. Kebanyakan sudah memiliki cita-cita, namun ada juga yang belum menambatkan pilihan hatinya.

“Dokter”

“Pegawai NASA”

“PNS”

“Pegawai Bank”

“Membahagiakan orang tua.”

“Itu kurang spesifik,” protesku.

“Halah mbak, pokoke membahagiakan orang tua.”

“Tapi ada banyak cara, kan?”

“Halah mbak.”

Aku mengalah, memilih melanjutkan ke yang lainnya untuk perkenalan.

“Oke! Kita punya 5 calon dokter di kelas ini. Kita lanjutkan pembelajaran ya. Hari ini kita akan belajar tentang pengukuran. Sebelumnya, ada yang tau Fisika itu apa?”
Kelas kembali gaduh.

Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki yang main nyelonong saja di depanku keluar kelas,

“Hei! Mau kemana?”
“Buang sampah ki lo mbak...”
“Memangnya saya udah mengizinkan?” #Tidaaak aku galaaak TT
Dia meringis, namun tetap melanjutkan aksinya.

Hanya ada dua cara untuk membuat seorang siswa gampang dihapal/diingat gurunya: pertemuan pertama sekalipun.

Satu, dia sangat aktif/rajin/sering maju ke kelas, seorang yang menonjol dan berpengaruh seperti ketua kelas,
atau dua, dia sangat nakal/bandel/tidur dikelas maupun yang suka cari gara2 

tak ada tempat untuk murid yang biasa saja.

Oke, Nak. Aku hapal namamu.

-Bersambung-

Ruang kerja Guru PPL, 16 Agustus 2014
Calon Guru Inspiratif, Insya Allah


Komentar