“Sudah
siap ngajar?”
Tanya
salah seorang guru waktu kami awal-awal menjejakkan kaki di tempat ini. Kami
–aku dan temanku, Imah- meringis.
“Siap
nggak siap pokoknya harus siap ya.” Lanjut beliau dan kami mengaamiini sembari
memeriksa degup jantung yang berdetak lebih kencang saat kata “ngajar” itu
mampir ke telinga kami. Iya, meskipun sudah latihan di ruang mikro
berkali-kali; perasaan itu selalu hadir. Perasaan cemas, takut, was-was, penuh
harap, dan lain sebagainya.
Murid-murid di
sana nanti, gimana ya?
Mereka bisa
paham penjelasanku nggak ya?
“Di
sini itu yang penting manajemen kelasnya, Mbak. Anak-anaknya memang seperti
ini. Jika sudah bisa mengendalikan anak-anak dan kelas, Ilmu akan gampang
diserap.”
Ah iya. Ini bukan SMA Kota, di mana
murid-muridnya kebanyakan antusias untuk belajar dan bersemangat untuk turut
aktif dalam pembelajaran. Apalagi, tahun ini kami harus menerapkan kurikulum
2013 yang mengharuskan siswa lebih aktif daripada gurunya. Iya, sebab siswa
adalah subjek sentral pendidikan ini.
***
Berdasarkan testimoni teman-temanku
yang sudah terlebih dahulu melangkahkan kakinya ke kelas; rata-rata mengeluhkan
hal yang sama: Siswanya susah diatur. Banyak yang celelekan dan ramai sendiri.
“Kalau
ada gurunya mah, agak tenang dan kita bisa njelasin di depan. Kalau nggak..
wah..” salah seorang berpendapat.
“Kelas
itu tu.. masya Allah.. pingin nangis rasanya.” Sahut yang lainnya.
Pikiranku
langsung melayang ke sebuah drama korea tentang pendidikan yang dulu pernah
kutonton dengan teman-teman kos; SMA Byung Moon (agak lupa namanya), dalam God
of Study dimana murid-muridnya masya Allah sulit datur. Guru saja dibantah, lah
mahasiswa PPL? Bisa jadi objek sasaran bully
mereka. Oh tidak-tidak, SMA ini lebih baik. Muridnya baik-baik kok, aku
menenangkan diri.
***
Rabu, 13
Agustus 2014
Hari
itu, pertama kali aku masuk ke kelas untuk mengajar. Entah sudah tertulis di
lauhul mahfuz atau apa, aku kebagian mengajar kelas X di 3 jam terakhir
sekaligus, jam 11.15 hingga 14.00 WIB. Kebayang? Sudah fisika, siang-siang
pula.
“Ngantuk,
kiii..” kata beberapa teman saat kutanyai apa perasaan mereka saat diajar
fisika di jam terakhir.
Aku
menenangkan diri: kau pasti bisa, Ki! Now your turn, buktikan!
Berbekal
RPP yang sudah kurancang sebaik-baiknya; apersepsi motivasi yang sudah
kubayangkan akan berjalan lancar, dengan percaya diri aku melangkahkan kaki ke
kelas X MIA 3. Pokoknya aku akan meneriakkan pada mereka bahwa Fisika itu
AMAZING! :D
Bu Yayuk, mana
ya?
Jam
sudah menunjukkan jam 11.15 namun guru pembimbingku belum kunjung datang di
kelas. Akhirnya aku memasuki kelas. Seorang diri.
Suasana
gaduh. Laki-laki dan perempuan; sama-sama sedang bercakap. Dan kau tahu? Itu
ramai sekali.
“Ngopo,
mbak?” salah seorang anak laki-laki melihat ke arahku. Aku meringis.
“Fisika
yo, mbak?”
Berdehem
berkali-kali, mereka tak kunjung memperhatikan. Akhirnya aku memaksimalkan
volume suaraku dan memulai untuk menyapa mereka.
EHEM!
“Bismillah.
Assalamu’alaykum warahmatullahi wa barakatuh.”
Kelas
hening, ada yang menjawab salam lirih-lirih.
“Ehm.
Perkenalkan, nama saya Rizki Ageng Mardikawati, mahasiswa pendidikan fisika
Universitas Negeri Yogyakarta. Insya Allah hingga 17 september, saya akan
membersamai temen-temen semua belajar fisika. Bisa dipanggil mbak Ageng.”
“Kalian
mau dipanggil adek-adek atau anak-anak, nih?”
“mas-mas,
mbak!” jawab salah seorang dari ujung belakang.
Kelas
ramai.
Karena
gaduh dan belum kondisif untuk pembelajaran, maka kuminta mereka untuk
memperkenalkan diri satu persatu. Nama dan cita-cita.
“Halah..
ora usah lah mbak...”
“Nama
sama cita-cita tok, mbak?”
“Alamat
iya nggak mbak?”
“Facebook
sama twitter juga ya mbak!”
Aku
berdehem, meminta anak laki-laki paling pojok untuk pertama memperkenalkan
diri. Kebanyakan sudah memiliki cita-cita, namun ada juga yang belum
menambatkan pilihan hatinya.
“Dokter”
“Pegawai
NASA”
“PNS”
“Pegawai
Bank”
“Membahagiakan
orang tua.”
“Itu
kurang spesifik,” protesku.
“Halah
mbak, pokoke membahagiakan orang tua.”
“Tapi
ada banyak cara, kan?”
“Halah
mbak.”
Aku
mengalah, memilih melanjutkan ke yang lainnya untuk perkenalan.
“Oke!
Kita punya 5 calon dokter di kelas ini. Kita lanjutkan pembelajaran ya. Hari
ini kita akan belajar tentang pengukuran. Sebelumnya, ada yang tau Fisika itu
apa?”
Kelas
kembali gaduh.
Tiba-tiba
ada seorang anak laki-laki yang main nyelonong saja di depanku keluar kelas,
“Hei!
Mau kemana?”
“Buang
sampah ki lo mbak...”
“Memangnya
saya udah mengizinkan?” #Tidaaak aku galaaak TT
Dia
meringis, namun tetap melanjutkan aksinya.
Hanya ada dua
cara untuk membuat seorang siswa gampang dihapal/diingat gurunya: pertemuan
pertama sekalipun.
Satu, dia sangat aktif/rajin/sering maju ke kelas, seorang yang menonjol dan berpengaruh seperti ketua kelas,
atau dua, dia sangat nakal/bandel/tidur dikelas maupun yang suka cari gara2
tak ada tempat untuk murid yang biasa saja.
Oke, Nak. Aku hapal namamu.
Satu, dia sangat aktif/rajin/sering maju ke kelas, seorang yang menonjol dan berpengaruh seperti ketua kelas,
atau dua, dia sangat nakal/bandel/tidur dikelas maupun yang suka cari gara2
tak ada tempat untuk murid yang biasa saja.
Oke, Nak. Aku hapal namamu.
-Bersambung-
Ruang
kerja Guru PPL, 16 Agustus 2014
Calon
Guru Inspiratif, Insya Allah
Komentar
Posting Komentar
Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-