Kepada Dua Pasang Mata yang Menanti di Ujung Pintu Tiap Hari



Seandainya  diberi tiga tiket masuk surga oleh Allah, tentu yang dua akan kuberikan pada dua orang yang paling kucintai. Mereka, dua pasang mata yang selalu setia menanti di ujung pintu tiap hari. Iya, hampir tiap hari; walau kenyataannya penantian mereka benar-benar menjadi nyata setelah satu, dua, atau bahkan tiga bulan sekali. Mereka selalu menanti setiap hari; harap-harap cemas jika yang dinantinya datang tiba-tiba tanpa sepengetahuan mereka.

Kepada mereka, dua pasang mata yang selalu setia menanti di ujung pintu tiap hari.

Mengapa dua tiket itu kuprioritaskan untuk mereka? Tentu. Karena tanpa keduanya; apalah aku ini. Bilangan usia yang makin bertambah ini, rasanya bukan apa-apa jika tanpa siraman dan pendidikan dari keduanya.

Menyadari pertambahan usia ini –yang itu juga berarti berkurangnya jatah umur yang kumiliki; bayanganku melayang ke beberapa masa silam. Saat ada seorang perempuan yang berpayah-payah menahan berat beban selama sembilan bulan sepuluh hari. Bayangan segera berkelebat pada sosoknya yang tetap tegar bagaimanapun yang terjadi; demi janin yang sedang dikandungnya. Buah hatinya. Juga kepada sesosok pria paling keren di muka bumi, yang tentu tak henti-hentinya mendoa dan memenuhi kebutuhan kekasihnya, juga calon buah hati mereka.

Hingga hari itu tiba; saat si ibu muda merasa inilah waktunya. Saat dimana keduanya –yang sama-sama pegawai negeri- harus menghadiri upacara bendera di lapangan kecamatan.  Lalu di puskesmas terdekat; si pria muda membawa istrinya yang menahan sakit luar biasa; ini bukan main-main lagi. Ini pertaruhan nyawa. Malam menjelang, dan si jabang bayi pun lahir dengan tangisan. Namun kondisi si Ibu muda melemah; ia kekurangan darah. Puskesmas tak lagi bisa memberi jawaban; si pria keren berteriak: Bertahanlah, sayang! 


Lalu mobil ambulance melaju, menuju propinsi seberang yang konon memiliki peralatan yang lebih lengkap.
Pertambahan usia hari ini, mengingatkanku pada cerita-cerita itu. Hati mana yang tak berdesir kala ada cerita; seorang Ibu hampir kehilangan nyawa bakda melahirkan puteri tercintanya. Ibuku mengalaminya. Namun, sungguh Allah Maha Baik; mengizinkan si bayi tumbuh dewasa dengan terus menatap wajah Ibunya. Berbagai bantuan datang; teman-teman Ibu dan Ayah mendonorkan darahnya. Hingga suatu hari ibu bercanda,

“Sifatmu yang ini... gara-gara ada darahnya teman Ibu yang ini..”

Kepada mereka, dua pasang mata yang selalu setia menanti di ujung pintu tiap hari.

Mereka yang mendidik dan membesarkan putra-putrinya dengan penuh cinta. Walau terkadang, harus mengeraskan suara yang membuat tangis pecah. Mereka tak marah; mereka tak benci. Bukan. bukan. Marah mereka karena sayang; karena mereka tak ingin buah hatinya salah jalan.

Dan saat ini, aku benar-benar baru menyadari; betapa luar biasanya pemilik dua pasang mata yang selalu setia menanti di ujung pintu tiap hari itu. betapa banyak anak-anak di belahan bumi ini yang tak mendapatkan kasih sayang seperti apa yang aku dapatkan selama ini.

Betapa kerasnya usaha Bapak untuk melatihku menulis; bahkan sebelum masanya aku memasuki taman kanak-kanak. Bapak; memberiku sebuah buku tulis. Beliau ajarkan menggunakan pena pelan-pelan. Dengan penuh kasih, Bapak menggambar sebuah benda, lalu menuliskan hurufnya di bawahnya. Harapannya, agar aku bisa mebaca tulisan itu. aku meniru gambarnya, juga tulisannya. Hingga saat masuk sekolah formal; guruku tak lagi kewalahan karena aku sudah lancar membaca dan mengeja.

Bapak; Pria paling keren di muka bumi itu pulalah yang mengajariku untuk mencintai buku. Untuk rajin membaca. Setiap pulang dari perjalanan jauh, diklat di surabaya atau kemanapun; apa yang dibawanya? Buku cerita. Satu untuk kakakku, dan satu untuk aku. Masih teringat, buku baru yang amat bagus yang pertama kumiliki: Cerita Rakyat dari Betawi. Tentang Si Pitung, Tentang Nyai Dasimah, tauke-tauke dan para penjajah.

Bapak pula yang mengajari –walau tanpa sadar- untuk mencintai menuliskan catatan dalam setiap percik kehidupan; menulis bisa melegakan hatimu, Nak. Meski kau tak punya kawan bercerita, atau kau tak tahu atau malu harus bercerita pada siapa, kau masih punya pena dan kertas. Tulis, nak. Tulis semuanya. Itu tak dikatakan secara langsung olehnya; namun kira-kira seperti itu yang kutangkap dari kacamatanya.

Bapak; pria keren yang serbabisa. Apapun; menjadi sesuatu yang berharga dan bernilai di tangannya. Cintanya diam, tapi dalam. Aku bisa merasakannya.

Kepada mereka, dua pasang mata yang selalu setia menanti di ujung pintu tiap hari.

Lalu Ibu; sosok pertama yang giat mengajari kami untuk bisa membaca Al-Qur’an setiap hari. Membawa serta aku saat beliau mengajar TPA di SD di desa kami. Ayo, anak Ibu harus bisa baca kitab suci. Walau sampai sesenggukan karena berulangkali salah melafal huruf, lupa-lupa ingat.

Ibu; bintang kelas di sekolahnya itu pulalah yang mengajari kami untuk kemudian mengikuti jejaknya; berprestasi. Sing sapa rajin sinau, bakal pinter. Jer basuki mawa beya. Nggak apa-apa keluar uang banyak; yang penting sekolahnya pinter.

Ibu; sosok cerewet yang terkadang membuatku mangkel karena tak sejalan dengan pendapatnya. Dulu; waktu kecil aku sering ngambek dan mengunci diri dalam pintu. Namun tak berapa lama langsung menyadari kesalahan dan segera menghambur menujunya,

“Maafin rizki ya, Bu...”

***

Sadar, sadar sekali bahwa tanpa keduanya, tak mungkin aku tumbuh seperti ini. Hingga ketika menemui kondisi-kondisi yang tak ideal; seringkali aku bertanya-tanya,

“Kenapa bisa seperti ini?”

“Kenapa tak sejalan dengan pemikiranku?”

Ah iya. Setiap kita memiliki kehidupan yang berbeda; cara tumbuh kembangnya juga tak sama. Dan aku; bersyukur sekali telah dilahirkan dari rahim seorang wanita yang luar biasa dan tumbuh dalam pengasuhan seorang lelaki yang sabar dan penuh pengertian.

Kepada mereka, dua pasang mata yang selalu setia menanti di ujung pintu tiap hari.

Yang tanpa sadar; saat mengingatinya aku tak dapat menahan bulir air mata.

Lalu atas segala kasih sayang dan kebaikan-kebaikan mereka; apa yang bisa kupersembahkan untuk mereka?

Kebandelanku? Kenakalanku? Kata-kata yang terkadang tanpa sadar membantah dan menyepelekan? Itukah balasannya?

Dan mereka, seperti matahari; akan selalu menyinari bumi. Apapun yang terjadi.

Maka jika seandainya aku memiliki tiga tiket menuju surga; yang dua untukmu Bu, Pak.

***

Kita cantik? Kita ganteng? Kita pintar, cerdas, trendy, pandai orasi dan berorganisasi? Kita keren?
Ah, tanpa keduanya. Mana bisa kita seperti sekarang ini?

“Alloohummaghfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kama rabbayaanii shagiiraa”.

 “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan Ibu Bapakku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku diwaktu kecil”.

Langit Ngelosari, 17 Agustus 1945, 24.00 WIB
Dirgahayu Indonesia –semoga kau benar-benar merdeka!
U.k.i

‘afwan atas sms, message, dan ucapan yang belum terbalas: Jazaakumullah khoyr atas do’a-do’anya. Semoga kebaikan-kebaikan terlimpah padamu juga... :)




Komentar