Penyambutan Mahasiswa Baru
Ada mata sembab sedang berlari
menuju tempat wudhu. Ia lari, bukan. ia jalan dengan setengah berlari. Tujuanya
satu. Fokus. Fokus ke kamar mandi, dan wudhu! Di masjid favoritnya sejak semesters
satu.
Walaupun mukanya
ditunduk-tundukkan; ia tak bisa berkilah saat sepasang mata menangkap matanya;
seperti membaca apa yang sedang dipikirkannya.
“Kau kenapa, Nduk?”
Sapa mata bercahaya itu.
Namun apa yang terjadi? Mata sembab
itu kembali berair. Kini lebih deras daripada biasanya. Gara-gara sepasang mata
indah itu! kenapa harus menyapanya dalam keadaan seperti ini, -keadaan yag
menyedihkan- rutuknya dalam-dalam. Lalu ia usap dan kembali menghambur berlari,
“Aku tak apa.”
Menuju lantai 2, sepasang mata
lain juga menangkan sembab matanya; yang biasanya tak pernah ia tampakkan
apalagi di tempat umum seperti ini. Biasanya ia begitu pandai menyimpan sedih,
apalagi tangis. Namun bakda bertemu pencipta, dan menemui mata-mata bercahaya;
sembabnya pecah. Kembali hujan air mata.
Berpasang-pasang mata indah nan
bercahaya itu seolah-olah membuatnya tak lagi punya alasan untuk bersedih, “Percayalah,
Beban tak akan melebihi kapasitasnya...”
Agustus 2013
OSPEK FMIPA
Ada seorang gadis kecil yang
bermunajat pada Tuhannya. Lantai 2 masmuja saat itu (hingga kini) tetap menjadi
kesukaannya. Ia sesenggukan, mengadu pada Tuhannya. Mengadu, dan terus mengadu.
Ia berkeluh kesah, berkeluh kesah apapun yang ia bisa. Ia curahkan semuanya. Bahkan
ia tak sadar; mukenanya basah semua! Jamaah di samping kanan-kirinya? Tak ia
hiraukan, karena ia sedang asyik bercakap dengan Penenang hatinya. Tak ia
palingkan muka barang satu derajatpun, demi tak ingin dilihat oleh mata lain
apa yang tengah diperbuatnya.
Lama.. lama ia bercakap. Ia tak
sadar ada satu, dua, tiga mata yang sedang menatap punggungnya. Mulai menyadari
ada yang berbeda, karena ia terlalu lama menghadap; tak seperti biasanya. Punggungnya
pun bergerak-gerak; isak yang telah membuatnya seperti itu!
Tiba-tiba satu tangan memegang
punggungnya. Ia kaget bukan main! Ia menoleh, ternyata teman seorganisasinya.
Sebelum temannya berkata, “Ada
apa?” dan ia menjawab dengan “Tak ada apa-apa.”, saat mata mereka beradau, pecahlah
tangis di mata keduanya, tanpa perlu kata-kata. Dua, tiga, empat pasang mata
lain tiba-tiba datang di samping mereka berdua; meminta penjelasan apa yang
terjadi.
Si gadis kecil terbata, dan
keempat temannya terisak bersama; menikmati sisa-sisa malam yang mereka miliki
bakda kegiatan melelahkan itu.
Mata-mata itu begitu menguatkan.
***
Tangis.
Hari ini aku sama sekali tak
menangis.
Namun, aku merasa di jauh sana
(atau feeling saja)?
Seperti ada gaung tangis
adik-adik di kampus sana. Ah, sedang apa mereka? Betapa jahatnya aku yang telah
menelantarkan mereka terlalu lama, bahkan untuk sekedar bersapa, “Hai, kau
baik-baik saja?”
Wahai pemilik punggung, yakinlah,
beban yang kau pikul saat ini adalah sesuai dengan kadarmu. Tuhan tak pernah
main-main, kan? Karenanya, jika tak ada aku disampingmu; bukankah Tuhan
tempatmu menghadap lebih dekat?
Wahai pemilik hati, yakinlah;
kesakitan-kesakitan yang kini tengah kau tanggung; penderitaan, pengorbananmu,
pasti ada hikmah baik didalamnya. Jalani dengan tegar! Jangan rapuh!
Wahai pemilik tangan-tangan kuat.
Aku yakin kini masamu. Dan aku? Sudah waktunya untuk melihatimu dan cukup
mengusap air mata haru karena melihatmu tumbuh dewasa. Kau janji akan
menguatkan adik-adikmu nanti, kan?
Tangis. Tak apa jika itu
membuatmu lega. Tak kah kau ingat, bahwa menangis bukanlah indikator seseorang
lemah, namun karena ia telah menanggung beban begitu lama. Selain itu, bukankah tangis adalah pertanda
akan lahirnya manusia baru di dunia? Ya!
Karenanya, tak apa menangis. Toh,
kita diciptakan memiliki air mata dan kantongnya; salah satunya untuk itu.
Kamu. Iya kamu, yang kuat ya!
***
Aku selalu suka hujan.
Karena bagaimanapun datangnya,
seperti apapun timingnya; ia diperintahkan turun untuk memberikan rahmat,
mencurahkan berkah, menebarkan ampunan.
Dan ia, diutus tak semata-mata
turun begitu saja; ia punya visi misi yang telah direncanangkan oleh Sang Pencipta.
Kau tahu mengapa Allah
menciptakan hujan?
Menurutku, salah satunya adalah
untuk menimbulkan ketenangan. Jiwa seresah dan segelisah apapun, bila mendengar
gemericik air akan tenang, kan? Terlebih air hujan. Hapus keresahan. Bahwa
setelah kering kerontang yang lama, akan hadir hujan. Hujan yang akan
menumbuhkan tanaman. Hujan yang akan menumbuhkan cinta..
Pun sebaliknya; ia memberikan
keoptimisan yang luar biasa bagi pencinta terang. Bahwa setelah hujan turun,
sering kita lihat pelangi yang muncul. Indah sekali.
Aku suka kamu, hujan; sebab saat
kamu turun membasahi bumi, aku tak lagi merasa sendiri.
Langit Ngelosari, 13 Agustus 2014
Untuk shalih dan shalihahku yang
kini mulai beranjak dewasa dengan kepadatan amanahnya...
Aku (masih) membenci hujan. Ia diturunkan ke bumi, ia bisa dimiliki siapa saja. Ia tak bisa sepenuhnya kumiliki. Ia menyiramkan banyak airnya ke bunga dan tumbuhan lain (juga). Padahal aku senang dengan adanya hujan, dengannya aku bisa tumbuh, tapi tak senang karena ia pun dapat dimiliki orang lain.
BalasHapuskeluh bunga