Kwetiau Goreng versus Kwetiau Rebus

"Bu, kwetiau goreng 1 dibungkus ya..." 
kataku sambil tersenyum pada si Ibu penjual kwetiau, sore bakda Isya tadi.

"Iya mbak, sebentar ya."
Berbicara pada suaminya, dan mulai memasak.

Aku mengamati.  Tampak si Bapak dengan cekatannya memasukkan berbagai macam bumbu ke dalam masakannya. Aku berkerut saat beliau memasukkan air yang cukup banyak menurut takaran kwetiau goreng. 

Euhm, aku berusaha untuk khusnudhon: mungkin memang gitu caranya masak, Ki. Airnya lumayan banyak terus nanti diserep sama mie kwetiaunya. Jadi, mie kwetiau yang awalnya kurus jadi gendut :3

Tak lama, racikannya jadi. Aku berbunga. Namun, saat si Bapak menuangkannya pada plastik, aku jadi ragu. Kwetiau goreng mana yang dimasukin plastik, hehe.. tapi aku diam saja. Dan menunggu sapaan si Ibu.

"Udah jadi, Mba.." katanya.

Aku tersenyum sambil menarik sepuluhribuan dari dompet unyuku.

"Berapa, Bu?"

"Tujuh ribu..."


Transaksi selesai.

Aku menatap langit: Langit, tadi kau dengar aku pesan kwetiau goreng, kan? Mengapa aku kini mendapat kwetiau rebus?
Lalu langit diam. Aku menjawab sendiri: Aha.. Allah paling tahu, mungkin malam ini kwetiau rebus adalah jodohku, dan si kwetiau goreng belumlah jadi rezekiku.. ^_^

Pelajaran apa yang bisa diambil, anak-anak? Banyaaak :D

Sebenarnya, sikap apa saja yang kita ambil, itu tergantung kita.

Kemungkinan 1

si tokoh -aku- akan menegur Bapak Kwetiau dan berkata,

"Pak tadi saya pesen kwetiau goreng lhoo.. bukan rebus. Saya nggak mau tau. Pokoknya diganti!"

Namun nampaknya, si tokoh aku tak terlalu tega untuk mengatakan itu, apa lagi sampai meminta ganti. Jadi dibiarkannya saja kwetiau rebus yang ada di genggaman. Daripada Bapaknya masak lagi, kasian T_T

kemungkinan 2

si tokoh -aku- tak mau mengambil pesanan itu, karena terlanjur mutung karena tak sesuai dengan pesanan. Lalu berjanji, esoknya tak akan kembali ke warung yang sama.

namun lagi-lagi, si tokoh -aku- tak bisa berbuat begitu.

Kemungkinan 3

si tokoh -aku- bisa saja menegur dengan sindiran,

"Pak, tadi saya pesennya goreng lhoo.. ini kok rebus. tapi gakpapa deh pak, daripada bapaknya bikin lagi."

ada penerimaan dalam pernyataan ini, tapi tetap saja akan ada hati yang tersakiti walau hanya segores.

Dan si tokoh -aku- lagi lagi tak bisa melakukan adegan semacam itu.

Karenanya ia memilih menerima. Diam, berbisik pada langit: Sudahlah langit, jangan bergemuruh. Aku baik-baik saja (*ngutip ihti)

Lalu pelan-pelan pulang, melesakkan harapan dalam-dalam; berkhusnudhan pada Allah bahwa kwetiau rebus inilah rezekinya malam ini.

Dan kau tahu apa yang terjadi pada kwetiau rebus ini?

Habis. Tak berbekas. si tokoh -aku- kenyang dan mengucap hamdallah.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik buatmu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk bagimu-
-The Holy Qur'an-


kolong langit, 17 Juni 2014
11.08 Waktu Jepang, 21.10 Waktu Indonesia

Milikilah hati yang lapang, yang lebih lapang dari lapangan sepak bola :)
Kwetiaunya terlalu mewah :3

Uki

Komentar