“Sombong banget, Ki. Masa ngeliat kita-kita di jalan ngga nyapa...”
Kata seorang
teman di suatu sore. Aku berpikir keras kapan aku melakukan hal itu. Ohya!
Sekarang aku ingat. Waktu itu pagi-pagi, aku ada ujian di lab FMIPA. Aku sangat
terburu-buru. Mengapa? Bayangkan saja, Ujian Akhir Semester dan aku terlambat
hampir 20 menitan. Saat itu aku melintasi Depan Hotel UNY dan sempat melihat
segerombolan ikhwan (saudara laki-laki.red) sedang bersama –sama –entah lagi
ngapain-. Aku yang terburu-buru itu memilih menunduk dan melanjutkan langkahku;
walau aku tahu betul, di seberang jalan sana ada teman-temanku itu. Dan aku
mengenali mereka.
Lagi. Soal Menyapa. Balik ke
Interaksi-komunikasi.
Peristiwa
itu mengingatkanku ke masa-masa SMA, kurang lebih 3-4 tahun yang lalu. Tentang
aku dan kawan-kawanku di Rohis (kerohanian Islam.red). Dalam soal interaksi,
anak-anak rohis di sekolahku terkenal sangat menjaga, alias membatasi interaksi
antar lawan jenis. Ini dulu, sepengamatanku waktu masih jadi casi (calon siswa,
hehe). Ikhwan dan Akhwat terpisah; bahkan memiliki departemen sendiri-sendiri.
Jadi, di Ikhwan ada departemen-departemen, lalu akhwat juga; dan itu berbeda.
Hanya saja untuk beberapa hal seperti kajian, peringatan hari besar, serta
buletin kami mengerjakannya sama-sama. Pemisahan ini bukan berarti kami nol
ukhuwah atau cuek bebek sama saudara lawan jenis; bukan juga karena kami
terkotak-kotak atau apa, tapi lebih ke satu hal: Menjaga Interaksi.
Dan itu berlanjut
sampai angkatan atasku, hingga angkatanku yang melanjutkan tampuk kepemimpinan
organisasi. Saat itu fb dan twitter belum semasif sekarang, jadi jalur
komunikasi hanya ada dua: kalau nggak lewat hape ya ketemu langsung. Dan, jika
ada ha urgen di rohis, kami lebih memilih untuk langsung bertemu –tentu saja
bersama dengan lainnya- di mushola Al Azhar, mushola sekolah kami. Tentu saja,
dengan hijab.
Karena masa
SMA itu masa-masa rawan, maka kami benar-benar menerapkan ilmu yang kami
dapatkan di forum pekanan: Hei, jaga pandangan! Gadhul Bashar kalau sama lawan
jenis. Saking aplikatifnya, terkadang kami –sesama anak rohis- jika melihat ada
lawan jenisnya akan berpapasan dengannya, ia akan memilih lewat jalur lain dan
bagaimana caranya agar tidak papasan (beda banget sama yang di sinetron, yang
malah di skenario buat papasan -,- ). Nah, adapaun jika terpaksanya harus
papasan, maka kami menundukkan pandangan dalam-dalam. Dan berlalu begitu saja.
Iya, kami tau kami sama-sama kenal, tapi kami memilih menunduk dalam-dalam.
Bukan apa-apa; itu karena kami saling tau, kami harus saling menjaga pandangan
diri dan pandangan saudara.
***
Ohya, kami
anak rohis tak hanya berkutat di rohis saja. Kami juga anak pramuka, kami anak
OSIS, kami anak debat, kami anak pecinta alam, dan lain sebagainya. Dan ketika
bersama teman-teman di organisasi umum itu, kita bersikap biasa aja –sedikit
cair, tapi tetap menjaga dan memperhatikan adab dengan lawan jenis-. Dan,
kembali soal menyapa teman yang papasan di jalan, kami akan menyapa jika
ternyata dia anak OSIS atau lembaga lainnya; mungkin karena terbiasa dengan
kultur rapat yang berbeda dengan di rohis. Di organisasi umum tak ada hijab
fisik seperti di mushola, tapi kami –anak-anak rohis yang nyemplung ke
organisasi umum insyaAllah punya hijab hati, hehe- (Ya, ini tak seaman hijab
fisik plus hijab hati :3)
Nah, yang
menjadi pembahasan waktu itu adalah saat rapat rohis, ada ikhwan yang nyeletuk.
“Akh, Ukh,
Bukannya kita ini saudara seiman ya? Ukhuwah kita? Jangan ditanyakan... namun
kenapa ya, kalau kita ketemu di jalan malah nggak saling sapa dan sok-sokan
nggak kenal? Padahal kalo sama temen-temen kelas biasa aja, ya ngga?”
Dan itu
diaamiini oleh seluruh peserta forum.
Dan mulai saat
itu, kami semacam membuat perjanjian linggarjati, (*ehh) bahwa kami –anak-anak
rohis- akan saling sapa namun tetap menjaga. Ya, minimal mengucapkan
“Assalamu’alaykum” kalo ketemu. Dan semua meng- aamiini.
Nah! Dengan
begitu, kegiatan berjalan lancar; Dakwah tetap dilakukan dan ukhuwah yang
dulunya –sirr- sekarang jadi –jahr- *ehh. Maksudnya, ada sapaan untuk saudara,
pertanda saling tau dan mengingatkan; kita ini se-rohis, seiman, seislam lho.
Begitu.
***
Hehe. Itu
secuplik kisah di masa SMA. Mungkin tak hanya saya yang merasakannya, yang lain
juga. Ada juga akhwat yang pernah bercerita, Saat awal memasuki kampus, dia
mengenal seorang kakak kelas –lawan jenis- dan saat itu, dan dia anak rohis.
Nah, ketika mas-nya tau ada dia dan temen-temen akhwat lain mau papasan sama
dia, dalam radius 20 meter beliau udah nundukin pandangan duluan. Yaaa sudah
gag nyapa, hehe.. :D
Dan ada satu
cerita lagi, waktu semester awal saya ada di dua organisasi; satunya di hima
dan satunya di rohis. Sama-sama punya kadep di kedua organisasi itu. nah, suatu
hari pas lagi jajan di kantin fakultas, saya ketemu sama kadep saya yang di
hima. Dan saya langsung nyapa dengan ekspresif seperti biasa -,- dan nggak
taunya ada kadep saya yang di rohis. Saya meringis dan langsung senyum sambil
menganggukkan kepala takzim. Analoginya, sama-sama bilang “Mari, Mas.” Cuman
intonasinya beda -,- yang satu tereak, yang satu lirih bingits. Ya Rabb, Ki..
Ki..
Dan setelah
survei ke temen-temen akhwat lain: ternyata ga Cuma saya yang ngalamin kejadian
ini :D *hoho-selamat*
***
Balik ke
cerita awal tadi ya, *hadeuh muter-muter* Intinya apa saudara-saudara?
Pertama, di balik ketidak-menyapaannya-
anak-anak rohis tadi, bukan berarti mereka terpecah terkotak ter-apalah.
Dibalik pandangan yang menunduk itu, bukannya mereka mau sok ekstrimis, eksklusif,
sombong dan kawan-kawannya: Mereka (dan kami) hanya ingin menjaga, itu saja.
Kedua, jangan membeda-bedakan sodara bro, nyapanya sama ya :D kalo sama
temen-temen yang belum dikenal aja menyapa, sama saudara kita apalagi yang kita
tau selembaga, seiman, berarti harus juga. Tergantung orangnya juga lho,
*Jangan samakan :)
Dan lagi,
intinya untuk teman-teman ikhwan yang kadang kami (para akhwat) lewat dan nggak
nyapa (apalagi tempat yang kami biasa memanggil dengan –sarang penyamun- *you
know what I mean), bukan karena kami sombong apa gimana. Itu lebih karena kami
ngga mau ketauan lagi lewat (padahal jelas-jelas keliatan), maksud saya karena
kami kadang malu dan bingung mau ngapain, orang cuma numpang lewat, selebihnya
adalah ‘menjaga’. Masa iya, kami ketemu sama kalian, kami bakalan melambaikan
tangan dan berkata, “Haiii...” :D (*jangan dibayangkan >.<). Ya, semoga
tak sekedar ‘sok menjaga’ tapi benar-benar menjaga. :’). Jadi maafkan kalo kami
ada salah dan menyinggung perasaan di balik tak menyapa itu –sungguh tak
bermaksud- *langsung-heboh*
Terakhir,
karakter dan latar belakang orang berbeda-beda. Daerah dan asal maupun tempat
bermukim pun tak sama. Karenanya, mari hargai perbedaan. Ya, saya kira
teman-teman paham semua :)
Dan sekarang,
budayakan menyapa –yang secukupnya- dan –sewajarnya saja- ; menunduk,
mengangguk, atau berucap salam.
Islam itu
Indah, Men. Maka, Jaga!
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S Al Hujurat: 13)
Terik Mentari Siang, 21 Juni 2014
11.18; Menanti “Panggilan”
datang.
Yang masih belajar, banyak salah,
dan sedang terus berbenah,
Uki
Komentar
Posting Komentar
Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-