Hari
ini membaca lembar-lembar pertama dari Rantau 1 Muara karya Bang Ahmad Fuadi;
sequel dari Trilogi Negeri 5 Menara.
Setelah termotivasi dalam buku pertama, mengenai perjuangan anak SMP yang
pingin sekolah di SMA tapi harus sekolah di pondok dengan Mantra Man Jadda wajada-nya; Siapa yang bersungguh-sungguh pasti
berhasil. Dan akhirnya, dia mendapatkan apa yang (mungkin) tidak akan dia
dapatkan jika dia sekolah di SMA biasa. Ya, si Alif kecil yang luar biasa. Di buku
yang pertama ini, aku belajar betul mengenai ayat dalam Surat Cinta yang begitu
terkenal; boleh jadi kamu menyukai
sesuatu padahal itu buruk bagimu, dan boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal
itu baik bagimu. (Ada yang masih merasa salah jurusan? Boleh jadi jurusan
yang menurut kita tak cocok ini adalah baik dan terbaik buat kita! #Nah!)
Setelah Negeri 5 Menara, hadirlah Ranah 3 Warna yang bercerita mengenai
perjuangan Alif kecil untuk bisa kuliah di universitas Impiannya: ITB (ada yang
merasa kampus impiannya sama dengan Alif kecil? Hehe) Walau ternyata akhirnya
masuk ke UNPAD, Alif mendapatkan banyak mutiara berharga yang mungkin tak akan
ditemuinya jika seandainya dulu ia diterima di ITB. Pergulatan dimulai, dan
ternyata mantra Man Jadda Wajada-nya butuh penguat; maka dipakailah mantra
kedua; Man Shabara Zhafira. Siapa yang
bersabar, ia akan beruntung. Alif kecil, si anak desa itu akhirnya berhasil
menjadi wartawan kampus yang tulisannya dimuat diberbagai media massa di
Bandung. Dan, ranah 3 warna berhasil dikunjunginya. Mau tau apa saja? Baca
sendiri bukunya, hehe..
Dan
kini, di depanku sudah ada sequel yang terbaru sekaligus yang terakhir: Rantau 1 Muara. Menurut ringkasan di
belakang buku, buku ini bercerita mengenai pencarian tempat berkarya, pencarian
belahan jiwa, dan pencarian di mana hidup akan bermuara. Aku tak akan
menceritakan isi keseluruhannya, karena hingga detik ini aku baru selesai bab
4. Aku akan menceritakan hal menarik di bab pertama; Daster Macan.
Saat
itu Alif, Mahasiswa UNPAD itu baru saja di-wisuda. Seperti yang diceritakan
dalam buku yang kedua, Alif kecil ini berhasil terbang ke luar negeri karena
beasiswa, lolos dan menang LKTI berkali-kali, dan puluhan tulisannya telah
dimuat di berbagai media massa. Karena sudah lulus, maka pertanyaan tiap
mahasiswa adalah sama: Ke mana akan mencari kerja?
Begitu
aku mendekat ke warung Kang Maman, Wira, Agam, dan Memet dari Geng Uno memeluk
dan mengguncang-guncang bahuku senang. Mereka melingkar di sekitarku sambil
mengunyah combro mendengarkan ceritaku sampai sore. Mereka sibuk bersuit-suit
begitu aku singgung pula cerita tentang Raisa. “Enaknya kamu Lif, bisa
jalan-jalan ke Kanada gratis. Beruntung banget,” celetuk Memet.
Tentulah
aku beruntung. Seandainya dia tahu dan merasakan bagaimana aku
mengorbankan kenikmatan-kenikmatan
sesaat untuk bisa sampai “beruntung”. Berapa ratus malam sepi yang aku habiskan
sampai dini hari untuk mengasah kemampuanku, belajar, membaca, menulis, dan
berlatih tanpa henti. Melebihkan usaha di atas rata-rata orang lain agar aku
bisa meningkatkan harkat diriku.
Nah.
Sudah menemukan sesuatu dari dua paragraf itu? Iya. Tentang kesuksesan, ia
tidak instan: semuanya butuh pengorbanan dan perjuangan. Terkadang, kita
terlalu mengharap suatu hal baik terjadi dalam diri kita, tapi usaha kita untuk
mencapai itu semua adalah nol. Maka, tak akan terjadi apa-apa dalam hidup kita.
Nggak percaya? Aku sudah
membuktikannya. Sungguh.
Sebaliknya,
terkadang (Ah, sifat ini memang melekat pada manusia), saat kita melihat
orang-orang yang berhasil atau sukses dengan mudahnya. Sehingga seringkali terdengar
atau terlontar dari mulut kita sendiri, celetuk-celetuk yang memang manusiawi;
“Ah, enak bener ya
jadi si dia. Udah dapet beasiswa, pinter pula...”
“Ah, kamu mah enak
ya... udah pernah ke luar negeri berkali-kali, pasti nanti cari kerjanya
gampang banget.”
“Ah, enak bener ya
si mas yang jadi ketua BEM Universitas. Sering diundang ke pertemuan-pertemuan
penting, dan kenal sama menteri-menteri.”
“Ah, enak kali ya
kalau jadi si dia. Pinter nulis sih, pantes tulisannya banyak dimuat di
koran-koran nasional.”
“Ah, dia makmur
bener ya hidupnya. Terkenal, uang banyak, kenalan sejagad.”
Dan banyak sekali
ah,ah, ah yang lainnya. Begitulah manusia.
Padahal dibalik semua yang tampak “wah”
dan glamour dalam kacamata kita itu,
terdapat perjuangan dan pengorbanan yang luar biasa untuk mencapainya!
Mendapatkan beasiswa, pintar;
bisakah didapat dengan cara instan? Tidak! Bisa jadi mereka adalah orang-orang
yang tangguh yang tak pernah lelah mengirimkan apply beasiswa walaupun sudah ditolak berkali-kali.
Bisa pergi ke luar negeri gratis;
bisakah dilakukan oleh orang yang tak melakukan apa-apa dan menunggu? Tidak! Mereka
adalah orang-orang yang memiliki keyakinan tinggi dan berhasil menaklukkan
ketakutan pada ketidakmampuan diri. Menerobos malam dengan pencarian panjang;
mengirim apply, menulis essay, menunggu panggilan wawancara,
mengurus pasport serta visa, dan
berlari-lari mencari donatur untuk membayai perjalanannya.
Menjadi ketua BEM Universitas;
bisakah dicapai oleh orang yang pasif dan tak pernah melakukan aktivitas? Tidak!
Mereka terpilih karena terdapat jiwa kepemimpinan yang ada dalam diri. Lalu,
jiwa kepemimpinan itu juga tak langsung didapat oleh mereka. Semua itu
diperoleh dengan perjuangan yang banyak, kelelahan yang menumpuk, kemampuan
untuk berkomunikasi serta membangun jaringan.
Menjadi penulis handal yang karyanya
tersebar di mana-mana; bisakah diperoleh oleh mereka yang tak pernah mencoba
menulis? Tidak! Semua itu didapatkan oleh latihan-latihan panjang di ratusan malam
sepi. Itu diperoleh dengan kelapangan menerima kritikan dan saran untuk
memperbaiki tulisan.
Menjadi terkenal, uang banyak,
kenalan sejagad; bisakah diperoleh orang-orang yang diam saja? Tidak! Mereka melebihkan
usaha di atas rata-rata. Membangun bisnis sedari kecil dan tak takut akan
kejamnya dunia.
Ya, kawan. Untuk membangun Indonesia
ini, kita tak boleh lagi bermalasan dan mengharapkan kesuksesan itu datang
seiring dengan berjalannya waktu. Bukankah dalam surat Ar-Radu ayat sebelas
telah dijelaskan, bahwa Allah tak akan merubah nasib suatu kaum kecuali mereka
sendiri yang mengubahnya?
Iya,
tidak ada yang instan dalam hidup ini. Indonesia butuh pemuda-pemuda
berkarakter yang tangguh, kawan! Segeralah bergerak, jika memang kesuksesan dan
kebaikan yang ingin kau peroleh. Namun di atas semua itu kawan, kebermanfaatan
dan sumbangsihmu untuk negeri inilah yang dibutuhkan. Mari bergerak, mari tuntaskan
perubahan.
Iya,
jika benar kau mengaku mencintai Indonesia. Kau cinta, tidak?
Salam Cinta,
Rizki Ageng
Mardikawati
#Karya Cinta untuk
Indonesia
Komentar
Posting Komentar
Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-