Kenangan Selasa Pukul Sembilan: Aku, Pak Larno dan Integral




Oleh: Rizki Ageng Mardikawati

“Kemarin aku beli bla..bla..bla...” 

“Aduh, Bo! Udah liat video terbaru One Direction belum? Bla.. bla..bla..” 
 
“Aku jual nasi lho.. lima ribu aja.. siapa mau beli..”

“PR nya apa ya?”

Suara-suara itu terus saja berdatangan. Aku pusing. Suasana kelas ramai sekali. Suara-suara saling bersahutan, satu sama lain tak ingin mengalah. Mendadak seperti pasar.
Tet..tet... teeet.....

Tiba-tiba, Bel tanda istirahat usai berbunyi. Semua mata, tanpa dikomando sebelumnya, mendelik.

“Sudah jam sembilan!” teriak Galih, ketua Kelasku yang berambut keriting dan bertubuh gempal. Semua mata tertuju pada sumber suara.

Suasana pasar mendadak berubah jadi kuburan. Semuanya terdiam. Satu persatu sibuk mengamati tasnya: Mempersiapkan buku pelajaran untuk materi berikutnya. Sebagian lagi sibuk merapikan rambut, jilbab, seragam, hingga sepatunya. Beberapa, tiba-tiba mulas, memegangi dadanya yang mulai sesak: nampak seperti orang kena penyakit jantung. Dan, sebagian besar mulai membuka-buka buku pelajarannya. Mencermati adakah tugas hari ini atau sekedar membaca-baca materi pertemuan yang telah lalu.

Aku melihat jadwal di note book ku. Selasa pukul sembilan. Olala, Matematika. Baiklah.

Tak lama kemudian, si empu yang dibicarakan datang. Memandang seisi kelas, mengucap salam. Lalu, prok, prok, prok. Si sepatu hitam mengkilap kepunyaannya mulai beraksi. Tiap langkahnya terbaca, getaran sepatunya sangat terasa.  Tak..tak..tak.. denting jarum jam dinding kelas terdengar sangat keras. Berlomba dengan suara prok-prok-prok si sepatu hitam mengkilap. Menghujam hati dan perasaan kami yang tiba-tiba saja seirama: deg-degan luar biasa.

Hening.

***


Namanya Sularno. Kami biasa memanggilnya Pak Larno. Sebagian lagi menyebutnya Mbah Larno. Ya, karena sebagian rambutnya memang mulai memutih karena usia. Sebenarnya, tahun ini beliau tak seharusnya di tempat ini. Seharusnya, detik ini beliau sedang duduk-duduk di rumah sambil menyeruput kopi panas atau tamasya bersama cucu-cucunya. Pensiun. Namun, agaknya beliau ingin membagikan ilmu lebih lama untuk anak-anak didiknya. Ingin menebarkan manfaat yang tiada habisnya. Maka, beliau memohon pada kepala sekolah agar diizinkan menetap lebih lama di sekolah ini, setahun saja dan tanpa bayaran. Begitu seriusnya beliau menyampaikan keinginannya, sehingga tak ada kata selain “Ya” yang terucap dari bibir Sang Kepala. Aku tahu betul, bukan karena Pak Kepala Sekolah keberatan, bukan. Dari raut muka dan histori prestasi pak Larno serta kontribusinya untuk sekolah ini, justru Pak Kepala Sekolah merasa senang ketika beliau mengajukan permintaan mengajar lebih lama. Hanya saja, mungkin Pak Kepala Sekolah khawatir tak dapat menyenangkan hati lelaki paruh baya yang hampir menghabiskan seluruh hidupnya untuk profesi mulia ini. Dan akhirnya, keputusan sudah final. Pak Larno diizinkan untuk tetap mengajar di sekolah ini sebagai guru tak tetap. Semester ini beliau mengajar di empat kelas jurusan IPA, dan salah satunya adalah kelasku.

Pagi ini, aku berpapasan dengannya. Beliau baru saja memarkir sepeda motor warna merah favoritnya, dengan helm warna merah menyala pula. Warna merah ini sukses mencabik-cabik hati dan perasaan kami bahwa hidup itu harus selalu semangat. Jika aku bisa menerka isi hatinya, aku yakin beliau akan berkata, 

“Kau tak boleh loyo dan malas belajar, Nak. Semerah motor dan helm ini. Bapak yang sudah tua saja selalu semangat, bagaimana dengan kalian?”

Namun nyatanya aku tak dapat menerka isi hatinya. Aku yang pemalu ini buru-buru menunduk dan menganggukkan kepala padanya, memberi salam dan hormat. Tersenyum semanis-manisnya. Dan, yes! Beliau membalas senyumku dan berlalu. Meninggalkan teriakan “Ciee…ciee” dari rombongan teman-teman sekelasku yang tanpa kusadari sudah berdiri dibelakangku: Melakukan hal yang sama.

***

Jika bertanya pada alumni-alumni SMA nomor satu di daerah Wonogiri, Jawa Tengah ini tentangnya, pasti kau akan mendapatkan jawaban yang sama. Deskripsi luar biasa. Sama halnya jika kau pernah merasakan bersekolah di bangku ini: pasti kau merindukannya.

Galak? Ya, mungkin sebagian besar siswa IPA menganggapnya seperti itu. Akupun awalnya juga. Bagaimana bisa? Seantero sekolah pasti pernah membicarakannya, setidaknya para kakak kelas. Masing-masing menyebarkan opini dan berlomba-lomba memberikan gambaran persepsi. Tentangnya. Ada postif dan kebaikannya. Namun yang sering kudengar adalah tentang kebalikannya. Layaknya anak ayam yang baru menetas, aku dan sebagian besar teman-temanku menelan mentah-mentah informasi yang lebih tepat disebut isu dan gosip itu. Lalu kami jadi takut, bagaimana bisa menghadapinya dan mengikuti pelajarannya?

Waktu itu kami duduk di kelas dua belas, dan kelas itu terasa benar-benar istimewa. Karena di semester ini kami bertemu dengannya. Kedua, karena memang hanya di tingkatan tertinggi masa SMA ini kami bisa bertatap muka dengannya. Ketiga, kami merasa spesial karena sesungguhnya beliau sudah pensiun, namun ternyata ia memperpanjang masa pengabdiannya, sehingga kami bisa merasakan satu semester penuh bersamanya. Setidaknya untuk membuktikan opini-opini dan isu yang sukses ditanamkan kakak kelas ke alam bawah sadar kami. Benarkah ia galak? Benarkah ia killer? Jika iya, se-galak apa? Se-killer apa? Mampukah kami menghadapi dan mengikuti pelajaran dan mutiara kehidupan yang akan diberikannya?

***

Pertemuan pertama, kami sukses termakan opini kakak kelas. Pak Larno masuk kelas. Sebenarnya pandangannya biasa saja, namun karena opini yang luar biasa itu, kami mendadak menjadi kaku dan merasa bahwa pandangan beliau sangatlah tajam bagaikan elang yang siap mencari mangsa. Pelajaran yang dapat diambil, jangan menelan mentah-mentah cerita kakak kelas, sepahit dan seheboh apapun.

Suasana kelas mendadak jadi hening. Hening sekali. Hingga kini yang terdengar tinggallah suara beliau, suara sepatu beliau yang kadang berat dan sesekali mendecit, dan tentu saja suara detak jarum jam dinding besar di atas papan tulis kelas kami. Beliau mengucap salam dan langsung menuliskan sesuatu di papan tulis putih. INTEGRAL. Beberapa teman kulihat menelan ludahnya. Glek. Makhluk apa lagi ini, mungkin begitu pikir mereka.

Beberapa rumus dan penjelasan tiba-tiba saja memenuhi papan tulis kami. Kutaksir kecepatannya bisa jadi 10 huruf per detik. Tulisannya bagus. Rumusnya ditandai dengan unik: garis-garis pita yang identik antara satu rumus dengan yang lainnya. Mungkin beliau ingin menegaskan bahwa harus ada perlakuan istimewa terjadap rumus-rumus yang bertanda pita itu dengan yang lainnya. Lalu beliau berbalik, menjelaskan tentang apa yang dituliskannya. Penjelasannya mudah diingat, dan mudah dipahami. Hanya saja, kami memang harus belajar ekstra keras untuk mata pelajaran yang satu ini, karena pada dasarnya materi ini cukup sulit untuk anak SMA. Apalagi, yang tak menyukai matematika, tak rajin dan tak suka belajar.

Kemudian, sang guru menuliskan sebuah soal di papan tulis. Tanpa disangka-sangka, sebuah spidol melayang dan sukses mendarat di meja teman disampingku. Apa artinya? Ya, dia diminta untuk maju ke depan kelas dan menyelesaikan soal itu. Temanku itu bingung, celingak celinguk ke kanan dan kiri:  tak tahu harus melakukan apa. 

“Maju, Mbak.” Tegas Pak Larno.

Dengan takut-takut, Devi, temanku itu berdiri. Dengan gemetar ia meraih spidol di mejanya dan berjalan ke depan papan tulis. Pak Larno memandang tajam ke arahnya, semakin membuat Devi ketakutan. Sementara yang lainnya mulai sibuk mengerjakan soal yang sama di buku masing-masing. Sebagian benar-benar mengerjakan soal, termasuk aku. Sebagian lagi ikut menunduk, namun bukan mengerjakan soal. Pura-pura. Agar aman dan tak ditunjuk maju ke depan. 

“Ba..bagaimana, Pak?” Devi tampak ketakutan. Pak Larno menoleh. 

“Ya, dikerjakan saja!” Pak Larno tegas.

Devi menuliskan jawaban sekenanya. Salah.

“Sudah kelas tiga, begini saja tidak bisa!”

Tiba-tiba suasana menjadi ricuh, tapi tetap hening. Pak Larno menyelesaikan soal dengan jawaban yang benar. Devi kembali ke bangkunya dengan wajah pucat pasi. 

Tet…tet..tet… bel istirahat berbunyi, menyelamatkan ketegangan ini.

Pak Larno menuliskan beberapa soal untuk dikerjakan di rumah, kami mencatat dalam diam, menunggu beliau mengemasi peralatannya dan meninggalkan kelas.

Kelas gelap berubah jadi terang seketika. 

Huaaa….” Hampir seluruh penghuni kelas berteriak dan menghembuskan napas keras-keras. Ada yang menelungkupkan mukanya ke meja.

“Matematika saja sudah susah, apalagi kalau cara ngajarnya kayak gini.” Kudengar celetuk salah seorang teman. Beni. Seisi kelas langsung ramai. Meng-aamiin-i statement Beni. Aku hanya tersenyum. Petualangan baru, nih. Gumamku senang, sekaligus takut dan khawatir. Ah, terlalu nano-nano rasanya.

***

            Begitulah. Mulai semester pertama di bangku kelas dua belas ini, ada enam jam pelajaran matematika dalam seminggu. Masing-masing pertemuan adalah dua jam pelajaran. Ini berarti akan ada tiga kali pertemuan pelajaran matematika dalam sepekan, satu diantaranya akan diampu oleh Pak Larno. Sedangkan dua kali pertemuan yang lainnya diampu oleh pak Dedi. Ini benar-benar membuat kami lega. Setidaknya, dalam sepekan kami hanya akan mengalami ketegangan selama 2 jam. Ketegangan yang sangat beralasan.

            Kini, semuanya hapal. Setiap hari Selasa pukul Sembilan adalah jadwal Matematika dengan Pak Larno sebagai pengampunya. Setiap malam selasa, mendadak aku menjadi sangat rajin belajar matematika. Mencermati pelajaran hingga larut malam, dilanjutkan dengan berlatih soal. Kupikir teman-temanku yang lainnya juga melakukan hal yang sama. Seolah-olah, kami berlomba dan berusaha mengalakan rasa malas dan kantuk yang menyerang demi pertempuran esok hari: menghadapi Selasa Pukul Sembilan. Paling tidak, kami menguasai materi sebelumnya dan sedikit mengerti akan materi yang akan disampaikan esok hari: dengan harapan bisa mengerjakan soal dan selalu punya jawaban jika ternyata esok adalah giliran kita memegang spidol kesanyangan sang guru. Ya, setidaknya kita punya senjata untuk bertahan hidup. Teman-teman kosku pun juga sudah hapal, akan jadwal belajar maratonku itu. 

“Besok pelajarannya pak Larno, ya?”

Aku meringis.
***

            Aku tahu, sebenarnya ada niat yang salah disini. Ketika belajar bukan lagi karena rasa ingin dan butuh, tapi lebih dominan ke arah rasa takut. Takut jika ternyata aku besok bertemu dengan sang Guru yang dijuluki killer itu. Takut jika ternyata besok akulah yang diminta mengerjakan soal ke depan dan dimarahi jika ternyata gagal menyelesaikannya. Takut jika terlihat tak sempurna. Takut jika ternyata aku tak bisa memahami pelajaran yang ku-klaim sebagai pelajaran horror nomer satu itu. Ah, aku takut… bahkan aku terlalu takut dengan perasaan takutku ini. Hei, takut! Jangan berlebihan memasuki rongga hati dan perasaanku. Jangan biarkan aku tenggelam dan terpuruk oleh rasa takut ini. 

            Seperti selasa jam Sembilan hari ini, tibalah masa itu. Teman-teman datang lebih pagi dengan harapan dapat memilih tempat di belakang. Agar tidak kejatuhan spidol, begitu kata Aldi memberikan alibi. Lebih enak di belakang. Galih menjawab. Dijawab atau tidakpun, aku dan seisi kelas sudah tahu alasan mendasar dibalik semua alasan-alasan itu. Takut. Sementara aku? Tersenyum dan duduk di bangku paling depan seolah-olah tak akan terjadi apa-apa. Semua akan baik-baik saja. Kata salah satu tokoh dalam film Three Idiot: All is Well. Semua akan baik-baik saja. Padahal sebenarnya, di lubuk hati yang paling dalam, aku juga takut.

            Benar firasatku. Hari ini adalah hari keberuntunganku. Spidol itu dengan sukses mendarat di depan mejaku. Pak Larno menuliskan soal dan dengan cekatan aku langsung menyelesaikannya. Ini yang kupelajari tadi malam! Selesai menulis, aku kembali ke bangku tempat duduk. Senyum lebar mendadak menghiasi mukaku tanda kemenangan. Aih, ini terlalu sesumbar.
“Ini maksudnya apa? Dapat rumus dari mana?” suara Pak Larno.

Senyumku memudar. Keringat berceceran.

***

Hari ini hari terakhir berjumpa dengannya. Eh, bukan terakhir yang menandai perpisahan selamanya. Hanya terakhir diajar matematika oleh beliau. Ujian Semester sudah dekat, Ujian Nasional terpampang di depan mata, dan SNMPTN tersenyum lebar. Semuanya menyambut dan menunggu kami. Hanya saja, pagi ini masih selasa pukul sembilan. Suasana yang biasanya hening mendadak menjadi haru biru.

            Sudah tradisi di sekolah kami, tiap akhir semester menjelang Ujian Nasional, akan ada perpisahan dengan guru masing-masing mata pelajaran. Kami saling mengoreksi dan minta maaf. Lalu berfoto bersama. 

Sama seperti yang lainnya, pagi ini adalah giliran pak Larno. Seperti biasa, beliau mengulang materi untuk menghadapi Ujian Nasional. Berbagai trik dan cara cepat beliau ajarkan, membuat kami semakin mantap dan siap menghadapi hari-hari penentuan itu. Di akhir pelajaran, pak Larno memberikan wejangan.

“Ujian Nasional itu hanyalah ujian kecil di dunia. Kalian pasti bisa menaklukkannya. Ujian sesungguhnya terletak pada kondisi mental kalian, sudahkah siap menghadapinya dengan menyiapkan energi terbaik?”

Semua mata tertuju padanya. Menebak-nebak kalimat apa selanjutnya.

“Saya minta maaf atas segala kesalahan saya selama satu semester ini.”

Kami canggung, tak biasanya pak Larno mengucapkan kata-kata sebanyak ini. Tentu saja, kata-kata di luar matematika yang kami maksudkan. 

“Semoga kalian sukses mengerjakan Ujian Semester, Ujian Nasional, dan Tes masuk perguruan tinggi. Semoga kalian meraih apapun yang kalian cita-citakan.”

Kami trenyuh. Pak Larno mengakhiri pertemuan dengan salam, lalu berkemas pergi.

“Foto-foto dulu, Pak!” Galih tiba-tiba berteriak. Memecah ketegangan yang masih bertahan hingga hari ini.

Pak Larno tersenyum. Kami merapat dan berfoto bersama sekelas. Baru pertama aku melihat senyum pak Larno selebar ini, beliau tampak menikmati. Sementara kami? Saling tersenyum sok mengerti. 

Usai berfoto, satu persatu kami mencium tangan Pak Larno. Ada haru yang menyusup di dalam dada. Masih dengan senyumnya, perlahan pak Larno  meninggalkan kelas kami. Kami tertunduk. Ah, kenapa dari dulu tidak begini? Perpisahan memang terasa menyesakkan. Kami baru menyadari betapa pak Larno sangat mencintai kami.

            Terbukti, tips dan trik yang diajarkan pak Larno membuat kami mengerjakan segala jenis bentuk ujian matematika dengan cepat dan akurat. Ya, sistem pembelajaran yang diberikan pak Larno pada kami sangat berguna di sini. Ada banyak manfaat; kami terbiasa belajar, kami terbiasa mengerjakan soal. Ah, andai waktu bisa diulang kembali, tentu akan kami hapus prasangka-prasangka buruk dengannya, dan belajar dengan rileks namun tetap serius. 

            Ternyata inilah yang diharapkannya. Keberhasilan anak didiknya. Ah, kawan. Tak ada guru yang tak ingin anak didiknya sukses. Tak ada guru yang ingin menyengsarakan anak didiknya. Semua yang dilakukan guru adalah kebaikan untuk murid-muridnya; ia ingin mempersembahkan yang terbaik, ia ingin anak didiknya tumbuh berkembang, menjadi orang pandai yang melampaui dirinya. 

Terimakasih pak Larno, pengalaman bersamamu adalah hal yang tak pernah terlupakan dalam benak kami. Maafkan atas segala prasangka-prasangka tak baik kami kepadamu. Alhamdulillaah. Bila dimensi waktu dapat ditarik kembali ke titik azimuth, tentu perasaan diferensial akut ini segera terintegrasi menjadi kurva cinta yang luar biasa. Lalu kami, hati-hati yang telah ter-integral karena didikan tepatmu pada sumbu x, dapat mengucapkan dua patah kata yang saling berelasi dalam dua lingkaran: Terima Kasih.
-Selesai-

Komentar