Aku
punya banyak bintang yang terang bersinar. Semuanya dikirimkan Allah padaku
secara cuma-cuma. Gratis, tak berbayar. Lalu bintang-bintang itu bersinar
dengan terangnya, menghapus kesedihanku di masa yang lalu. Dan aku yakin, salah
satu bintang yang paling bersinar itu adalah kau, Bintang.
***
Bintang. Aku tak punya banyak
sahabat. Kau pasti protes dengan kalimatku ini. Kau berkata,
“Kau
orangnya supel dan ramah. Pasti banyak teman yang menyukaimu.”
Ya, mungkin aku punya banyak. Semuanya
menganggapku sahabat, akupun juga. Namun, entah mengapa, semenjak bertemu
denganmu aku baru merasakan, apa makna sahabat yang sesungguhnya.
Aku ini tipe pemalu, Bintang! Aku tak pernah
menceritakan masalahku pada siapapun. Sepahit apapun, aku akan berusaha
menahannya dan melesakkan ke dalam dadaku sendiri. Sakit memang. Namun itulah
aku. Tapi semenjak kedatanganmu semuanya berubah. Hei, kau! Berani-beraninya
merobohkan benteng pertahananku itu. Lalu aku banyak bercerita padamu.
***
Kita
dulu memang tak saling kenal, Bintang. Aku berasal dari pelosok desa, dan kau
berasal dari sebuah pulau terpanjang di Indonesia. Sumatera. Pulau yang hanya
bisa kulihat lalu kubanding-bandingkan dengan pulau yang lainnya di dalam peta.
Di dalam peta saja, karena aku belum pernah menyambanginya.
Tak
pernah kusangka-sangka sebelumnya, kita dipertemukan di tanah rantau bernama
Yogyakarta. Tanah yang kelak kita namai sebagai “sebaik-baik bumi cinta”,
karena di bumi inilah Allah pertemukan kita. Kita se-rumah! Di kontrakan ini,
aku yang awalnya mengiramu adalah seorang wanita angkuh, diam-diam justru
menyukaimu. Dengan segala kepolosan dan kesederhanaanmu.
Bintang, kita sama-sama wanita.
Mungkin inilah yang menyebabkan kedekatan kita. Mungkin karena sifat kita. Sama-sama
sanguinis, sama-sama humoris. Entahlah, Bintang. Setiap di dekatmu aku merasa
aku menjadi diriku sendiri tanpa harus menutup-nutupinya.
***
“Ki,
temani begadang.”
Pintamu
suatu hari. Aku mengiyakan saja. Wajar, mahasiswa jurusan fisika sepertiku
memang harus bekerja ekstra untuk folio-folio kosong itu. Mengeluh? Aku hampir
melakukannya. Namun aku urung seketika, melihatimu dengan semangat menjahit
kain berenda-renda. Mengulanginya jika ada yang salah. Atau, mengelus dada
ketika polanya tak seperti rencana awalnya. Kau lebih menderita.
Tapi
yang aku suka: kita sama-sama Ikhlas menjalaninya!
***
Suatu
kabar tak terduga, namun aku sudah menduga sebelumnya. Kau ingin pindah, tak
lagi di kontrakan cinta. Kau ingin belajar ilmu agama lebih. Di pondok ujung
kota. Aku menunduk saja kala itu. Aku malu. Kau baru, namun kau lebih
bersemangat. Kehilangan? Mungkin iya. Tapi tak apa, demi kebaikanmu. Toh, nanti
jika aku bertemu, aku pula yang akan kecipratan ilmunya.
“Jogja
sempit kok.” Begitu katamu.
***
Lalu
kabar datang lagi: Kau ingin pindah! Ke tanah kelahiranmu, karena beberapa
sebab yang aku tahu. Kau ingin pindah jurusan, kau ingin mencari jati dirimu.
Sebenarnya
sedih hati ini kala kau bilang,
“Aku
nggak kuat di Tata Busana, Ki..”
Ya.
Tapi kau lebih tahu apa-apa yang terbaik bagimu. Pergilah. Berlayarlah kembali
ke peraduanmu. Bukankah dengan begitu, kau lebih dekat dengan Ibu yang
seringkali kau rindukan di sela isak tangismu kala munajat malam?
Sedih?
Mungkin iya. namun, sudah menjadi garis jika ada perpisahan usai pertemuan.
Hei,
usap air matamu! Sejauh apapun jarak kita: Kita tetap menatap langit yang sama,
kan?
Komentar
Posting Komentar
Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-