Surat yang tak pernah sampai #1


Dear kakak-chan..
Yang selalu kucintai sampai kapanpun,

Ah, kakak-chan.
Rasanya, tak cukup jika aku harus mendeskripsikan perasaan ini dalam selembar kertas. 

Rasanya tak cukup, karena banyak sekali kebaikan dan kemurahan yang telah kau torehkan. Sementara aku, adikmu yang kecil ini belum mampu membalasnya satu persatu.

Kakak chan, begitu aku ingin memanggilmu. Sungguh, maafkan aku. Atas semua waktu yang telah kulewati bersamamu selama 2,5 tahun ini. Adakah dari tuturku yang menyakitimu? Adakah dari tindakanku yang kurang menyenangkan hatimu? Ah, aku tahu ada banyak kak..

Bagaimanapun, kita baru bersama-sama secara fisik selama 2,5 tahun. Masa-masa SMA kita lewati sendiri. Aku pun, menjalani masa SMA ku tanpamu, tanpa adanya seorang kakak di sisiku. Aku, yang sok merasa sudah mandiri ini tentu sangat sedih saat kau katakan,

“Apa jadinya kamar ini bila aku tak ada?”

Aku sudah merasakannya kak. Tiga tahun pertama masa remajaku, kulewati tanpamu. Jadi tolong, percayalah pada adikmu ini. 


Aku jarang bercerita? Ah, masa iya? Maafkan aku. Aku sudah terbiasa memendam luka sendirian, kak. Kadang, aku membisikkannya pada angin. Lalu aku membiarkannya meniupkannya, menghapus segala duka yang tersisa. Atau terkadang, bersama hujan aku membiarkannya larut. Aku sering terisak bersama hujan, kau tahu? Atau, jika tak hujan aku memilih terisak di kamar mandi, menyalakan kran agar tangisku tersamarkan, karena aku merasa punya teman menangis bersama. Ah, adikmu ini memang cengeng.

Sebenarnya kak, setiap hari aku selalu membawa cerita-cerita. Cerita-cerita indah itu pasti akan selalu kusampaikan padamu. Ah iya, jika kita bertemu. Karena terkadang, ketika kusampai di kamar, hanyalah pintu kamar yang masih terkunci. Dan ketika kubuka, hanyalah hamparan kasur yang sunyi. Ia tak mengatakan apapun padaku, kak! Atau, jikalau kau ada... kau sedang berkunjung ke tempat yang lainnya. Ah, kak... tahukah kau jika ada hati yang sedang ingin bercerita? Ya... bercerita padamu saja... tapi kau sedang bercengkerama dengan yang lainnya. Bagaimana bisa aku mengganggumu??? Aku tak menceritakan perihal ini pada siapapun kak, pada Ibu sekalipun. Aku hanya pernah sekali –karena tak sengaja- mengatakannya kepada mbak murabbi, saat sesak dalam dada ini tak bisa aku bendung lagi.

Kau bilang aku tak transparan, kak? Kau bilang, aku tak pernah membiarkan cintamu masuk? Kata siapa kak? Coba katakan, kata siapa?

Sementara, saat aku ingin bercerita tentang amanah, tentang luka yang menyayat jiwa: saat itu aku melihatmu juga terjerembab dalam duka. Kakak lebih terluka... kakak yang lebih butuh bercerita. Bagaimana mungkin aku menambahkan luka? Bagaimana mungkin aku tega?

Ah, kak.. aku hanyalah si sanguinis sempurna, dengan melankolis yang hanya menempati 10% nya. Tapi kau harus tahu, begini-begini, bisajadi aku sangat peka. Aku sedih kak, waktu kau berbicara tentangku di depan yang lainnya, bahwa aku ini bla.. bla..bla.... Aku luka kak, waktu kau mempublish di facebook bahwa aku tak bisa mengertimu. Maafkan aku kak, aku tetaplah manusia biasa... aku bisa terluka, aku bisa sedih, aku bisa perih. Namun atas nama persaudaraan, kak, aku melesapkannya dalam-dalam. Tetap kutampakkan wajah ceriaku di hadapanmu. Rabbi, hanya Dia yang mengusap lukaku selalu...

***

                Saat aku sedang meniti karirku, hobiku, dan impianku... ingin sekali melibatkanmu di dalamnya. Meminta pertimbangan-pertimbangan sederhana. Namun kau selalu sibuk kak... bagaimana aku bisa meminta fatwa???

                Dan tahukah engkau, saat kau memberikan nasihat-nasihat dan petuah pada adik-adikmu yang lainnya, adik-adik fakultas hingga kau memikirkannya siang dan malam. Menjawab sapaan mereka di telepon begitu lama, kau tetap melayaninya. Sedang saat aku baru memulai bicara, kau bilang dengan nada meninggi,

“Aku sedang tak ingin bicara!”

Tahukah engkau, kak... ada satu hati yang luka... ada satu hati yang cemburu, namun tak ditampakkannya. Hati itu... itu hatiku, kak!

Ah.. aku harus mengakhirinya. Setidaknya untuk saat ini, aku sudah sesak. Besok, aku akan menulis lagi.

Sajak penutup:
Kita saling tahu, tapi tak saling bicara.
Kita saling menulis, tapi tak saling membaca.
Ah, memang. Terhadap beberapa hal, ada yang tak perlu diungkapkan.
Biarkan ia jadi surat-surat yang tak akan pernah sampai.
Adakah yang lebih indah dari cerita kita? Ah, Kak. Biarlah Allah yang mendokumentasikannya. []

                                                                                                                                Rumah cinta Ibu-Bapak Kita
27 Desember 2013, 10.30
Aku selalu mencintaimu, Kak.

Komentar