Dear kakak-chan..
Yang selalu
kucintai sampai kapanpun,
Ah, kakak-chan.
Rasanya, tak cukup
jika aku harus mendeskripsikan perasaan ini dalam selembar kertas.
Rasanya
tak cukup, karena banyak sekali kebaikan dan kemurahan yang telah kau torehkan.
Sementara aku, adikmu yang kecil ini belum mampu membalasnya satu persatu.
Kakak
chan, begitu aku ingin memanggilmu. Sungguh, maafkan aku. Atas semua waktu yang
telah kulewati bersamamu selama 2,5 tahun ini. Adakah dari tuturku yang
menyakitimu? Adakah dari tindakanku yang kurang menyenangkan hatimu? Ah, aku
tahu ada banyak kak..
Bagaimanapun,
kita baru bersama-sama secara fisik selama 2,5 tahun. Masa-masa SMA kita lewati
sendiri. Aku pun, menjalani masa SMA ku tanpamu, tanpa adanya seorang kakak di
sisiku. Aku, yang sok merasa sudah mandiri ini tentu sangat sedih saat kau
katakan,
“Apa jadinya kamar
ini bila aku tak ada?”
Aku sudah
merasakannya kak. Tiga tahun pertama masa remajaku, kulewati tanpamu. Jadi
tolong, percayalah pada adikmu ini.
Aku
jarang bercerita? Ah, masa iya? Maafkan aku. Aku sudah terbiasa memendam luka
sendirian, kak. Kadang, aku membisikkannya pada angin. Lalu aku membiarkannya
meniupkannya, menghapus segala duka yang tersisa. Atau terkadang, bersama hujan
aku membiarkannya larut. Aku sering terisak bersama hujan, kau tahu? Atau, jika
tak hujan aku memilih terisak di kamar mandi, menyalakan kran agar tangisku
tersamarkan, karena aku merasa punya teman menangis bersama. Ah, adikmu ini
memang cengeng.
Sebenarnya
kak, setiap hari aku selalu membawa cerita-cerita. Cerita-cerita indah itu
pasti akan selalu kusampaikan padamu. Ah iya, jika kita bertemu. Karena
terkadang, ketika kusampai di kamar, hanyalah pintu kamar yang masih terkunci.
Dan ketika kubuka, hanyalah hamparan kasur yang sunyi. Ia tak mengatakan apapun
padaku, kak! Atau, jikalau kau ada... kau sedang berkunjung ke tempat yang
lainnya. Ah, kak... tahukah kau jika ada hati yang sedang ingin bercerita?
Ya... bercerita padamu saja... tapi kau sedang bercengkerama dengan yang
lainnya. Bagaimana bisa aku mengganggumu??? Aku tak menceritakan perihal ini
pada siapapun kak, pada Ibu sekalipun. Aku hanya pernah sekali –karena tak
sengaja- mengatakannya kepada mbak murabbi, saat sesak dalam dada ini tak bisa
aku bendung lagi.
Kau
bilang aku tak transparan, kak? Kau bilang, aku tak pernah membiarkan cintamu
masuk? Kata siapa kak? Coba katakan, kata siapa?
Sementara,
saat aku ingin bercerita tentang amanah, tentang luka yang menyayat jiwa: saat
itu aku melihatmu juga terjerembab dalam duka. Kakak lebih terluka... kakak
yang lebih butuh bercerita. Bagaimana mungkin aku menambahkan luka? Bagaimana
mungkin aku tega?
Ah,
kak.. aku hanyalah si sanguinis sempurna, dengan melankolis yang hanya
menempati 10% nya. Tapi kau harus tahu, begini-begini, bisajadi aku sangat
peka. Aku sedih kak, waktu kau berbicara tentangku di depan yang lainnya, bahwa
aku ini bla.. bla..bla.... Aku luka kak, waktu kau mempublish di facebook bahwa
aku tak bisa mengertimu. Maafkan aku kak, aku tetaplah manusia biasa... aku
bisa terluka, aku bisa sedih, aku bisa perih. Namun atas nama persaudaraan,
kak, aku melesapkannya dalam-dalam. Tetap kutampakkan wajah ceriaku di
hadapanmu. Rabbi, hanya Dia yang mengusap lukaku selalu...
***
Saat aku sedang meniti karirku,
hobiku, dan impianku... ingin sekali melibatkanmu di dalamnya. Meminta
pertimbangan-pertimbangan sederhana. Namun kau selalu sibuk kak... bagaimana
aku bisa meminta fatwa???
Dan tahukah engkau, saat kau memberikan
nasihat-nasihat dan petuah pada adik-adikmu yang lainnya, adik-adik fakultas
hingga kau memikirkannya siang dan malam. Menjawab sapaan mereka di telepon
begitu lama, kau tetap melayaninya. Sedang saat aku baru memulai bicara, kau
bilang dengan nada meninggi,
“Aku sedang tak
ingin bicara!”
Tahukah engkau,
kak... ada satu hati yang luka... ada satu hati yang cemburu, namun tak
ditampakkannya. Hati itu... itu hatiku, kak!
Ah.. aku harus
mengakhirinya. Setidaknya untuk saat ini, aku sudah sesak. Besok, aku akan
menulis lagi.
Sajak penutup:
Kita saling tahu, tapi tak saling bicara.
Kita saling menulis, tapi tak saling membaca.
Ah, memang. Terhadap beberapa hal, ada yang tak perlu
diungkapkan.
Biarkan ia jadi surat-surat yang tak akan pernah sampai.
Adakah yang lebih indah dari cerita kita? Ah, Kak.
Biarlah Allah yang mendokumentasikannya. []
Rumah
cinta Ibu-Bapak Kita
27 Desember 2013, 10.30
Aku selalu mencintaimu, Kak.
Komentar
Posting Komentar
Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-