Yang ditelapak Kakinya Terdapat Kunci Surga*

Pagi ini harusnya menjadi hari yang sangat menyenangkan. Tapi, semuanya terjadi begitu saja. Seakan-akan, aku tak pernah mengalaminya. Aku ragu, kejadian itu tak pernah terjadi. Semuanya terjadi begitu cepat. Dan kini, aku terisak dalam diamku. Memandangi tumpukan buku dalam kamar.

***

“Ibu Jahat!”
Titik-titik bening itu mulai memenuhi mataku. Lalu, sebentar saja sudah penuh hingga akhirnya jatuh ke pipi dan lantai. Aku masih saja berdiri. Namun, Ibu tetap tak bergeming. Beliau tetap mengaduk-aduk nasi goreng yang akan menjadi santapan kami sekeluarga. Ayah, Adek, Aku, dan Ibu. Matang, Ibu segera menuangkannya ke piring-piring yang telah berjajar rapi. Lalu, beliau langsung pergi. Meninggalkanku sendiri di dapur. Sepi.
“Ibu Jahat!”
Teriakku lagi. Tak ada jawaban.

***


            Siang tadi aku mendaftar tes masuk ke sebuah perguruan tinggi negeri di ibukota. Kuberanikan diriku, karena aku yakin akan pilihanku. Ya, kini aku sudah kelas tiga SMA. Saatnya kuputuskan kemana lagi kaki ini akan melangkah, dan kemana otak ini akan terus diasah. Minggu-minggu sebelumnya sudah kuputuskan, universitas mana yang akan kupilih. Dan, aku memilih program studi psikologi di Universitas pilihanku itu. Karena jauh dari orangtua, dalam artian aku adalah seorang siswi perantau yang tinggal di tempat kos dan hanya pulang minimal seminggu sekali, maka aku tak memberitahukan perihal ini pada mereka.

“Kamu yakin, Syah, nggak bilang-bilang ke orangtua kamu dulu?” tanya Dita, teman sekamarku waktu aku mengisi form pendaftaran dari universitas pilihanku itu.

“Yakin.” Jawabku kalem.

“Yang bener? Emang Ibu kamu setuju kamu ambil Psikologi? Jauh lagi.” Dita meragukanku. Aku berhenti menulis, dan menoleh padanya.

“Dita sayang, Ibu selalu mendukung pilihanku. Apalagi Ayah. Tenanglah.” Senyum mengembang di wajahku, membayangkan mereka mendengar berita bahagia ini. Ya, bahkan untuk urusan administrasi, aku sendiri yang menanggungnya. Aku sudah menabung beberapa bulan yang lalu, demi bisa mendaftar di universitas impianku itu. Agak mahal memang, dan aku sudah paham hal itu. Universitas terbaik di negeri ini, pantaslah. Karenanya, sejak beberapa bulan yang lalu aku memutuskan untuk jarang jajan. Inilah puncaknya. Aku pergi ke sebuah bank swasta dan membayarkan uang administrasi “hasil keringat” ku ini. Aku rela, demi impian itu. Menjadi seorang psikolog.. Ah, menyenangkan sekali. Aku sudah membayangkan, aku menjadi seorang psikolog yang mengerti betul tentang permasalahan orang. Lalu, memberikan petuah-petuah bijak dan solusi atas masalah yang dikeluhkan pasien padaku. Bahkan, aku sudah membayangkan seperti apa ruangan konsultasi pasien-ku nanti. Penuh boneka dan keceriaan.

***

“Assalamu’alaykum!”

Aku mengetuk pintu rumah. Ah, tak ada jawaban. Aku memutuskan untuk duduk dulu di beranda rumah, tentu saja sambil menimang-nimang kwitansi pembayaran yang kudapatkan dari kasir bank siang tadi, bersama sebuah brosur mengenai Universitas Impian. Ya, aku sudah resmi terdaftar! Sebagai calon mahasiswa Psikologi di Universitas Idaman. Tak sabar rasanya ingin mengatakan kabar gembira ini pada Ibu dan Ayah.

            Tak lama kemudian, kudengar suara motor bebek tua milik Ayah memasuki halaman. Aih, mereka datang! Ibu, Ayah, dan Adik. Kumasukkan dulu kwitansi dan brosur yang kutimang sedari tadi ke dalam tas. Bergegas menyambut mereka.

“Eh, mbak Aisyah sudah datang rupanya.” Ayah tersenyum.
“Datang jam berapa, Nduk? Sudah lama?” Ibu tampak khawatir. Takut aku telah menunggu sekian lama.
Sedang Jabar, adikku satu-satunya itu langsung menghambur memelukku,
“Mbaaak”
Aku menyambutnya dengan pelukan yang sama.
“Enggak kok, Bu. Aisyah baru saja sampai rumah. Oleh-oleh..” Candaku.

            Setelah masuk ke dalam rumah, aku langsung menghambur ke arah Ibu. Beliau sedang merapikan baju-baju yang baru kering dari jemuran. Kulihat gurat-gurat di pipinya yang semakin banyak. Dan matanya yang merah. Ah, ia lelah. Pasti Ibu lembur lagi tadi malam. Aku memberanikan diri untuk memberitahukan ihwal pendaftaranku di universitas impian siang tadi.

“Bu..” Aku memulai.
“Ya, Nduk?” Ibu tampak masih melipat baju dengan seksama.
“Aisyah boleh lanjut kuliah, kan?” lanjutku.
“Ya memang harus lanjut, sayang.” Ibu tersenyum.
“Aisyah sudah daftar siang tadi Bu..” Aku berbinar.
“Oh ya? Di Jogja, kan? Yang deket, biar bisa satu kontrakan sama mbakmu?” tanya Ibu.
“Nggak Bu, di Jakarta. Ambil Psikologi.” Kataku.
Sejenak Ibu terdiam, raut mukanya tampak kaget sekali.
“Ja.. Jakarta, Nduk?” tanyanya meminta penegasan.
“Iya Bu..”
“Psikologi.. mau jadi apa kamu?”
Firasatku mulai tak enak. Sepertinya Ibu tak setuju. Dan memang benar.
“Nduk, mbok yo yang deket aja. Solo apa Jogja gitu. Jauh-jauh banget ke Jakarta. Apalagi psikologi, apa itu? Kamu mau jadi apa? Mau ngurusin orang gila?”
“Psikologi nggak kayak gitu, Bu.. Aisyah bener-bener pingin..”
“Nduk. Kamu itu pinter, anak IPA. Mbok ambil kedokteran apa pendidikan fisika gitu, jadi guru. Ambil di Jogja apa Solo aja..”
“Buk.. Aisyah udah daftar..”
Mataku mulai berkaca-kaca.
“Bisa dibatalin, kan?”
“Aisyah udah bayar, Bu.” Titik-titik bening itu mulai datang.
“Udah bayar? Pakai uang siapa?” suara Ibu agak mengeras. Aku mulai ketakutan.
“Aisyah udah nabung dari dulu, Bu.. pakai uang jajan Aisyah..”

Aku berlari meninggalkan Ibu. Aku sudah tak tahan lagi. Aku menangis sekencang-kencangnya di kamar. Kencang, namun tanpa suara. Kukira Ibu akan mendukungku. Kukira ia akan menyemangatiku. Nyatanya...

***

Hari ini hari ahad. Aku masih diam-diaman dengan Ibu. Karenanya, kuputuskan untuk pergi ke rumah nenek saja. Jaraknya satu jam perjalanan naik bus dari rumah kami. Setelah berpamitan pada Ayah, tanpa berpamitan dengan Ibu, aku menaiki bus yang akan membawaku menuju rumah nenek. Kurang enak juga tak berpamitan dengan beliau. Aku tahu ini tak boleh terjadi, Namun, ah.. aku masih tidak siap. Aku.. aku.. ah, maafkan aku, Bu. Aku tertidur.

***

Aku melihat ke sekelilingku. Tempat apa ini? Mengerikan! Dari kejauhan aku melihat orang-orang hiruk pikuk berlarian. Bagaikan macan-macan yang baru saja dilepas dari kandang. Semuanya berlari ke sana kemari tanpa arah dan tujuan. Ada yang berambut panjang, dan menarik-narik rambutnya sendiri. Ada yang berteriak-teriak tak karuan. Menjerit-jerit histeris, dan aku tak jelas apa yang dikatakannya meskipun suaranya memenuhi telingaku. Aku mulai ketakutan. Di sampingku ada seorang perempuan, kutaksir usianya sama denganku. Dia menggeliat di tanah berwarna merah ini, lalu ia mencakar-cakar tanah itu, sampai bagian yang paling dalam. Aku ingin bertanya padanya, namun aku urung. Aku terlalu takut.

Semuanya terasa asing di sini. Itu sejauh aku memandang dari arah kiri. Kucoba memalingkan muka ke arah kanan. Kini, segalanya tampak berbeda. Tanahnya hijau, tak seperti tanah yang kulihat pertama kali. Kulihat, di kejauhan sana, anak-anak kecil itu berlarian dengan ceria. Tubuh mereka bersinar dan seakan-akan sedang melantunkanhapalan qur’an. Ditangannya, ada permen lolipop dan gulali besar. Mereka tampak bahagia dan menikmati sekali. Kucoba melangkahkan kakiku ke sana. Ah, kenapa ini? Kakiku sulit digerakkan. Aku berusaha sekuat tenaga. Tapi tak bisa.. kenapa ini? Kulihat lagi anak-anak kecil itu, tampak wanita-wanita dewasa datang, kurasa itu Ibu mereka. Dan, aku melihat Ibuku.

“Ibuuuu” aku menjerit.
Ibu seperti tak mendengar. Aku ingin menghambur ke arahnya. Namun, kaki ini.. tak bisa digerakkan! Bahkan, untuk melambaikan tangan saja rasanya susah sekali.
“Ibuuuu...” aku menjerit sekali lagi. Berharap ada yang mendengar suaraku.
“Ibuuuu...maafkan aku...Bu...” aku menjerit. Kali ini disertai isak tangis.
“Ibuuuu...”
Lalu semuanya tiba-tiba berubah menjadi gelap. Aku tak sadarkan diri.

***

“Mbak.. bangun, Mbak. Ini sudah sampai”
Sayup-sayup terdengar suara kenek Bus. Aku tergagap.
“Eh, iya.” Aku berkemas, kaget.
Masya Allah... rupanya tadi mimpi. Rabbi... apa maksud semua ini? Aku turun dari Bus, kira-kira 10 meter lagi akan sampai di tempat nenek. Pikiranku tak tenang lagi. Apakah, aku salah? Mimpiku tadi, apa itu?

            Tiba-tiba aku teringat sebuah hadits mengenai keutamaan Ibu. Bahwa rasul pernah ditanya sahabat, siapa yang harus lebih dahulu dihormati lebih dari siapapun. Lalu beliau menjawab, Ibumu. Lalu si sahabat menanyakan siapa berikutnya, dan beliau menjawab dengan jawaban yang sama sampai tiga kali. Hingga akhirnya beliau mengatakan, Ayahmu.

            Aku tak tenang. Aku salah. Ya Rabb, tak seharusnya ini smeua terjadi. Setelah ini aku harus meminta maaf pada Ibu atas semua kekonyolan yang telah aku lakukan. Marah padanya hanya karena hal sepele, yang sebenarnya bisa dikomunikasikan. Astaghfirullah.. sampai aku mengatai beliau jahat... aku bertekad, setelah ini aku harus segera pulang, dan meminta maaf padanya. Kuteruskan lagi perjalananku menuju rumah nenek.
Nah, itu dia. Pagar berwarna hijau itu tersenyum padaku. Aku memasuki pekarangan rumah dan belari menuju pintu. Aku mengetuk pintu.

“Assalamu’alaykum. Simbah, ini Aisyah.”
Tak ada jawaban. Kuulang lagi salamku. Barulah, pada salam yang ketiga, aku mendengar suara sendal yang diseret-seret ke arah pintu. Ah, itu pasti nenek. Benar, pintu terbuka.
“Wa’alaykumussalam. Wah, cucu simbah datang. Kenapa, Nduk? Marahan sama Ibumu, ya?” suara nenek masih saja renyah.

Aku kaget.

“Kok simbah tahu?” tanyaku penuh selidik.
“Ibumu itu, Nduk.. nggak marah sama kamu. Ibu sayang sama kamu.”
“Iya Mbah, Aisyah tahu. Simbah sehat, kan? Sekarang Aisyah pamit dulu. Mau buru-buru pulang dan minta maaf sama Ibu. Aisyah sudah sadar, Mbah..” kataku, mulai terisak lagi.
“Kok buru-buru amat?” Nenek heran.
“Aisyah nggak tahu, habis ini Aisyah masih hidup atau nggak, Mbah. Ajal orang cuma Allah yang tahu. Sebelum itu semua, Aisyah mau pulang.” Entah kenapa aku jadi sangat bijak dan kata-kata itu meluncur dengan lancarnya dari bibir mungil ini.
“Nggak perlu, Nduk.” Nenek tersenyum.
“Nggak perlu gimana, Mbah?” Aku bingung.
“Karena, orang yang kamu cari di sini. Ibumu, dia disini.” Kata Nenek.
Aku kaget, tiba-tiba dari belakangku, ada yang memelukku. Ibu!
“Ibuu.. maafkan Aisyah..” aku memeluk Ibu.
“Ibu yang salah, Nduk...”
Hari ini benar-benar biru. Sebiru langit yang menaungi kami pagi ini.

***
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Q.S Luqman: 14)

 *Tulisan ini bisa dibaca dalam buku antologi bersama "IBU" Penerbit Alif Gemilang Pressindo

Biodata Narasi Penulis:
Rizki Ageng Mardikawati. Mahasiswi Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Negeri Yogyakarta angkatan 2011. Hobi menulis sejak Sekolah Dasar. Saat ini, Penulis aktif di HASKA JMF FMIPA UNY bagian Jurnalistik serta Media dan jaringan CES Jogja. Pembaca bisa menghubunginya melalu facebook “Rizki Ageng Mardikawati” atau lewat email:  rizkiagengmardikawati@gmail.com. Untuk membaca tulisannya, pembaca bisa mengunjungiwww.edogawakeepsmile.blogspot.com

Komentar

  1. surga ada di telapak kaki ibu, tapi kunci surga itu ada di tangan ayah. beneran ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, :') itu ada tulisan tentang Bapak juga, mangga' dibaca :)

      Hapus
    2. eh, ada? dimana?

      Hapus
  2. Sudah kubaca... menyentuh hati sekali... trima kasih ceritanya memberi hikmah untuk berbakti :')

    BalasHapus

Posting Komentar

Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-