Sesendok Optimisme untuk Indonesia

oleh: Rizki Ageng Mardikawati


“Besok mau datang jam berapa, Pak?” tanya seorang karyawan pada rekan kerjanya.
“Emm... paling jam 9.” jawab yang ditanyai dengan enteng sambil membenarkan letak dasi warna hitam di kemeja putihnya.
Si karyawan mengerutkan kening, bertanya lagi.
“Bukannya dalam undangan, acaranya dimulai pukul 7 ya?”
“Ah, jam 7? Paling molor sampai jam 9. Maklum, Indonesia..”

***

                Pernah mendengar percakapan yang serupa dengan dialog diatas? Atau jangan-jangan, kita pernah berbincang atau mengucapkannya sendiri? Sadar dan tanpa sadar.  Misalkan saja, ketika menjumpai hal-hal yang tak berkualitas, jam karet, dan hal-hal buruk lainnya, dengan mudahnya kita mengatakan “Maklum, Indonesia.” ; “Biasa, Indonesia.” atau “Ah dasar, orang Indonesia.” Rasa-rasanya jika mendengar hal tersebut saya ingin teriak, “Hei, Bung. Anda juga orang Indonesia, kan?” Ironis, kawan. Sungguh, menurut saya hal ini adalah sesuatu yang amat MENYEDIHKAN dan BERBAHAYA!


                Mengapa menyedihkan? Karena secara tak langsung kita –yang notabene adalah termasuk orang Indonesia- mengatakan hal-hal yang buruk mengenai Indonesia, menyangsikan kemajuan dan capaian-capaiannya, dan memandang negara beserta seluruh isinya yang oleh Multatuli dijuluki sebagai Zamrud Khatulistiwa ini tak lebih sebagai negara yang tak maju-maju karena kebiasaan-kebiasaan jeleknya.

                Mengapa berbahaya? Karena secara tak langsung kita –yang mengucapkan kata diatas- menjunjung pesimisme terhadap negara, bukan optimisme. Padahal, di manapun anda, rasa OPTIMIS-lah yang dapat menggerakkan sendi-sendi dalam tubuh dan menggelorakan darah dalam jiwa untuk bangkit dan berbuat sesuatu untuk kemajuan. Berbahaya karena secara tak langsung kalimat-kalimat pesimisme tersebut akan membawa kita menuju kemalasan yang berujung pada kondisi stagnan; itu-itu saja dan tak mau berkembang. Secara tak langsung pula, kita akan terbiasa mendengar kalimat-kalimat pesimisme itu hingga di alam bawah dasar kita juga mengatakan hal yang sama.

                Ayolah. Negara ini adalah negara yang kuat. Bangsanya? Kita adalah bangsa yang hebat. Kau tahu, kawan. Nenek kita adalah seorang pelaut yang mampu mengarungi tujuh samudera. Para pedahulu kita adalah pahlawan tak kenal takut pada kematian dan kehilangan harta; CINTA MEREKA TAK BERBALAS! Lalu, jika bukan karena rasa cinta dan optimisme yang menyala-nyala, bagaimana bisa mereka mengambil lagi sang saka merah putih dan meneriakkan satu kata, “MERDEKA”? Negeri ini sudah lelah dengan para pesimis yang meneriakkan keburukan demi keburukan yang dipertontonkan kepada masyarakat setiap harinya; layar kaca dan media massa yang tak digunakan sebagaimana mestinya. Padahal, ada banyak prestasi anak bangsa dan capaian-capaian luar biasa yang mengguncang dunia; namun mengapa yang diberitakan adalah itu-itu saja? Korupsi, nepotisme, gantung diri, dan lain sebagainya. Maka jangan salahkan rakyat jika mereka meniru-niru apa yang mereka lihat di kotak ajaib bernama televisi itu.

             Negeri ini haus akan jiwa-jiwa muda yang terus berprestasi dan melakukan langkah kongkrit dan nyata. Negeri ini butuh pemuda yang peduli, tulus, dan cinta pada negerinya. Negeri ini butuh mereka yang jujur, yang taat pada agama dan budi pekerti luhur untuk kebaikan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Tak perlu tunggu mereka atau siapapun. Bahkan tak perlu menunggu contoh dari pejabat teras yang iklannya muncul setiap hari. Kita hanya perlu bertanya pada hati nurani: siapkah engkau untuk Indonesia yang lebih baik? Maka, seperti kata Aa Gym;  mulai dari hal terkecil, misalnya tak sembarang mengatakan hal buruk tentang Indonesia. Tahan kuat-kuat jika kau hampir-hampir mengatakannya; walaupun kau sering menyaksikannya dan orang-orang mengatakn hal yang sama. Mulai dari diri sendiri, tak perlu menunggu yang lain. Lalu, mulai dari sekarang! Jika bukan kita yang mengawali, siapa lagi?

Dirgahayu, Indonesia. Kami yakin kau akan berjaya dan benar-benar merdeka.

Komentar