Siang itu begitu terik, sangat
terik. Waktu itu aku mendapatkan SMS aktivasi dari teman-teman di LDK (Lembaga
Dakwah Kampus) untuk mengikuti Aksi Damai untuk Mesir. Awalnya aku
males-malesan. Ah, aksi ini semacam
demo. Pasti, panas ya, di jalanan? Berteriak-teriak, berkoar-koar pada
masyarakat sekitar di Jogja, tepatnya di O kilometer. Hmm... rasa-rasanya badan
ini minta diistirahatkan saja. Kurebahkan tubuhku di kasur kost, karena memang
saat itu kondisi badanku sudah sangat lelah sekali. Sangat lelah. Sudah seminggu
ini aku lembur dan begadang hingga dini hari, begitu setiap hari. Entah untuk
mengerjakan tugas ataupun amanah. Ya... kedua mata ini seakan-akan ingin
mengatup saja... tidur.. tidur..
Tiba-tiba adzan datang. Dhuhur. Aku segera berjamaah dengan kakak
kost yang saat itu sudah rapi jali.
“Mau
Aksi, ya Mbak?” tanyaku padanya.
“Iya,
kamu nggak ikut, po?” Ia balik bertanya.
“Kayaknya
lagi nggak pingin mbak...” jawabku datar.
Beliau
mahfum, dan kita sholat berjamaah.
Usai sholat, tiba-tiba hatiku merasa
ada yang kurang. Tiba-tiba saja aku teringat kisah Ka’ab bin Malik yang baru
saja aku baca dari buku “Yang berguguran di jalan dakwah” karya Pak Fathi
Yakan. Hmmm...
***
Kurang
lebih ceritanya seperti ini...
Baca sendiri kisahnya ya, kata kuncinya: Kisah Ka’ab bin Malik.
Mungkin akan kulampirkan setelah catatan ini. Panjang memang, namun mempesona,
dan cukup meneguhkan. Sangat meneguhkan. Ringkasnya begini. Saat itu perang
Tabuk, dan ada beberapa sahabat yang tidak ikut berperang; padahal mereka
sedang sehat, kuat dan mampu. Dan saat ditanya, mengapa tak datang berperang;
apakah uzur, atau ada apa; yang lainnya menjawab dengan seribu satu alasan.
Namun tidak dengan Ka’ab bin Malik. Ia yang biasanya pandai merangkai kata-kata
indah, tertunduk pilu dan menjawab.. “Saya tidak punya alasan, ya Rasul..”
Hingga akhirnya dia diasingkan dan rasul tak mau berbicara dengannya, karena
perintahNya. Namun ia ikhlas menjalani karena tahu betul bahwa itu semua adalah
salahnya. Ya. Tersiksa? Iya. Tapi ia menerima konsekuensi. Hingga datang kabar
bahwa Allah telah mengampuninya setelah sekian lama ia menunggu-nunggu kapan
Rasul bercakap dengannya. Kesabaran, dan tentu saja kejujurannya, membawa
bahagia.
***
Kita, dengan segala aktivitas dan amanah kita, tentu tak terlepas dari
sifat-sifat manusiawi kita. Saat ada sms aktivasi agenda ini itu, mabit ini
itu, aksi ini itu, terkadang tanpa sadar kita refleks mengeluarkan kata-kata
yang tak semestinya. Ia bernama keluhan.
“Aaaaah... syuro lagi.”
“Rapat terus, kenapa sih?”
“Mabit lagi?”
“Aksi apalagi ini..”"Kapan waktu untuk diriku?"
"PRku banyaaaak!!!"
Dan terkadang, tubuh kita yang sehat kuat ini malah menuruti
kehendak hati yang ternyata sedang dipimpin nafsu. Astaghfirullah.. sehingga
terkadang yang keluar adalah kalimat-kalimat keluhan yang seharusnya tak boleh
menghinggapi kita. Lalu menjalar pada perbuatan; yang pada akhirnya tak
mendatangi agenda aktivasi itu. Atau, tetap datang namun dengan hati tak
lapang. Terpaksa, dan menggerutu sepanjang jalan. Aduhai, itukah kita?
Padahal tubuh kita sedang kuat, dan tak ada kegiatan yang
mendesak-ndesak banget. Astaghfirullah.. semoga kita bukanlah orang-orang yang
pandai membuat alasan untuk meninggalkan kebaikan-kebaikan dan agenda
jama’ah..
Bukankah kita ini satu?
Bukankah kita ini saudara?
Bukankah ada yang lebih letih dari kita?
Bukankah banyak yang lebih lelah daripada kita?
Namun mereka menepis kelelahan itu, meninggalkan kelelahan itu.
Menggantinya dengan senyum penuh kemenangan dan keikhlasan: ini untuk Allah,
bukan untuk siapa-siapa.
Kita memang bukan Ka’ab bin Malik, namun kita bisa meneladani
dan belajar dari kisahnya.
***
Aku tersentak tiba-tiba. Nge-jleb banget, nggak sih?
Mereka itu –Mesir- sesama muslim, dan mereka saudara kita. Apa yang
bisa kita lakukan untuk mereka di sini? Berperang tak mungkin, langsung terjun
ke sana pun, kita masih banyak amanah di sini. Lalu bentuk kontribusi dan
solidaritas apa yang bisa kita lakukan untuk mereka?
Ya, salah satunya dengan aksi damai ini. Setidaknya,
masyarakat sekitar tahu bahwa di belahan bumi sana ada yang sedang meronta. Setidaknya,
pemerintah jadi ingat bahwa ada saudara-saudara kita yang tengah berjibaku
dengan ketapel melawan meriam di sudut dunia paling ujung sana. Apa bentuk
kontribusi dan rasa kepedulian pada mereka?
***
Aku berteriak pada kakak kost-ku yang mulai mengenakan helm-nya.
“Kak! Ikut!”
Ia tersenyum memandangiku.
Untukku, yang terkadang
masih begini dan begitu,
yang terkadang masih
terkalahkan oleh nafsu
Untukmu? Boleh.. semoga
bermanfaat.
Saat itu: Yogyakarta, 16
Agustus 2013
Kutulis dengan
cinta
Semoga mendatangkan
cintaNya
#SaveEgypt
#KitaSaudara
Komentar
Posting Komentar
Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-