Aku, Pakde, dan si Hitam-Putih Kehidupan

Oleh: Rizki Ageng Mardikawati*

“Kurungan lima tahun!”  
“Penggal kepalanya!”
“Jangan biarkan dia hidup dan menginjak-injak kami lagi!”
“Penjara seumur hidup! Tak ada yang lebih pantas ia dapatkan selain itu!”

Hitam! Kerumunan orang-orang beringas di saat sang Mentari mengeluarkan seluruh energi termal maksimalnya itu menambah suasana hatiku yang sedang panas. Kulihat saja dari kejauhan, karena sejujurnya aku terlalu takut untuk mendekat. Bahkan, kulihat beberapa dari mereka membawa senjata tajam. Mengacung-ngacungkannya ke arah depan, menuju seseorang yang sedang didekap erat oleh dua orang polisi. Akan dibawa ke tahanan, untuk diperiksa dan diberikan putusan selanjutnya sebelum pengadilan. Namun orang-orang yang sama sekali tak kukenal itu makin liar saja. Ada seorang lelaki bertopi biru yang melompati pagar putih milik gedung putih, gedung yang merepresentasikan suara di seantero Indonesia itu. Ia mendekati sang tersangka, mencoba menggoreskan luka di bahu dengan pisau kecil yang ia bawa.

Pakde[1]!” aku menutup mukaku. Aku tak kuasa melihatnya. Lebih baik aku pulang saja. Semuanya terlihat hitam. Hitam. Hitam. Hitam.


***

“Fan, sudah ada kabar mengenai Pakde-mu?”

 Yoyok mendekatiku. Aku tak bergeming, menoleh sebentar dan berusaha tersenyum. Meminta pengertiannya untuk sejenak membiarkanku bergulat dengan PR Matematika yang seharusnya sudah kukerjakan seminggu yang lalu. Ini memang cukup susah, dan aku perlu waktu. Sebelum Pak Larno datang dan meminta pekerjaan kami dikumpulkan.

“Kenapa kemarin nggak ngerjain di rumah?” Yoyok bertanya lagi sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya yang pertama. Aku menghela napas. Bagaimana bisa mengerjakan tugas, tidur saja aku tak kuasa. Sudah seminggu sejak berita penangkapan Pakde di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia itu, rumahku tak pernah sepi. Hari pertama, penggeledahan oleh polisi. Aku bingung, apa yang mau diperiksa dari rumah kami? Toh, Pakde tak pernah menitipkan apapun ke rumah kami, walau sapu tangannya yang tertinggal sekalipun. Pakde akan segera mengambilnya kembali ketika merasa ada barangnya yang tertinggal di rumah kami. Kata Pakde, segala yang kita miliki adalah titipan Allah yang akan dimintai pertanggungjawabannya. Ya, Pakde sangat religius dan taat terhadap agama yang dianutnya, yang kuanut, yang dianut keluarga kami.

“Mau nyontek punyaku, po? Nggak papa, waktunya tinggal 15 menit. Aku yakin kamu bisa ngerjain sendiri, Fan. Tapi ini udah mepet. Sebentar lagi pak Larno datang.” Yoyok menyodorkan buku pekerjaannya. Aku meliriknya sebentar. Bimbang. Namun aku segera terngiang kata-kata Pakde beberapa waktu yang lalu.
“Irfan sudah besar, masih nyontekan nggak?” guraunya waktu itu.

Enggaklah, Pakde. Tapi kadang-kadang kalau kepepet iya, hehe...”

Pakde tersenyum.

“Fan, coba Irfan bayangkan. Ketika nanti Irfan nyontek sekali saja waktu ujian, nah padahal Ujian itu dipakai untuk mendaftar perguruan tinggi. Dan setelah lulus dari perguruan tinggi, Irfan bekerja. Waktu bekerja, otomatis Irfan dapat uang, kan?”

“Iya Pakde,” aku mememperhatikan dengan seksama, karena aku belum tahu akan dibawa kemana arah pembicaraan ini oleh Pakde.

“Nah, Irfan rela kalau uang yang didapat Irfan itu jadi nggak berkah karena dulu pernah nyontek sekali?”
Aku menggeleng. Pakde tersenyum bangga dan mengacak-acak rambut jabrikku. Itu beberapa waktu yang lalu, sebelum akhirnya Pakde...

Gimana, Fan?” Yoyok membuyarkan lamunanku.

“Eh iya, iya. Enggak, Yok. Mau tak kerjain sebisaku aja.” Aku tersenyum. Menurutku senyumku ini sangat manis. Manis sekali.

Halaaah... nyontek aja. Pakdenya aja korupsi, keponakannya biasanya nyontek.” Tiba-tiba Bimbo dan gengnya datang. Aku menghela napas, bersiap-siap berdiri. Namun Yoyok menahanku, memintaku untuk tetap diam dan tenang.

“Ayahku saksinya, Fan! Pakdemu itu memang koruptor dan pantas dikurung. Hahahaa...” Bimbo meninggalkan aku dan Yoyok. Aku memegang kepalaku. Rasa sakit itu datang lagi. Aku pening.
***
Ruangan kotak 5 x 5 meter...

“Jadi, Bapak benar-benar menyaksikannya?” seorang gadis berambut sebahu lengkap dengan identitas persnya menanyai lelaki berkumis tebal itu.

“Berapa yang diambil, Pak?” seorang lelaki muda dengan cap garuda sebuah stasiun televisi swasta tak kalah mendekat, membawa handycam berukuran sedang.

“Jadi, apakah dengan begitu Pak Hasan terbukti bersalah? Bagaimana anda bisa menemukan buktinya?” seorang gadis berjilbab merah mencoba mengeraskan suara diantara beribu suara yang lainnya: meminta kejelasan informasi.

“Ya, saya benar-benar melihatnya.” Jawab lelaki yang sedang dikerumuni ratusan pers dari berbagai macam media massa itu. Wajahnya pias, seperti memendam sesuatu. Aku curiga.  Itu saja jawabannya, dan ia menutup konferensi itu.

“Tayangan macam apa ini? Bahkan dia belum menyebutkan bukti-buktinya.” Aku menggerutu.

***
            Malam ini aku benar-benar tak bisa tidur lagi. Segalanya terlihat hanya ada dua warna. Hitam dan Putih. Bayangan Pakde tiba-tiba datang. Kutunggu-tunggu bayangan buruk tentang Pakde seperti yang diberitakan di televisi-televisi swasta itu. Namun bayangan itu tak pernah muncul! Justru yang muncul adalah bayangan-bayang baik sosok Pakde: Pakde yang selalu tersenyum, Pakde yang seorang anggota DPR RI yang tentunya sibuk tapi selalu menyempatkan diri untuk bersilaturahim di keluarga kecil ini, Pakde yang wajahnya selalu terlihat putih bersih akibat bekas air wudhu yang selalu dijaganya, Pakde yang selalu sederhana dengan motor bebeknya, Pakde yang selalu membawakan mangga manis hasil petikan di rumahnya sendiri saat berkunjung, Pakde yang selalu datang dengan nasihat-nasihatnya yang mencerahkan.

 Ah, Pakde memang orang baik. Jika ia memang putih, mengapa aku berusaha untuk menghadirkan bayangan hitamnya? Tidak. Ini tidak bisa dipaksa. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat di televisi seminggu ini! Aku tak percaya bahwa Pakde Hasan, Pakde yang sangat sederhana dan kuhormati itu telah mengkorupsi uang sebesar 500 Milyar milik rakyat. Tidak, untuk apa Pakde melakukannya? Namun berita itu terus datang, media massa sibuk memberitakannya. Dengan fakta ini itulah, dengan data ini itulah. Tidak, aku sama sekali tak percaya! Sementara orang lain terus menghantuiku, Bapakku, Ibuku, keluarga besar kami. Terus memojokkan kami seolah-olah kami ini adalah keluarga tersangka yang pesakitan. Tidak!

Tidak. Aku harus menemui Pakde esok hari!

***
Aku berjalan gontai menuju sel A55, tampat di mana Pakde-ku ditahan sementara atas tuduhan –fitnah- yang menimpanya. Aku takut, aku takut melihat Pakde dalam kondisi tak baik. Aku takut jika mendapati Pakde sedang bersimpuh sedih dengan keadaannya yang kini menyedihkan itu. Aku takut jika mendapati Pakde bersikap aneh karena peristiwa menyakitkan yang sedang menimpanya itu. Aku mengangkat pelan-pelan sandalku, berharap agar ia tak menyadari kehadiranku. Benar, Pakde tak menyadarinya.

Aku terperangah. Benar-benar tak percaya dengan pandanganku sendiri. Kulihat Pakde, tanpa menyadari keberadaanku, sedang khusyuk membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Mushaf warna hijau yang selalu ia bawa kemanapun kaki melangkah itu bergerak-gerak, mungkin karena badan Pakde gemetar saat membacanya. Suaranya merdu, mengiris-iris hatiku. Sukses mencabik-cabik seluruh prasangkaku. Paman begitu tenang melantunkan ayat-ayat cinta itu, meskipun dengan badan bergetar. Aku tak berani mengganggunya. Aku duduk di depan sel, menungguinya membaca.

***
“Fan, fan... bangun, Nak. Sudah satu jam di sini.”

Suara lembut itu!

Aku mencoba membuka mata,

Pakde!” aku terkesiap melihat siapa yang ada di hadapanku kini. Aku tertidur rupanya.
“Ada apa Irfan menjenguk Pakde?” tanyanya dengan suara yang sangat lembut. Rona bahagia terpancar dari wajahnya. Pakde tak berubah.

“Irfan kangen Pakde.” Aku cemberut, memamerkan bibir manyun-ku.
Pakde juga kangen Irfan,” Pakde mengacak-acak rambut jabrikku, seperti dulu. Waktu peristiwa menyebalkan itu belum terjadi.

Kami saling diam-diaman hingga aku memberanikan diri untuk membuka percakapan.
Pakde beneran melakukan hal itu?”
Pakde tersenyum, pura-pura tak mengerti.
“Melakukan apa, Fan?”
“Korupsi itu. Irfan nggak percaya, makanya Irfan ingin tanyakan langsung ke Pakde. Benarkah itu Pakde?” aku terbata-bata.
“Kalau menurut Irfan, bagaimana?” Pakde balik bertanya.
“Irfan nggak percaya, Pakde. Pakde orang baik.” Aku menunduk.
“Turuti kata hatimu, Nak. Sesungguhnya Allah bersama kita.” Pakde tersenyum.
Teeet... Jam besuk habis. Aku harus segera pergi sebelum Pak Polisi penjaga melotot ke arahku.
Pakde memberikan kode pada pak polisi, kode bertanya.
“Bolehkah saya meminta waktu lima hingga sepuluh menit lebih lama dengan keponakan saya? Dhuhur telah tiba. Bolehkah saya sholat berjamaah dengan keponakan saya?” Pakde meminta, sang polisi penjaga mengangguk , lalu meninggalkan kami. Kami saling pandang: bahagia.
Usai sholat, Pakde berpesan lagi.
“Turuti kata hatimu, Nak. Sesungguhnya Allah bersama kita.”
Aku mencium tangannya penuh takzim.
***
Ustadz Koruptor.
Prahara di Oase Partai.
Kemelut Politik dan Korupsi Hasan.

Setidaknya itulah headline-headline yang menghiasi koran-koran besar nasional hari ini. Di sana, tercetak tebal-tebal judul yang cethar, tak lupa foto berukuran besar yang memenuhi hampir setengah ukuran koran itu. Foto Pakde. Posenya beragam, ada yang ketika Pakde ditangkap, saat Pakde hampir tergores pisau, hingga pose Pakde yang masih sempat tersenyum sebelum dibawa ke tahanan sementara.

Sementara itu, televisi dan media elektronik tak kalah garangnya. Mengabarkan berita-berita tak enak. Tentu saja tentang Pakde. Awalnya fakta disampaikan, namun lama-lama jika diikuti akan terasa jengah dan bosan. Terlalu banyak bumbu-bumbu tambahan. Apakah mereka mengira dengan menambahi bumbu tambahan akan menjadikan masakan –berita- yang mereka sajikan menjadi tambah lezat? Tidak! Justru, layaknya Monosodium glutamat, penyedap tambahan itu lama-lama akan menimbulkan penyakit dan menggerogoti tubuh mereka. Lalu mereka jadi hitam!

Putih? Hanya sedikit saja dari media-media itu yang berusaha menetralisir keadaan. Beberapa media massa Islam yang berpihak pada konsep kebenaran. Berpihak itu perlu, namun berpihak kepada kebenaran adalah kewajiban. Dan aku mendapatkannya di sini. Kuteliti judul-judulnya.

Ujian Ustadz Hasan
Bersabarlah, Ustadz

Aku melihat cahaya putih di headline-headline koran ini. Meskipun tak setenar dan selaku koran-koran yang mengatasnamakan “Bad news is good news” itu, aku menemukan celah putih disini. Satu tahun lagi, aku bertekad menjadi bagian dari redaksi koran ini. Atau, menjadi reporter langsung, menelisik kebenaran dengan konsep tabayun (konfirmasi) yang telah diajarkan oleh sang sebaik-baik teladan.

            Ini hari jum’at. Pengadilan untuk Pakde hingga saat ini belum juga dilakukan. Masih saja hitam. Entah sampai kapan. Terkadang, aku tak mengerti dengan segala sesuatu yang terjadi di negeri ini. Aku berusaha mati-matian untuk berhusnudhan –berprasangka baik- kepada pemerintah dan para pejabat negara atas semua kejadian demi kejadian di negeri ini. Aku tak pernah menghujat mereka atas kerja-kerja yang kusaksikan secara langsung selama ini. Hal ini karena aku tahu betul, tak mudah menjadi pemimpin negara. Tak mudah menjadi pusat perhatian yang mengurusi segala polemik tanpa harus terlihat cela dan cacatnya. Ya, aku paham betul.

            Tentang keadilan, tentang hukum, akupun tak pernah mencela. Bukan orang-orangnya yang salah, bukan hukumnya yang salah. Namun terkadang putusan-putusannya membuatku sedikit berkerut untuk berpikit. Tentang kasus Nenek Minah yang harus dipenjara beberapa tahun hanya karena kepepet mencuri buah kakao, atau Mbah Giman yang divonis dengan hukuman yang sama hanya karena salah mengambil sendal usai jum’atan. Ini benar-benar sulit dinalar jika dibandingkan dengan lenyapnya kasus-kasus besar. Bank Century, Wisma Atlet. Ah, entah apalagi aku sudah lupa saking banyaknya. Namun berita-berita tentangnya bagaikan sekelumit titik, lalu habis diserbu api oleh berita besar lainnya. Bagaimana bisa menemukan titik pangkal masalahnya, jika selalu ditutup dengan gempar berita bom atau terorisme? Ah, terkadang aku muak, namun aku tetap berprasangka baik. Aku berharap banyak pada mereka, para calon sarjana yang sedang menempuh ilmu hukum. Tegakkan huku di negeri ini, dengan keadilan, tolonglah.

***
            Sudah tiga bulan. Sejak penangkapan, disusul dengan persidangan kasus yang menimpa Pakde. Biangnya sudah ditemukan, walaupun beberapa pihak belum menerima.

“Tidak Mungkin! Ayah tak bersalah!”

Aku mengenal anak laki-laki yang sedang menangis sambil naik ke mimbar persidangan. Bimbo. Ayahnya terbukti sebagai dalang dari kasus yang menimpa Pakde. Bukan sepenuhnya salah ayah Bimbo sebenarnya, karena ia juga hanya suruhan. Ayah Bimbo dijerat pasal.

            Pakde terbukti tak bersalah, lalu apa arti tiga bulan kemarin? Hitam! Menangkap orang tak bersalah, membiarkannya menderita berhari-hari. Memisahkannnya dengan handai taulan yang dikasihi. Difitnah, dicaci maki secara tak adil. Inikah keadilan? Sementara yang melakukan penangkapan tak sekalipun merasa bersalah, apalagi meminta maaf. Bahkan hingga Ayah Bimbo dimasukkan ke dalam sel tahanan sementara pun, Pakde yang jelas-jelas telah terbukti putih tak bersalah masih saja ditahan. Alasannya, untuk memudahkan proses pemeriksaan. Bah! Apalagi ini.

Namun Pakde menegurku,
“Tak baik mengumpat. Turuti kata hatimu dan yakinlah, Allah bersama hamba-hambaNya yang benar.”
***
            Terhitung dua bulan sejak pengungkapan. Hingga kini, Pakde masih saja ditahan. Berarti totalnya adalah lima bulan. Ah, aku selalu saja ingin mengumpat dan meneriakkan kata-kata penuh kebencian kepada peradilan. Namun suara Pakde selalu terngiang: aku hanya perlu bersabar, karena sesungguhnya kebenaranlah yang akan menang.

Putih akan selalu menang atas hitam! Walau keduanya kadang berjalan beriringan, untuk saling melengkapi warna warni kehidupan. Aku yakin, setelah hitam ini akan muncul putih. Aku pun tahu betul, kita tak akan pernah merasakan nikmatnya bertemu putih, sebelum merasakan pahitnya bertemu hitam. Ya, bagaikan takdir kehidupan: biarkan mereka terus berjalan beriringan, saling melengkapi puzzle kehidupan.

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Q.S Al-Hujurat : 6)

*Dipersembahkan untuk seluruh pejuang Media di Indonesia, besar atau kecil, nasional hingga lokal: Dimanapun kita, pastikan yang kita perjuangkan adalah kebenaran.


[1] Pakde: Sebutan di tanah Jawa untuk kakak dari Ibu atau Ayah kita, paman yang lebih tua daripada orangtua.

Komentar