Aku, Fisika, dan Manisnya Perjalanan

Oleh: Rizki Ageng Mardikawati*

            Jika ditanya tentang cita-cita, sebagian besar anak kecil akan memberikan jawaban yang serupa. Entah kenapa.
“Kalau gede, pingin jadi apa dek?” kata seorang yang sudah dewasa, kepada anaknya, atau adiknya.
Lalu, dengan jawaban yang masih cadel ia akan menjawab,
“Pingin jadi dokter.”

Entah kenapa, dari Sabang hingga Merauke dapat dipastikan bahwa cita-cita semua anak semasa kecilnya adalah menjadi dokter. Mengapa harus dokter? Entahlah. Mungkin sudah takdir kali, ya. Jarang-jarang ada yang menjawab menjadi guru, petani, pilot, wirausaha, dan profesi lainnya. Paling banter setelah menjawab dokter, mereka akan menjawab.

“Pingin jadi presiden.”

Ya. Itu jawaban kebanyakan. Entah mengapa hampir semua anak termasuk kita, jika ditanya mengenai cita-cita masa kecilnya adalah dokter. Bisa jadi karena orangtuanyalah yang menuntun mereka memberikan jawaban seperti itu, meskipun nanti pada kenyataannya tak semua orangtua ingin anaknya jadi dokter. Entah karena ekspektasi tinggi orangtua terhadap anaknya yang masih belia ataupun karena memang harapan, karena perkataan adalah doa. Sampai boneka Susan pun menjawab dengan jawaban yang sama.
“Susan...susan, kalau gede ingin jadi apa..”
“Susan kalo gede pingin jadi dokter...”


            Itu anak kecil. Kisaran usia Sekolah Dasar. Lain lagi dengan jawaban usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kebanyakan jika diminta untuk mengisi biodatanya atau ditanya apa cita-citanya, ia akan menjawab. “Menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama.” Ya, Nggak? Ehm. Lalu kita berpikir, itu tidak spesifik sama sekali. Berguna itu, seperti apa? Kontribusi apa yang bisa dilakukan  untuk nusa, bangsa, dan agama? Ya. Semua pasti akan kesulitan menjawabnya.

            Lain dengan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang sudah bisa berlogika dan bernalar dalam pemikirannya. Masa-masa ini adalah masa yang penuh dengan idealita, dan mereka berlomba untuk memasang target yang setinggi-tingginya. Termasuk aku.

***

Jika yang lainnya menganggap profesi dokter hanyalah cita-cita masa kecil, aku menganggapnya sebagai cita-cita selamanya. Ya, aku benar-benar ingin jadi dokter kala itu. Sepertinya akan keren jika kita bisa menolong orang yang tak mampu dengan peralatan yang super canggih. Bukan keren akan kehidupan yang terlihat sempurna, melainkan keren pengabdian dan hal-hal ‘lebih’ yang bisa dilakukannya untuk orang-orang terkasihnya. Trenyuh rasanya melihat fenomena di Negara tercinta mengenai pelayanan kesehatannya, sehingga Kick Andy pun pernah mengangkat tema, “Orang miskin nggak boleh sakit,”. Miris, kan?

            Hem, baiklah. Karena aku benar-benar ingin jadi dokter, jadilah aku mendaftar SNMPTN Undangan dengan pilihan pertama pendidikan dokter di  sebuah universitas ternama di Jogja dan Surakarta. Hasilnya? Tidak diterima. Aku yang keukeuh dan masih memiliki idealita tinggi ini melanjutkan petualangan dengan mengikuti SNMPTN tertulis. Pilihannya masih sama. Kedokteran. Universitas terbaik di Indonesia. Hanya saja, untuk pilihan kedua Ibuku meminta.

“Pendidikan, Nduk. Terserah apapun.” Kata beliau sewaktu menemaniku ke warnet untuk mendaftar SNMPTN tertulis via online. Karena semasa SMP dan SMA aku merasa bisa dan mencintai fisika, jadilah pilihan kedua jatuh padanya. Pendidikan Fisika, di sebuah Universitas Negeri di Yogyakarta yang memang berfokus di bidang pendidikan.

            Agaknya pepatah lama itu ada benarnya. Bukan sekedar benar biasa, karena dalam kitab Al-Qur’an yang mulia pun menyinggungnya. Ridho Allah tergantung ridho orangtua. Dan sepertinya, orangtuaku ridho di pilihan yang mereka sarankan. Kau tahu? Ya, pilihan kedua. Pendidikan fisika. Universitas Negeri Yogyakarta. Antara percaya dan tidak percaya, aku yang kala itu ditemani oleh Bapak melihat penguman di warnet via online hanya bisa tersenyum meringis saat melihat tulisan panjang berwarna hijau yang berkedip-kedip itu berkata, “SELAMAT! ANDA DITERIMA DI JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA- UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA.” Bapak langsung menjabat tanganku sementara aku bertahan pada posisi meringis. Barulah aku tersadar dua detik kemudian, bahwa aku adalah sedikit dari pemuda yang berkesempatan untuk mencicipi indahnya dunia intelektualitas kampus. Aku beruntung! Alhamdulillaah..  

***

            Baiklah. Walaupun sebelumnya tak terencana dan tak terkira sama sekali aku akan menapaki kehidupan di dunia persilatan fisika ini, mau tak mau aku harus menjalaninya. Baiklah. Aku bersyukur kala itu. Bagaimana tidak? Menurut data yang kubaca di internet, aku adalah termasuk dalam 2% pemuda yang beruntung untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, -apalagi perguruan tinggi negeri- dibandingkan dengan 98% lainnya. Aku pun bertekad dalam hati: Aku harus bersungguh-sungguh! Walapun sebenarnya jika ditanya, aku akan menjawab jujur bahwa aku akan lebih enjoy jika berada dalam dunia tulis menulis, sebut saja sastra Indonesia, berbicara dan ekspresi mimik muka dalam strory telling, sebut saja jurusan bahasa Inggris, menangani orang-orang dilematik dengan permasalahan kehidupan dan berjuang mati-matian untuk memotivasi mereka, sebut saja jurusan psikologi. Atau, berada dalam dunia desain dan menggambar komik, jurusan seni rupa dan desain, atau ya.. tadi.. belajar tentang kesehatan dan tubuh manusia: pendidikan dokter. Tapi ya sudahlah. Pena telah terangkat, dan lembaran tinta-tinta telah kering: Takdir fisika lah yang kini menyapaku...

            Bukan. Bukan mimpi buruk, ini mimpi indah. Walaupun setiap hari aku harus meneguhkan dan menguatkan diriku sendiri. Ditengah-tengah lautan manusia yang sama-sama galaunya: Hampir 80% temanku mengeluh bahwa mereka salah jurusan. Semuanya terasa menyedihkan dan gelap, dan aku merasa bahwa akulah pelita yang dikirim Allah: Aku harus mengubah keadaan ini! Aku harus bangkit dan tak boleh ikut-ikutan mengeluh. Aku harus memotivasi teman-temanku sembari memotivasi diriku sendiri. Baiklah. Walaupun saat dosen menerangkan ini-itu, yang terkadang penjelasannya sulit untuk kucerna –mungkin karena aku tak belajar- , walaupun terkadang saat pre test angka 2 dan 3 biasa menghiasi nilai di kertas ujianku: Aku biasa saja. Di saat teman-temanku –yang merasa salah jurusan- semakin mengeluh karena argumentasi mereka didukung dengan nilai jelek, -yang bahkan menurutku sudah bagus, karena lebih tinggi daripada punyaku-, aku selalu mengelus-elus punggung dan hatiku sendiri: Tenang, Rizki... semuanya akan baik-baik saja. Berjalan saja, berusaha sekuat tenaga. Sedih memang terkadang ada, namun jika aku ingin menyerah, rasa-rasanya wajah Ibu Bapak lah yang selalu terlintas: Nggak mau bikin mereka sedih…

            Tiap Ibu telepon dan menanyakan kabarku, pun. Dalam kondisi apapun, baik sedang sehat maupun sakit, galau atau senang, sedih ataupun bahagia, yang selalu kukatakan padanya adalah aku sehat, aku kenyang, aku senang. Allah… aku sungguh mencintainya, aku tak ingin melukai perasaannya.

            Di tahun pertama, keadaan memang sedang berat, satu persatu teman-temanku memutuskan untuk pindah jurusan dengan cara mendaftar SNMPTN lagi atau ikut tes masuk lagi. Pingin? Sempat terbesit, sih. Puncaknya, saat pengumuman IP semester 1 ku. Tiga koma sih, tapi itu termasuk yang dibawah, dibandingkan dengan teman-temanku yang lain. hyaa… aku hanyalah anak kecil yang pandai mengelabui perasaanku sendiri, lalu aku menepuk-nepuk pundakku sendiri sambil berkata: Taka pa-apa riz… semua akan baik-baik saja, selalu ada harapan.. selalu ada harapan…

***

            Aku berpikir, jika aku sedih terus, jika aku galau terus: Kapan aku bisa move on? Sejenak kuletakkan fisika-ku, bukan untuk meninggalkannya, namun untuk mencarikannya teman. J kuikuti berbagai organisasi: Himpunan Mahasiswa Jurusan, SKI Fakultas, hingga komunitas-komunitas. Kuikuti berbagai macam kepanitiaan dan seminar: Aku mulai bersemangat dan merasa ‘lebih mahasiswa’. Kutemukan juga teman-teman yang sama-sama menguatkan, saling menumbuhkan.

            Kulirik-lirik hobiku: Menulis. Ternyata inilah passionku. Kucoba menulis dan membagikan catatan pada teman-teman. Hasilnya, Alhamdulillah responnya luar biasa: mereka menyukai tulisanku. Lalu kucoba mengikuti berbagai lomba kepenulisan, Alhamdulillah ada yang menang, namun yang terpenting adalah pengalaman. Sejak saat itu aku jadi manusia paling rajin update info lomba menulis, dimanapun. Bahkan, PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) ku yang kuajukan ke DIKTI diterima dan mendapat hibah dana 8 juta. Hingga kini, setidaknya ada 10 buku antologi yang telah terbit, dan karyaku ada di sana J

            Ya kawan, seorang teman di Malang –teman seperjuangan di SMA- juga kembali menegaskan,
“Tak harus berada di jurusan sastra Indonesia, kan? Penulis bisa darimana saja. Fisika, Matematika, biasanya mereka malah memiliki passion menulis yang luar biasa.”

Aku setuju dengan statement itu.

            Kini aku duduk di semester lima. Alhamdulillah, dengan program studi yang masih sama: Pendidikan Fisika. Sedikit demi sedikit IPK terus kuperbaiki, mengulang sana-sini, bersemangat tiada henti. Selama ada keyakinan, pasti ada kekuatan! Aku, bismillah mulai merancang mimpi-mimpi indah dengan terus berprestasi dan produktif dengan passion ku ditengah hiruk pikuk dunia perkuliahan dan padatnya amanah organisasi. Ya, aku yakin aku bisa ke luar negeri gratis karena exchange. Aku yakin aku bisa lulus cepat dan tepat waktu dengan skripsi dan kolokium terbaik. Aku bisa menerbitkan buku-buku karyaku berapapun yang aku mau: semangat berbagi dan bermanfaat.

Ya, kawan. Allah tak akan pernah membebani kita dengan apa yang kita tak sanggup memikulnya. Allah memberikan amanah untuk kuliah di jogja, prodi pendidikan fisika, berarti Allah percaya bahwa aku BISA melakukannya! Ya, aku Rizki, masih sama, mahasiswa semester 5 prodi pendidikan fisika. Namun semangatku baru, semangatku luar biasa: Aku pasti BISA!

Karena manisnya hidup, kitalah yang tentukan. Ini ceritaku, apa ceritamu? J

BIODATA NARASI:

Rizki Ageng Mardikawati. Hobi Menulis sejak sekolah dasar. Mahasiswi Pendidikan Fisika Universitas Negeri Yogyakarta. Saat ini aktif di HASKA JMF FMIPA bagian Jurnalistik, CES JOGJA bagian Media dan Publik Relasi, dan GAPURA (Gerakan Penulis UNY Raya). Penulis bisa dihubungi lewat email: rizkiagengmardikawati@gmail.com atau facebook: Rizki Ageng Mardikawati.

Komentar