(sebuah cerpen)
“Nduk,
nanti kalau kamu sudah besar dan mau menikah, cari pemuda yang seperti Bapak
ya.”
Kata
Ibu suatu hari. Aku mengernyitkan dahi,
“Seperti
Bapak? Yang kaya gimana, Bu?”
“Ya
pokoknya yang seperti Bapakmu.”
Ibu
tersenyum lalu kembali ke dapur. Meninggalkanku yang terbengong-bengong di
teras rumah.
***
Bapak
itu serba bisa. Pokoknya apa saja bisa. Tak ada kata “tidak bisa” dalam kamus
kehidupan Bapak! Bikin rumah? Bapak jago bangunan. Nyuci Baju? Bisa. Setrika? Apalagi. Masak mie rebus hangat? Bapak ahlinya. Ndongeng dan ngajarin
belajar? Super!
“Paak...
lampu kamar rusak.”
“Okee..”
“Pak,
air krannya mampet.”
“Siaap.”
Ya. Dialah Bapakku, mentari hidupku.
Tak ada hal yang tak mungkin, pasti bisa, asalkan realistis dan halal, itu
prinsipnya. Apalagi untuk kebutuhan putra-putrinya. Kalaupun ada pekerjaan yang
belum bisa dikerjakannya, Bapak selalu berusaha keras bagaimana caranya bisa
melakukannya. Bapak selalu Bisa. Selalu berusaha untuk bisa.
***
Aku
anak kedua dari tiga bersaudara. Dari kami bertiga, akulah yang sekolahnya
paling jauh. Di Wonogiri, sebuah provinsi di Jawa Tengah. Sementara rumah kami
ada di kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Karena jauh, aku ngekost di sana. Tiap sabtu aku pulang ke rumah naik bus dan senin
paginya aku berangkat pagi-pagi pukul 04.30 untuk mengejar bus menuju tempatku
menimba ilmu itu. Karena perjalanan 2 jam, maka sampai di sekolah pukul 06.30,
tepat sebelum pelajaran dimulai pukul 07.00 WIB. Karena hari masih gelap ketika
berangkat dari rumah menuju terminal, Bapak selalu mengantarku menuju terminal
dan menungguiku sampai mendapatkan bus yang sesuai. Kenapa? Ya, karena hanya
ada 1 bus yang sesuai. Biasanya, datang pukul 04.50 WIB. Setelah itu? Tak ada
lagi, sampai aku menunggu 1 jam lagi dan itu artinya: AKU TERLAMBAT.
Hari
ini hari senin, itu artinya aku harus kembali ke tanah rantauan. Sebelum subuh,
aku sudah bersiap mandi dan sedikit sarapan. Sebenarnya hatiku agak resah, karena
Bapak sedang sakit. Tadi malam bahkan beliau tak dapat mengikuti sholat Maghrib
dan Isya di Masjid. Cukup bersujud di kamar dengan badan menggigil dan batuk
yang hebat. Siapa yang mengantarku ke
terminal? Aku tak boleh merepotkan. Tekadku. Aku akan berjalan kaki menuju
terminal, menerobos gelap.
***
Belum
selesai aku mengenakan kaos kaki, Bapak tiba-tiba datang menepuk pundakku.
“Berangkat
sekarang, Nduk?”
Lalu
beliau mengenakan jaket tebal dan mulai menyalakan mesin motornya.
Aku
menjerit, “Tapi Bapak lagi sakit...”
Bapak
tersenyum saja. Aku paham, dan segera naik dibonceng Bapak.
Sesampai
di terminal, ternyata sudah sepi. Perasaanku tak enak.
“Pak,
bus aneka sudah lewat ya?” tanya Bapakku sopan pada seorang kakek Tua yang
duduk seorang diri di sudut terminal. Dan si kakek Tua mengangguk.
Aku
patah hati. Aku telat. Aku mbolos sekolah.
“Ya
sudah, pulang aja Pak. Nanti ikut
yang jam 6 aja, nggak masuk satu hari.” Kataku.
“Tenang,
Nduk. Bisa.”
Bapak
lalu memutar motornya, kembali ke rumah. Mengenakan satu lapis jaket tebal lagi
dan mengambil dua helm. Memberikan satu untukku.
“Nih,
dipakai ya. Kita kejar bus di terminal Batu.”
“Pak,
Bapak kan lagi sakit?” protesku.
“Nduk,
buat apa Bapak sehat kalau Anaknya nggak senang? Bapak sehat kok, Bapak pingin
genduk masuk sekolah dan jadi anak yang pinter.”
Aku
leleh.
Sepanjang
perjalanan yang masih gelap dan dingin itu, sambil dibonceng Bapak, aku
menangis. Aku saja dingin, Bapak pasti lebih dingin. Ya Allah... ampuni
hambaMu.. beginikah caraku membalas kebaikan Bapak? Memaksanya menerobos dingin
yang menusuk-nusuk kulit itu.
30
menit kemudian, sampailah kami di terminal Batu.
“Itu,
Nduk... bus nya.”
Bapakku
turun dan menyetop bus, menemui kernetnya.
“Pak
titip anak saya, ya.”
Setelah
mencium tangan Bapak, aku naik bus. Bapak melambaikan tangan. Tiap lambaian
tangannya begitu bermakna hingga aku bisa menangkapnya : hati-hati, Nak.
***
Sepanjang
perjalanan aku menangis. Bagaimana kondisi Bapak? Sakit-sakit mau mengantarku
sejauh ini. Sedang apa aku ini? Saat sehat saja sering tidak melaksanakan
nasihat beliau. Aku mengirimkan sebuah sms kepadanya,
“Pak,
terimakasih ya. Maaf selalu merepotkan Bapak. Cepat sembuh ya, Pak.”
Drrtt..
sms masuk.
“Iya,
Nduk. Hati-hati ya. Amin.”
***
Itulah
Bapak. Selalu sederhana dan serba bisa. Bahkan disaat sakit mendera. Tak hanya
sekali dua kali seperti ini. Bapak selalu saja bisa membuat kami bahagia dan
tertawa terbahak-bahak. Bapak selalu bisa tersenyum padahal kami tahu hatinya
teriris. Pantas saja ibu begitu mencintainya.
Aku mencintaimu, Pak!
Semoga
Allah membalas semua kebaikan-kebaikanmu ...
-End-
Tentang Penulis:
Rizki
Ageng Mardikawati. Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Pendidikan Fisika
Universitas Negeri Yogyakarta. Hobi menulis sejak Sekolah Dasar. Saat ini,
Penulis aktif di HASKA JMF FMIPA UNY bagian Jurnalistik dan CES (Centre of
Excellent Student) Yogyakarta bagian Media Jaringan. Pembaca bisa
menghubunginya melalu facebook “Rizki Ageng Mardikawati” atau lewat email: edogawa_rizki@yahoo.co.id
dan rizkiagengmardikawati@gmail.com.
Untuk membaca tulisannya, pembaca bisa mengunjungi www.edogawakeepsmile.blogspot.com
*cerpen ini telah dimuat dalam antologi cerpen dari penerbit Harfeey, FTS bertema Ayah
*cerpen ini telah dimuat dalam antologi cerpen dari penerbit Harfeey, FTS bertema Ayah
Komentar
Posting Komentar
Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-