Dunia, Kamilah Penulis-Penulis itu, Kamilah Ksatria Pena itu.

Oleh: Rizki Ageng Mardikawati

Nun. Demi pena dan apa yang dituliskannya.
(Q.S Al-Qalam: 1)

              Menulis? Entahlah, tanpa sadar aku mulai mencintai dunia ini sejak aku bisa menuliskan huruf a, b, c, sampai z semenjak duduk di bangku taman kanak-kanak dulu. Mengenal huruf, mengeja kata, merangkai kalimat. Semuanya terasa sangat menyenangkan, begitu menyenangkan. Tentu saja, semua berawal dari membaca. Semakin besar, semakin banyak aku berkenalan dengan majalah dan buku-buku. Dan tahukah engkau? Ada kenikmatan dan kelezatan tersendiri ketika membaca setiap kata yang tercantum dalam buku/ majalah itu. Sampai-sampai ketika makan pun, aku membaca buku hingga kena marah Bapak. “Makan dulu, Nduk. Bacanya nanti.” Rasa-rasanya, saat membaca, aku ikut tenggelam dan seolah-olah menjadi tokoh utama yang diceritakan dalam buku itu. Tentu saja, tak sembarang buku dan bacaan yang boleh dibaca: yang baik, yang mendidik, yang bermanfaat, dan sesuai dengan umur. Aku sangat senang membaca kala itu, dan hingga kini. Sebuah pertanyaan menari-nari dalam benakku: Kapan aku bisa menulis semacam ini? Menebar kebermanfaatan untuk yang lainnya, membuat bahagia perasaan orang yang membacanya, bukankah itu luar biasa?


            Menulis, aku ingin menulis untuk kebermanfaatan banyak orang. Aku ingin tulisanku mencerahkan yang gelap, menyenangkan hati bagi yang sedang sedih, memberikan penguatan bagi yang sedang galau dan bingung, dan menambahkan kebahagiaan bagi yang sedang mendapat anugerah. Ya, aku ingin. Karena ketika lidahku tak mampu mengucapkan banyak hal untuk mengubah dunia dan menghibur mereka, lewat tulisanlah apa yang kupikirkan akan mampu diterima. Dengan menulis, aku bisa melakukan apapaun. Ketika aku terlalu malu untuk mengungkapkan sesuatu secara langsung, aku menuliskannya. Ketika aku sedang sedih namun tak ingin yang lain turut terkena atmosfersedihku, aku menulis. Ketika aku melihat adanya kemungkaran atau hal yang tak baik namun aku tak mampu berbuat lebih, aku menegurnya lewat tulisan. Ketika aku sedang sangat berbahagia dan rasa-rasanya ingin tumpah, maka aku menuliskannya. Setelah menulis, hati ini jadi lega. Jiwa ini jadi cerah, luar biasa. Menulis itu menyembuhkan!

            Sedih rasanya ketika kujumpai tulisan-tulisan bagus namun menyudutkan, menutupi kebenaran, dan malah menonjolkan keburukan. Terluka hati ini ketika menjumpai tulisan-tulisan yang tengah dibaca anak-anak namun tak sesuai dengan masanya, tak berbanding lurus dengan umurnya. Marah rasanya ketika menjumpai tulisan-tulisan yang mengadu domba, mengatakan yang benar itu salah dan sebaliknya. Hati ini menjerit. Tolonglah, menulislah untuk kebaikan saja. Menulislah untuk kebenaran saja. Bukankah Tuhan telah menciptakan pena untuk menebarkan ilmu yang benar dan baik kepada manusia? Menulislah, untuk membuat dunia ini semakin bersemangat menunjukkan sinarnya, bukan malah membuat hatinya makin terluka.

            Karenanya, aku ingin menjadi penulis yang berkarakter, dan memiliki misi kebaikan dalam setiap kata yang kutulis. Karena setiap tingkah laku akan dipertanggungjawabkan di hadapanNya, bahkan sebuah huruf saja. Maka izinkanlah aku menuliskan kebenaran. Izinkanlah aku menuliskan tiap warna-warna kebaikan. Menjadi penulis itu memang luar biasa, namun menjadi luar biasa tak akan berpahala dan tak akan berarti apa-apa jika tak mengalir kebaikan didalamnya. Mari menjadi penulis yang mencerahkan, yang mebawa pesan kebaikan. Dunia, kamilah penulis-penulis itu. Kamilah ksatria pena itu, saksikanlah.

Komentar