Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana: Hikmah Silaturrahim

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
Seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang telah menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
Seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada..
~Sapardi Joko Darmono

            Setidaknya itulah pesan yang dapat kutangkap dari dua bola mata sayu milik seorang tua itu. Ya,beliau adalah seorang nenek yang usianya sudah menghampiri usia emas. Kutaksir,90-an lah. Giginya masih putih, walaupun tinggal beberapa biji. Terlihat saat ia tertawa lebar menyambut kedatangan kami; Ibu, Bapak, Kakak, dan Aku, saat keliling silaturahim bakda sholat Ied kemarin.

            Sendiri? Ya,memang. Di rumah kayunya yang sederhana, suasana tampak sangat sepi sekaliwalaupun berada di pinggir jalan aspal yang sering dilalui orang. Ya, hanyakarena ia seorang yang menyambut kami.


Monggo, Pak, Bu, diagem mawon sandale.. (Pak, Bu, dipakai saja sandalnya)” ujarnya tergopoh-gopohsaat melihat kedatangan kami. Namun, Bapak melepas sepatunya dan kami bertiga mengikuti. Tampak ruang tamu yang lengang sekali, dan beberapa jajanan lebaran yang terhidang di meja.

Piyambakan, Mbah? (Sendirian, Mbah?)” Tanya Bapak memulai pembicaraan. Seperti keluarga lain padaumumnya, hari lebaran seperti ini adalah hari dimana semua keluarga berkumpul,yang jauh datang, yang dekatpun semakin merapat. Desa kami seolah diserbu oleh ratusan keluarga dari segala penjuru di desa ini. Sehingga, rumah-rumah yang tadinya sepi dan hanya berisi oleh orang tua menjadi taman bermain dan banyakanak kecil berlarian ke sana ke mari. Tapi hal itu tak kutemukan di rumah yang sedang kukunjungi ini.

Alah, pak.. Nggih duka,niku.. ajeng mantuk mboten..(Halah, Pak. Nggak tahu itu, mau pulang ataunggak)” Nenek itu tertawa hingga kelihatan giginya yang ompong, menjawab pertanyaan Bapak. Nenek itu mengatakan bahwa putra-putrinya belum jelas akan pulang atau tidak. Mungkin karena kesibukan, jarak, atau biaya. Ah, entahlah. Walaupun nenek itu tertawa, namun aku bisa menangkap gurat-gurat kesedihan yang terpancar dari matanya. Ya, mata tak bisa membohongi siapapun yang menatapnya. Dan aku mencermati kedua bola mata sayu itu. Ada sedikit kenangan, dan.. rindu. Ada rindu menggelombang di sana. Dan aku begitu yakin, saat kami berpamitan danpunggung kami tak terlihat, gelombang rindu itu akan pecah dan berubah menjadi genangan. Air mata.

Sing sabar, nggih mbah.(yang sabar ya, Mbah) ” 
Bapak menguatkan dan si nenek terlihat senang danseolah-oleh berkata, “I’m tottaly fine,Boy! No Problem.”

***
            Aaa… aku jadi tak tega. Sebelum aku melihat gelombang rindu itu berubah menjadi genangan di kedua matanya, aku sudah terlebih dahulu mengusap punyaku. Aku mendapat pelajaran yang berharga hari itu: Bahwa kasih orangtua memang sepanjang masa, dan tak pandang apapun. Dapat kulihat, betapa berharganya kehadiran seorang anak bagi orangtuanya. Sebesar apapun si anak, atau bahkan sudah tua pun, makaorangtuanya kan tetap menganggapnya sebagai anak kecil. Ya, mereka memberikan apapun sepenuh hati mereka, tanpa pamrih. Tak ingin berbalas.

            Maka, yang palingdiinginkan seorang yang sudah mencapai usia lanjut ini sungguh sederhana.Kebahagiaan anak-anak mereka adalah kebahagiaan mereka. Toh, mereka bekerjamati-matian juga untuk membahagiakan anak-anaknya.  Maka, sudah seharusnyalah di hari fitridimana tradisi keluarga berkumpul ini memang digunakan sebagai moment untuksaling bertemu; untuk melepas rindu.

            Saat itu akubertekad; aku takkan membiarkan hal ini terjadi pada Ibu Bapakku. Disaat mereka lanjut usia nanti, aku berharap bisa sering-sering mengunjungi mereka. Kaujuga, kan? Sesibuk apapun kita nanti, sejauh apapun jarak kita dengan rumahorang tua kita; sekalipun kita akan tinggal di luar negeri. Senyaman dan sebaikapapun kehidupan kita bersama jodoh kita, anak-anak kita, dan keluarga barukita nanti, Sepadat apapun urusan-urusan kita nanti: PULANGLAH! Sempatkanlahuntuk sekedar berbagi senyum dengan orang yang telah melahirkanmu dan berjuangmati-matian mempertahankan kelangsungan hidupmu, untuk sekedar berucap salamdan mencium kedua tangan yang telah membesarkanmu, menimang-nimangmu dan berusaha memenuhi segala kebutuhanmu. Pulanglah.. mereka rindu..

Ada dua pasang, atau sepasang mata sayu yang rindu akankepulanganmu..
Dimanapun kita, Sesukses apapun kita, Sekeren apapun kita, mereka adalah orangtua kita, yang tanpa beliau berdua, tak akan ada cerita-ceritatentang kesuksesan kita.. tentang tiap episode cinta yang mewarnai kehidupankita…

Rumah Cinta, 2 Syawal 1434 H/ 9 Agustus 2013
Bersama dinginnya udara desa, 20.46 WIB
Rizki A.M

Komentar