Aku ingin Kau Mengerti, Bahwa Menunggu Itu...


Aku membolak-balik novel yang baru kubeli kemarin, namun sudah kuselesaikan sejak satu jam yang lalu. Sebentar-sebentar aku melirik jam tangan silver berbentuk lingkaran pemberian kakak saat ulangtahunku beberapa waktu yang lalu. Masya Allah, sudah satu jam. Aku menghela napas panjang. Aku gelisah. Aku tak tenang. Aku memutuskan untuk mengambil air wudhu sebentar, karena kutahu, diri ini akan meledak beberapa saat lagi. Teringat sebuah hadits yang pernah kubaca. Jika engkau marah dalam keadaan berdiri, maka duduklah. Jika dalam keadaan duduk kau masih merasakannya, maka berbaringlah. Dan jika berbaringpun kau masih marah, segeralah berwudhu, lalu tunaikan sholat. Sejak satu jam yang lalu aku memang sudah guling-guling di kamar menunggu sahabatku menjemputku. Kami berjanji untuk pergi menghadiri sebuah diskusi kepenulisan di sebuah kampus. Satu jam yang lalu.

Gemericik suara air dari kran cukup menenangkan. Aku berwudhu dan rasa-rasanya semua kembali segar. Allah, terimakasih. Kukenakan kembali kaos kaki dan jaketku, bersiap menunggu sesi kedua. Kubuka Qur’an, mencoba melantunkan beberapa ayat sebelum sahabatku itu benar-benar datang. Aku tenggelam. 15 menit berlalu. Tak ada tanda-tanda. Kuakhiri bacaanku, dan kuraih handphone-ku. Update status sebentar, ah. Aku membuka aplikasi facebook dan menuliskan beberapa kata di sana.
“Kesabaran. Insya Allah berbuah kemanisan.”


Tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Sahabatku yang kutunggu satu setengah jam yang lalu. Fita sudah siap dengan helmnya.
“Ayo Put, udah siap belum?” tanyanya panik, melihati jam dinding dikamarku.
Aku berdehem. Aku sudah siap dari setengah jam yang lalu, Nona.
“Ayo, berangkat.” Kataku sambil menarik tangannya.
Fita menaiki motornya. Aku menyusul dibelakangnya, sambil mengenakan helm putihku. Fita, kenapa kau tak minta maaf lagi? Ah, sudahlah. Aku telah memaafkanmu.

***

Aku mengemasi buku-bukuku di perpustakaan. Sudah jam 10.10. saking gugupnya, beberapa buku terjatuh. Beruntung, seorang laki-laki membantuku mengambil buku yang jatuh itu.

“Buru-buru, Mbak?”
 “I-iya..” Aku fokus mematikan laptop. Mencabut charger dari stop-kontak, lalu menggulung kabelnya. Memasukkan semuanya ke dalam tas. Bersiap untuk lari menuju lantai 1 perpustakaan pusat universitas ini. Aku menatap lagi meja kerjaku. Tugasnya belum selesai. Ah, nanti  bisa dilanjutkan. Sekarang, ada janji yang harus ditepati terlebih dahulu. Aku bergegas.
“Bukunya, Mbak?” kata laki-laki itu.
Hwee.. iya.. makasih mas.” Aku langsung mengambil buku-buku yang telah susah-payah dirapikannya. Aku membungkukkan badan sedikit tanda terimakasih ala orang jepang. Si lelaki agak kebingungan.
Makasiiih, Mas.” Aku menoleh sekali lagi. Berharap supaya lelaki itu tak bingung.
“I-iya.” Kini gantian ia yang gugup. Ah, sudahlah. Aku melirik jam tangan silverku lagi. 10.15.
“Waaa....” tiba-tiba aku menjerit. Sampai di rak penitipan tas, aku langsung memasukkan barang-barangku. Lalu lari keluar tanpa peduli bahwa Bapak Penjaga perpustakaan mengamatiku.
“Hati-hati, Mbak.”
***

            Aku menarik napas dalam-dalam. Sudah di depan rektorat. Aku celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri. Fiuuh.. mana Fita? Kita berjanji untuk bertemu di sini jam 10 tadi. Ini sudah 10.15, sampai kupaksakan lari-lari dari perpustakaan universitas yang jaraknya memang tak terlalu jauh dari rektorat kampus. Aku menghela napas, lalu mencari tempat yang pas untuk duduk. Minum sebentar.

            Ah, Fita. Kenapa kau terlambat lagi? Mengapa kau terlambat bahkan di agenda yang kau buat sendiri? Aku tertunduk. Ini sudah bukan yang pertama. Ini kedua, ketiga, keempat, ah, mungkin ketujuh sudah seperti ini. Dan aku? Ini bukan kali pertama aku menunggumu. Ya, spesial menunggumu. Mengapa aku yang selalu saja menunggu, bukan kau? Astaghfirullah.. kenapa aku jadi menghitung-hitung kesalahan sahabatku sendiri seperti ini? Kubuang jauh-jauh pikiran yang sempat mengotori hatiku tadi. Sudahlah, Put.. lupakan.. maafkan.. mungkin ada hal lain yang lebih penting yang sedang dikerjakannya. Mungkin ada hal lain yang lebih mendesak..

“Putri..” suara itu. Alhamdulillah Fita datang.
Udah lama, Put?” tanyanya.
Enggak kok, Fit. Gimana, jadi cerita? Katanya mau ngajakin aku ngobrol? Ada masalah ya, Fit?” tanyaku khawatir.
Fita duduk disampingku.
“Tadinya iya, Put. Aku sempet galau dan mau cerita sama kamu. Tapi sekarang, masalahnya udah selesai. Aku sudah ada janji lain, nemenin Neni belanja di Toko Buku.” Fita tampak tenang.

Jedhuaarrrr!

Bagaikan petir yang menyambar disiang bolong.
“Ja..jadi.. nggak jadi ketemuannya, Fit?” aku terbata.
Nggak. Aku duluan ya, besok kita ketemu lagi.”
Fita meninggalkanku. Sendirian. Ujung jilbabku melambai sesekali, ditiup angin sepoi di halaman rektorat. Angin menjadi saksi bisu.
***

“Put! Tau nggak, aku udah 10 menit nunggu disini!” Fita tiba-tiba saja marah.
“A-aku, bener-bener lupa kalau kita janjian..” aku menunduk.
“Di hari sepenting ini?” Fita tampak galak siang ini.
“Ma- maaf Fit. Sekarang bisa, kan?” tanyaku pelan.
Fita meninggalkanku.

Ah, engkau Fit. Aku yang selalu menunggumu, tak pernah semarah kamu hari ini. Dan hari ini aku melakukannya padamu, meskipun cuma 10 menit. Maafkan aku, aku ingin kau mengerti. Semoga Allah meniupkan hidayah padamu. Maafkan aku.
-end-

Biodata Narasi Penulis:

Rizki Ageng Mardikawati. Mahasiswi Jurusan Pendidikan Fisika Universitas Negeri Yogyakarta angkatan 2011. Saat ini, Penulis aktif di HASKA JMF FMIPA UNY bagian Jurnalistik serta Media Jaringan CES Jogja. Pembaca bisa menghubunginya melalui facebook “Rizki Ageng Mardikawati” atau email:  rizkiagengmardikawati@gmail.com. Untuk membaca tulisannya, pembaca bisa mengunjungi www.edogawakeepsmile. blogspot.com



Komentar