Mengapa Saya Harus Menjadi Seorang Tutor?


Bismillaah..
Sesungguhnya, menuliskan ini adalah terlalu telat. Karena oprec tutor telah ditutup beberapa hari yang lalu. Tapi apa boleh buat, janji telah terucap.
Bermula percakapan saya dengan salah satu staff saya di haska.
“Mbak.. saya takut jadi tutor.. gak pantes..”
“Emm,,, pantes kok dek..nanti mbak bikinin note khusus tentang ini ya.”
“Iya mbak.. ditunggu”
Pelajaran: jangan berjanji kalau tak bisa menepati >,<
maafin mbak ya ^_^v

Namun, saya rasa, tulisan ini tak akan telat. Dan semoga saja, sembari kembali meng-olahragakan jari jemari yang kaku karena lama tak menulis ini, ada hikmah yang bisa diambil, ada manfaat yang bisa dipetik, ada hikmag yang semoga saja bermanfaat. Aamiin..

-MENGAPA SAYA HARUS JADI TUTOR-

Baru saja, kemarin diadakan Open Recruitment Tutor. Dan, baru saja di tutup kalau di Fakultas MIPA, lain lagi dengan fakultas lain. Ya, Tutor. Apa itu tutor? Seseorang yang duduk melingkar bersama sekitar 9-12 maba untuk bersama-sama mengkaji Islam lebih dalam. Ketika di UNY, matakuliah agama adalah 3 SKS, maka 2 SKS akan dilalui bersama Ibu/Bapak Dosen di kelas, sedangkan 1 SKS akan dijalani dengan mas/mbak tutornya masing-masing.

Apa yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata tutor?
ya, lima huruf saja. T, U, T (lagi), O, dan R. Sederhana kan?
Oh tidak. Tak sesederhana itu ternyata. Segera terlintas... Tutor.. guru mengaji.. Asisten.. Murobbi.. ya, apapunlah sebutannya..

Apa yang terlintas? Seorang pria muda berjenggot tipis yang membawa mushaf kemana-mana,  seorang mahasiswa yang membawa kitab tebal dan menebarkan senyum kemana-mana, seorang akhwat berjilbab lebar yang tergopoh-gopoh ke sana-sini karena padatnya agenda, ataukah seseorang yang punya banyak ilmu, -bagaikan kamus berjalan- yang bisa menjawab pertanyaan apapun? Ya. Segera bayangkan tutor kalian masing-masing ^_^

Dan sudah menjadi fitrah zaman, bahwa generasi-generasi yang sepuh harus digantikan oleh generasi-generasi yang muda, maka proses kaderisasi terus dijalankan. Ibarat mata rantai yang tak akan pernah terputus, maka jika kita berhenti, maka kitalah yang bertanggungjawab akan keterputusan rantai itu. Ibarat dakwah, kita bukanlah pemula, bukan pula penghujung, namun kita ada di tengah: untuk meneruskan, kembali melanjutkan.
Maka, ketika seruan itu (baca: Oprec tutor) digaungkan...
adakah keraguan itu masih ada di hatimu?
adakah kegalauan itu masih memenuhi ruang jiwamu?

saya pun merasakan hal yang sama denganmu, tenang saja. Dan kadangkala, keyakinan itu harus selalu diteguhkan. Harus selalu dicharge agar tak low baterainya..

“Mbak... saya belum pantes jadi tutor..”
“Ilmu saya masih dikit.. perlu dan harus belajar lagi...”
“Saya masih suka pakai jeans.. apa kata adik-adik saya nanti..”
“Mas, saya ini belum baik..”

Bismillaah...
Bukankah tak perlu menunggu menjadi baik untuk melakukan kebaikan? Lakukan kebaikan, maka kau akan mendapati dirimu baik. Lakukan perbaikan, maka kau akan mendapatinya dalam dirimu.
Bukankah ketika kita menasihati kebaikan pada orang lain, sesungguhnya kita sedang menasihati diri sendiri? J menjadi tutor itu menyenangkan, insya Allah. Ketika kita merasa diri kita belum baik, dengan menjadi tutor kita akan terpacu menjadi baik. Contoh kongkritnya nih ya, kita ngajakin adek tutor kita buat sholat dhuha setiap hari. Bukankah yang ngajakin harus melakukannya terlebih dahulu? Maka dengan menajdi tutor insya Allah spirit kebaikan selalu menghujam dalam diri kita. Masa mbak/mas tutor nyuruh adik2nya melakukan apa yang tak dilakukannya? Tengsin :D
tentu saja, niatnya bukan tengsin sama adek tutor, tapi sama Allah. Malu, lah 0.o

teringat kata murobbi saya yang kala itu meneguhkan hati yang sempat ragu ini,
“Dek, terbina itu tak cukup. Membinalah, agar selalu terbina. Selalulah terbina, selalulah membina...”
benar, terbina-dan-membina adalah hal yang tak akan terpisahkan. Maka jika kita telah mengazzamkan diri untuk membina, bukankah kita harus terbina terlebih dahulu?
***
teringat lembaran catatan yang diperoleh dari taujih Ustad Fatan fantastik saat Suplemen Tutor beberapa waktu yang lalu, kata beliau;

... Sesungguhnya orang-orang yang takut pada Allah hanyalah orang yang berilmu (Q.S fatir: 28)..

Sungguh, bukan kuantitas yang menjadi ukuran, namun kualitas. Maka, jika adik2 tutormu ada yang ogah-ogahan datang dan tak sungguh-sungguh berada dalam lingkaran kebaikan yang kau buat, tak apa.. hidayah itu sungguh milik Allah. Terus teguhlah membina yang masih ada, dan jangan bosan meluruskan yang belum pada tempatnya..

Sungguh, dien ini tegak oleh sedikit orang, bukan banyak orang. Jangan jadi burung emprit yang banyaknya bukan main, namun cerewet tiada guna. Cerewet, namun nyalinya ciut. Namun, jadilah elang yang gagah perkasa, memimpin di depan...

Jangan sampai kita kalah dengan orang-orang yang memiliki penyakit di dalam hatinya. Disaat mereka dengan bangganya mengepalkan tangan kiri dan berjuang mati-matian untuk melesakkan rencana buruk mereka, mengapa kita yang jelas-jelas menginginkan kebaikan dan menawarkan surga ini masih ragu dan malu-malu menunjukkan kebaikannya?
takut dikatakan sok alim?
Bukankah lebih baik dikatakan sok alim daripada sok kafir? Astaghfirullah..
Ikhlas, walau hanya sedikit yang memilih jalan ini.
kenapa? Agar tak sedih saat sedikit, agar tak sombong dan bangga ketika banyak.
Maka, dengan tegas katakanlah...
Saya yang memilih jalan ini (jalan menjadi tutor, aktivis dakwah. Red)
Sayalah yang akan tetap teguh walaupun yang lain satu persatu gugur!
Saya yang aka berjuang untuk agama ini..

-1 orang yang menjadi baik karena usaha kita lebih baik daripada 1 unta merah-

***
Saya kutipkan cuplikan dari risalah tutor yang saya terima setahun yang lalu ya, ^^ *kalau nggak salah buatan mbak Tis, ini sangat Jlebbb sekali :’)
Bismillah...
“Dalam naungan cahaya-Nya, semoga hati-hati yang senantiasa berusaha membaikkan diri seraya membaikkan yang lain ini senantiasa dalam cahaya-Mu”
Betapa jika berbicara sempurna...
Sungguh, sampai kapanpun kita tak akan pernah sampai ke sana...
Namun ya Allah Engkau Maha Tahu, kami hanya butiran-butiran debu yang berhimpun membangun istana-istana cahayaMu, mencoba menggores pelangi di hati-hati hamba-hambaMu yang lainnya dengan warna yang Kau suka...
Ya Allah, Engkau Tahu..
Apa adanya diri kami, kekurangan kami, tapi sungguh semoga ikhtiar saling mengingatkan ini, menjadi jalan bagi kami untuk senantiasa berlomba memperbaiki diri...
Hanya dengan cahayaMu,
Hanya dengan kasihMu...
Yang meyakinkan hati-hati kami, yang sempat ragu akan diri kami sendiri untuk memilih jalan ini...

Bismillah...
Memulai langkah ini..
Hanya dan Untuk Engkau..
(Risalah Tutor PAI FMIPA UNY)
***
‘afwan jiddan jika tulisan kali ini sama sekali tak beraturan. Jika teman-teman merasakannya, sungguh saya pun merasakannya. Banyak kekurangan , dan jauh dari sempurna. Namun saya tetap berharap, semoga tetap ada manfaat :’)

Mari jadi tutor, mari jadi hati-hati yang ingin melukiskan warna dengan warna yang Allah suka. Mari menjadi seseorang yang ingin membaikkan diri sendiri seraya membaikkan yang lain. Bismillaah.. semoga lurus, semoga lurus, semoga lurus..

karena Surga terlalu luas untuk kau huni sendiri..............

Yogyakarta, 5 Mei 2013
 01.20 WIB
didekat tumpukan kertas folio dan data praktikum yang belum usai,
Rizki Ageng Mardikawati

Komentar