Pemilik Kunci Surgaku


Oleh:
Rizki Ageng Mardikawati
Pendidikan Fisika 2011 FMIPA UNY
rizkiagengmardikawati@gmail.com


Suatu hari seseorang datang mendatangi Nabi. Ia menanyakan pada Nabi, “Siapakah yang harus kuhormati terlebih dahulu ya Nabi?” kata orang itu. Nabi menjawab, “Ibumu”. Lalu orang itu bertanya lagi, “Selanjutnya siapa, ya Nabi? “Ibumu.” Rasul menjawab. Orang itu mengulangi lagi pertanyaannya, “Setelah itu ya Nabi?” Nabi menjawab “Ibumu.”. Ia bertanya lagi, “Lalu, siapa lagi ya Nabi? “Ayahmu.”
***
            Pengalaman ini hanyalah secuil dari seluruh kenangan hebat yang kudapat dari sosok yang sangat kucintai. Orang yang sangat kusayangi. Orang yang sangat kuhormati. Seseorang yang namanya selalu kusebut dalam setiap penghujung sholatku. Seseorang yang selalu memberikan energi dan motivasi tersendiri dalam melanjutkan studiku dan berjuang demi masa depanku.

“Lagi ngapain, Nduk? Sehat to? Uangnya masih? Gimana sekolahnya?”
“Kapan pulang, Nduk?”


Dia, yang hampir setiap hari mengirimkan pesan singkat padaku. Sekedar untuk menanyakan kabarku: Sehatkah aku? Bahagiakah aku di sini? Adakah yang jahat padaku? Apakah ada keluhan dariku? SMS pendek yang mungkin sangat berarti bagi pengirimnya, karena ia sungguh memendam kerinduan yang begitu mendalam, namun jarang disampaikannya padaku. Karena sesungguhnya ia tahu betul bahwa jika ia mengatakan kerinduannya padaku, ia khawatir akan mengganggu belajarku. Dan payahnya aku, kadang aku mengabaikan SMS berharga itu. Saat aku sedang disibukkan oleh kegiatan dan menunda-nunda untuk sekedar membalas SMS berharga itu. Padahal di saat yang sama, saat teman-temanku menanyakan pekerjaan rumah, urusan organisasi, atau yang lainnya, aku cepat-cepat membalasnya. Bersegera. Tak ingin mengecewakan mereka.

Ya. Aku merantau sejak kelas 1 SMA, dan hanya pulang minimal seminggu sekali. Jika ada kegiatan full di organisasi yang kuikuti di sekolah, terkadang bisa sampai 1 bulan aku tidak bisa pulang ke rumah. Tentu kau paham kawan, bagaimana rasanya menjadi anak rantau. Kadang, kita merasa bebas karena tak terikat dengan orang di rumah. Kita juga dituntut untuk mandiri dan belajar mengatur uang. Satu hal yang tak dapat dinafikkan, kita akan selalu rindu pada satu dua orang. Orang-orang rumah.

Saat di rumah, ia yang selalu memperhatikanku itu selalu saja berkata panjang lebar. Tanpa sedikitpun aku meminta. Memberikan mutiara nasihat yang berisi harapan, anjuran, bahkan larangan. Bagaikan instruksi yang diberikan seorang komandan sebelum prajuritnya pergi berperang. Aku? Tentu saja manggut-manggut dalam diam, dan terkadang menimpali dengan gaya sok paham. Ia, yang selalu mengkhawatirkanku dimana saja aku berada itu, lalu dengan tergopoh-gopoh menyiapkan berbagai macam barang untukku. Menjejalkan banyak barang dalam tasku untuk bekal perjalananku sepekan dua pekan ke depan. Payahnya aku yang terkadang menolak niat baiknya itu. Berkata bahwa aku keberatan. Barang-barang ini tidak kuperlukan. Aku bisa membelinya di kos-kosan. Namun, ia bersikeras dan tetap memasukkan barang-barang itu. Pernah suatu hari ia menangis karena aku tak mau membawa bekal yang telah dibelikannya susah payah untukku. Aku selalu luruh, aku selalu leleh di hadapannya, sehingga urung untuk menolak lagi.

***

Suatu saat kawan, saat aku sedang memegang erat buku biologiku. Karena esok hari, ada ujian mengenai teori evolusi manusia. Saat itu aku sudah kelas 3 SMA, menjelang ujian akhir nasional. Sore itu, aku merasakan sakit perut yang luar biasa, dan kepalaku. Kepalaku, kau tahu? Rasanya seperti menahan bumi seisinya. Aku merintih. Sakit sekali rasanya. Pusing yang tak tertahankan. Selepas Isya’, aku tak kuat lagi. Masih menahan rasa sakit, aku pegang erat buku catatan biologiku. Mencoba membuka lembar-lembarnya, demi nilai itu kawan, tak sekedar nilai, tapi nilai halal, karenanya aku harus bersungguh-sungguh. Begitulah pesan yang selalu kuingat. Kau tahu kawan? Tak hanya nilai yang kita cari, namun keberkahan dan keridhoan Tuhan sesungguhnya lebih hakiki.

Masya Allah Rizki.. 40 derajat!” Seorang teman kos mencoba mengukur suhu badanku saat itu. Aku tergolek lemah tak berdaya. Ya, rasanya memang panas sekali. Sangat panas. Aku tak kuat, namun kupaksakan tersenyum.
“Aku baik-baik saja kok. Paling demam biasa”
Temanku itu menggeleng cepat. Tak percaya.
“Ada baiknya kau menelepon orang rumah. Meberitahukan keadaanmu saat ini.”

Aku menggeleng kuat. Memberikannya kabar mengenai kesakitanku? Tidak! Aku tak ingin membuatnya khawatir. Sedikitpun! Aku sehat, aku kuat, aku siswa yang tangguh! Aku tak gampang sakit! Begitu janjiku dulu saat mencium kedua tangannya sebelum berangkat ke tempat rantau. Ego ini masih saja merajaiku. Aku menggeleng kuat. Namun temanku segera meraih handphoneku, lalu pergi meninggalkanku. Jari jemarinya mulai menekan tuts - tuts yang menghasilkan suara berdencit. Aku tak berdaya, aku pasrah. Panas ini semakin menjalar. Mukaku merah, mungkin tubuhku juga. Yang kurasa hanyalah panas, panas, dan panas. Ya Rabbi.. aku tidak kuat lagi…

Malam itu kawan, hujan deras. Petir menyambar di mana-mana. Namun tak kurasakan dingin sedikitpun, karena kurasa memang hanya panas di  sekujur tubuhku. Teman-teman se-kos ku berkumpul di kamarku, saling berpandangan, lalu bergantian memijiti. Menyuapi. Air mataku menetes satu persatu. Terharu.

Tak berapa lama kemudian, tepat saat adzan isya’ berkumandang. Seorang wanita setengah baya tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamarku. Orang itu. Tubuhnya yang dibalut jaket tebal basah. Kehujanan. Helm masih melekat di kepalanya. Tubuhnya menggigil, kakinya gemetaran. Sambil membawa rantang-rantang berisi makanan, segera ia menghampiriku. Wajah itu.. wajah yang sangat kukenal. Wajah yang pertamakali kulihat saat aku mengenal dunia ini, wajah yang begitu tabah, dan matanya basah! Ia menangis, Kawan! Ia memandangiku. Lalu tiba-tiba menangis sesenggukan. Lalu ia menciumi keningku berkali-kali. Hatiku luruh seketika. Aku tak bisa berkata apapun. Aku leleh!

Tiba-tiba temanku berteriak.
Ambulance datang! Ayo segera!”

Teman-teman yang lain sigap. Segera mengambil bantal dan selimut. Ada yang mengemasi bajuku dan memasukkannya dalam tasku. Sisanya pergi ke depan untuk melihat ambulance. Wanita itu tergopoh segera meraih tubuhku, mencoba menuntunku menuju mobil itu. Namun aku tak kuat, sehingga teman-teman kosku itu langsung berhamburan menghampiri, membopongku menuju ambulance.

Ini kali pertama aku menaiki mobil putih bernama ambulance. Sepanjang perjalanan dalam ambulance, mataku terus mengerjap-ngerjap. Aku tak bisa berkata apa-apa, tapi air mataku terus mengalir.memandangi wajah wanita itu, yang saat itu sedang menggenggam erat tanganku dengan pandangan lekat. Di sampingnya, seorang pria berjenggot tipis. Pria yang paling tegar di muka bumi. Pria yang paling keren di mataku.

***

“Dek Rizki harus rawat Inap Bu.” Kata seorang pria muda berbaju putih dan berkaca mata itu. Tak lupa, senyum santun mengiringi perkataannya.
“Berapa lama, dok?” Wanita itu tampak khawatir, sambil sedikit-sedikit menatapku.
Insya Allah minimal 3 hari, Bu. Dek Rizki perlu istirahat sebentar. Di sini, suplai obat dan gizi akan terpenuhi untuk mengembalikan kestabilan tubuh dek Rizki.” Kata pria muda yang dipanggil dokter itu.

Wanita itu saling berpandangan dengan pria keren berjenggot tipis.  Suaminya. Seakan berdiskusi sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk mengatakan “Ya” pada sang pria muda.

Pria muda berbaju putih tersenyum, membetulkan posisi kaca matanya. Seorang perempuan muda berbaju putih dengan topi putih di atas jilbabnya mendorong matras roda tempatku berbaring menuju kamar pasien. Melati C-10. Lalu dengan hati-hati membimbingku untuk pindah ke ranjang kamar itu. Ah, bau rumah sakit, aku menutup hidungku.

Aku memandangi langit-langit kamar. Kamar itu berukuran 2x2. Hanya ada satu ranjang, yaitu ranjang yang kutempati kini. Wanita setengah baya itu mencium keningku, lalu mengelus-elus kepalaku. Tak ada sepatah kata yang diucapkannya, namun butiran air mata yang jatuh dari matanya sudah cukup untuk merepresentasikan isi hatinya di hadapanku. Aku memeluk tubuhnya erat-erat, ia menolak. Bajunya masih basah kuyup. Aku sesak, ikut menangis. Beliau berdua bahkan masih mengenakan baju basah, karena beliau berdua langsung berangkat dari rumah begitu mendengar kabar dari teman kosku bahwa aku sakit. Mereka rela menempuh perjalanan selama dua jam dengan mengendarai sepeda motor dan dalam kondisi hujan deras. Belakangan aku tahu bahwa saat itu mereka juga sedang berpuasa sunnah, dan belum sempat membatalkan puasa hingga pukul 9 malam.

Wanita itu membelaiku hingga aku terlelap. Saat aku terjaga, kulihat beliau berdua tertidur di lantai hanya dengan beralaskan tikar. Aku menangis.Ya Rabbi, dosakah aku? Beginikah caraku membalas tulus cinta mereka? Saat itu aku berdoa, agar keduanya selalu diberikan kemudahan dan kebaikan dalam setiap langkah kehidupannya.

Hari-hari di rumah sakit terasa begitu monoton dan asing, namun dengan kehadiran mereka berdua, wanita setengah baya dan pria keren berjenggot tipis, aku merasakan nyaman yang luar biasa. Saat banyak teman-temanku berdatangan untuk menjengukku, mereka mengalah untuk pergi keluar kamar. Bercengkerama dengan keluarga pasien di samping kamarku. Teman-temanku silih berganti berdatangan. Teman kos, teman main, teman organisasi, teman kelas, dan masih banyak lagi. Wanita setengah baya dan pria keren berjenggot tipis itu selalu menyambut teman-temanku dengan sebaik-baiknya. Hingga hari terakhirku di rumah sakit, mereka tetap menemaniku. Bahkan saat jarum infus dicabut dan tanganku mengeluarkan darah, wanita itu memeluk erat tubuhku.

Ya, kawan. Wanita itu sungguh luar biasa. Pun pria yang menjadi suaminya. Tahukah engkau, bahwa tanpanya aku tak mungkin melihat indahnya dunia. Aku tak dapat mengenalmu, mengenalnya, dan mengenal mereka. Tanpanya, tak mungkin saat ini aku dapat menuliskan kepingan episode hidupku: untuk kubagikan pada kalian. Dia, wanita luar biasa itu, maukah engkau tahu siapa dia sebenarnya? Dia orang yang pertama kali mengajariku menuliskan huruf, ia yang selalu mengajariku banyak hal. Dia yang selalu bangun malam-malam, untuk meminta pada Tuhannya bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk kebahagiaan anak-anaknya. Dia yang selalu menemani kita saat kita merasa sendirian.

Ya, wanita itu adalah wanita yang telah melahirkanku. Bahkan, waktu melahirkanku dulu, ia benar-benar mempertaruhkan nyawanya. Ia kehabisan darah, karena melahirkanku. Tak peduli walau ia harus mengalami pendarahan yang luar biasa, sehingga harus dirujuk ke rumah sakit lain untuk mendapatkan pertolongan yang lebih intensif. Wanita pemilik kunci surga untuk anak-anaknya. Wanita yang luar biasa itu… ia adalah Ibuku.

Kawan, jangan lagi kita sakiti hatinya. Jangan pernah membuatnya sedih ataupun kecewa. Pernah dengar sebuah hadits yang menyatakan bahwa ketika seorang anak manusia meninggalkan dunia, ada 3 amalan yang tak akan putus? Amalan pertama, shodaqoh jariyah. Kedua, ilmu yang bermanfaat, dan yang terakhir adalah anak sholeh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Kawan, sungguh aku ingin menjadi bagian dari anak sholeh itu, sehingga aku dapat membantu Ibu Bapakku di yaumil akhir nanti.

Ibu, maafkan aku yang sering membuatmu sedih dan khawatir,
Ibu, maaf belum bisa menjadi apa yang ibu inginkan.
Ibu, terimakasih atas semua yang telah kau berikan.

Kau memberikanku hidup, Kau menberikanku kasih sayang,
Tulusnya cintamu, Putihnya kasihmu
Takkan pernah terbalaskan….
Hangat dalam dekapanmu, Memberikan aku ketenangan
Eratnya pelukmu, nikmatnya belaianmu
Takkan pernah terlupakan…
Oh ibu... terimakasih untuk kasih sayang yang tak pernah usai
Tulus cintamu, Takkan mampu untuk terbalaskan
Oh ibu… Semoga Tuhan memberikan kedamaian dalam hidupmu
Putih kasihmu kan abadi dalam hidupku…
(Ungu, Doa untuk Ibu)

Ibu.. Aku Mencintaimu!
Aku Mencintaimu Karena Allah!
Bolehkah aku mengambil kunci surga itu dari telapak kakimu, Bu?

NB: Cerpen ini saya persembahkan untuk orang yang paling menginspirasi hidup saya, dia yang tak pernah lelah dan tak mengharap pamrih sedikitpun atas kebaikan-kebaikan yang telah diberikannya. Pengalaman-pengalaman dengannya adalah sesuatu yang tak akan pernah terlupakan dalam hidupku. Ibu, aku mencintaimu. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang berlipat ganda.

*Cerpen ini merupakan finalis 10 besar dalam Lomba Menulis Cerpen Inspiratif (LMCI)
Himpunan Mahasiswa Pendidikan IPA Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2012


Komentar