Cerpen: Bersyukurlah, Berbahagialah*



Oleh : Rizki Ageng Mardikawati                                    

Pendidikan Fisika Subsidi 2011 FMIPA UNY 
Akhir Mei 2011
“Met, Gimana.. SNMPTN Undangannya? Aku nggak diterima nih .. sedih..”
Kubaca sms dari Rena. Hmm.. Rena nggak diterima. Aku bagaimana ya? Aku melirik jam dinding di tengah kamar.  Pukul 19.15 WIB rupanya.
Triiing… Handphone-ku berbunyi lagi. SMS. Dari Sita. Lalu Ihsan.
“Met, gimana hasilnya? Alhamdulillah Aku diterima Met.. Hubungan Internasional UGM..”
“Met, ini Ihsan. Alhamdulillah aku di psikologi UI nih, kamu gimana?
Hmm.. Sita diterima. Ihsan juga. Di universitas terkenal pula. Wajahku tiba-tiba berubah jadi cerah, secerah baju warna pink yang sedang kukenakan. Ah, Sita aja diterima, Ihsan juga. Aku pasti juga diterima, aku kan peringkat kelasnya ada di atas mereka. Sumbarku. Astaghfirullah.. aku nggak boleh sombong!
Namun aku tetap tersenyum penuh kepercayaan diri, lalu kulangkahkan kaki ke warnet terdekat. Kuaktifkan komputer, kubuka browser. www.snmptn.ac.id. Kumasukkan nomor pendaftaranku. Hmm.. kemenangan akan segera tampak. Lagi-lagi suara sesumbar itu datang lagi. Entah darimana. Lalu aku memainkan mouse. Klik. Tampak tulisan  besar cetak tebal berwarna merah di layar komputer yang berkedip-kedip : MAAF, ANDA BELUM DITERIMA. Aku melorot dari kursiku. Hampir terjatuh. Memandangi langit-langit warnet. Kurasa langit-langit yang tadinya berwarna biru berubah menjadi hitam. Dua ekor cicak yang sedang berkejaran seakan melihatiku dengan sorot mata kasihan. Lalu sorot mata itu berubah menjadi tawa. Tawa jahat. Dan mereka tertawa. Menertawaiku yang melorot dari kursi tak berdaya. Bilik warnet terasa semakin sempit. Oh tidak! Dinding itu rasanya mau menghimpitku. Tolong! Tolong! Aku mulai menjerit-jerit. Lalu aku merasakan sekelilingku berwarna kuning. Berubah menjadi abu-abu, lalu hitam. Gelap.

Awal Juli 2011
Tik tik tik.. Jarum di jam dinding berdetak kencang. Pukul 19.15 WIB. Namun, detakan dalam jantung ini terasa lebih kencang. Sekencang pesawat jet yang sedang melaju. Sekencang lari kuda-kuda yang menarik dokar di kota kabupaten. Tidak. Tidak sekencang itu, tapi ini lebih kencang! Ya Rabbi.. hari ini pengumuman SNMPTN jalur tertulis. Kulirik handphoneku. Ada 5 sms yang belum dibaca. Lalu bertambah menjadi 10, 25, lalu 40. Ah, aku belum ingin membacanya. Karena aku tahu pasti, apa isinya. Itu pasti teman-temanku yang menanyakan hal yang sama: Hasil SNMPTN Tertulis. Aku menghela napas panjang, mengerjap-ngerjapkan mata. Aku belum siap. Aku belum melihat pengumuman. Oh tidak, lebih tepatnya belum ingin melihatnya. Aku tak ingin mengulangi kejadian beberapa minggu yang lalu. Sungguh, aku berusaha untuk mengikhlaskannya, namun rasa itu tetap ada. Merasa tak adil. Merasa aku belum mendapatkan apa yang seharusnya kudapat. Mengingati kerja kerasku selama ini. Kejujuran dalam menjalani tes dan lain sebagainya.
Nduk, lihat pengumuman sana.” Suara Ibu memecah keheningan.
Hmm.. iya Bu. Meta ke warnet sebentar ya.” Aku seperti langsung mendapatkan pencerahan. “Ehm.. sholat Isya’ dulu ya Bu.. biar lebih tenang.. hehe..” Dengan agak gontai aku menuju kamar mandi untuk wudhu. Ya Rabbi.. apapun keputusanmu aku ridho. Seketika tubuhku mendadak lemas. Rasanya.. seperti tak bertulang! Ya.. aku lemas selemas-lemasnya. Ya Allah tolonglah hambaMu yang lemah ini…
Seusai sholat aku kembali menghela napas. Menatap langit-langit kamar. Ya Rabbi.. jika Engkau yang memilihkannya untukku, aku ridho.. pilihan berapapun. Pertama atau kedua. Ya Rabbi.. berikanlah yang terbaik buat hamba. Jikapun kali ini aku belum lolos lagi, aku sudah ikhlas. Tes. Air mataku mulai jatuh. Howaaa.. segera kuhapus cepat-cepat. kupanjatkan doa dalam hati terdalamku, meskipun aku juga sangat berharap kali ini aku berhasil.
“Meta berangkat ya Bu.. Assalamu’alaykum” aku mengayuh sepeda kuning kesayanganku. Menuju warnet di dekat kantor kecamatan. Dalam perjalanan, air mata ini terus menetes. Langitpun tiba-tiba mendung. Beberapa butiran airnya mengenai tubuhku. Seakan mereka turut berduka. Seakan mereka tahu apa yang sedang bergemuruh dalam dadaku saat ini.
Kuparkir si kuning, lalu aku masuk warnet. Hujan turun deras sekali. aku menggigil dan melepas sendalku. Si mas penjaga cengar cengir senang. Ada pelanggan. Kubalasan cengirannya dengan meringis kedinginan. Menuju bilik warnet dan membuka browser. Kembali menuliskan alamat yang sama seperti satu bulan yang lalu. Web SNMPTN. Kumasukkan nomor pendaftaranku. Tanganku bergetar. Napasku tercekat. Tegang. Keringat dingin. Sekan-akan bumi berhenti sejenak. Menyaksikan kegalauanku. Menantikan rencanaNya untukku. Ya Rabbi.. hamba tak kuasa melihatnya. Perlahan-lahan otakku memerintahkan saraf-saraf untuk menggerakkan tanganku: meraih mouse lalu menekan sebuat tombol yang akan menjadi titik penentuan malam ini. Bismillahirrahmanirrahim.. klik. Tulisan besar berwarna merah? Oh tidak… kali ini tulisan cetak tebal itu berwarna biru! Ya! Tulisan berwarna biru, times new roman ukuran 24. Dan ia berkedip-kedip. Kumpulan huruf itu terbaca. Aku tak percaya. Kuucek lagi mataku untuk meyakinkanku. SELAMAT! ANDA DITERIMA DI PENDIDIKAN FISIKA-UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA.
Eh? Pilihan kedua ya? Nggak jadi di pendidikan Dokter nih? Rasa dalam hati bercampur-campur. Nano-nano. Sulit untuk kukatakan. Antara senang dan kecewa. Aku sujud syukur… Ya Rabbi. Maafkan hamba. Perasaan macam apa ini? Met.. tenanglah Meta.. tenang! Hatiku seolah-olah membisiki. Meskipun bukan pilihan pertama, yakinlah Met, pasti Dia punya rencana. Dan rencanaNya, tentu lebih indah dari rencanamu! Suara itu semakin kencang bergemuruh dalam pikiranku. Namun langit-langit warnet tak berubah jadi hitam: ia tetap biru.
*****
Suatu saat kau kan mengerti.. Siapa yang paling mencintai, dalam mihrab cinta kuberdoa pada-Nya.. semoga.. semoga..
 “Astaghfirullah..!”
Aku terkesiap. Terkejut. Lalu mengucek-ngucek mataku. Perlahan-lahan ku ambil handphone-ku, kumatikan alarm-nya dan kulihat pukul berapa saat itu. Pukul 04.30. Dingin sekali. sepi sekali. Berbeda dengan Yogyakarta yang sudah ramai sejak dini hari sampai tengah malam. Hingga banyak yang menjuluki Yogyakarta, kota yang tak pernah tidur. Ya. Yogyakarta. Sekarang aku sudah jadi seorang mahasiswa. Ya.. di sebuah universitas negeri di sana. Sebuah pilihan yang dulu memakan waktu berhari-hari untuk memutuskannya. Untuk mengambilnya. Untuk pada akhirnya menetap dan memilihnya.
Oh iya, aku baru ingat. Kalau hari ini aku telah berjanji via sms dengan teman-teman semasa SMA dulu. Hari ini kami janjian untuk bertemu di depan SMA. Aku rindu! Hmm..Tak sabar rasanya untuk kembali menyapa wajah-wajah sahabat perjuanganku nanti.  Kini kami sudah tersebar dimana-mana. Aku di sebuah universitas negeri di kota pelajar, Yogyakarta. Temanku yang lain di Semarang, Surabaya, Solo, Malang, dan kota-kota lainnya. Ya. Tersebar tak berarti bubar.
Seusai sholat dan mempersiapkan diri, tak lupa berpamitan pada orang tua, aku menuju halte bus. Sebuah bus berhenti dan aku menaikinya. Alhamdulillah 2 jam tak terasa. Aku turun dari bus lalu melihat sekeliling. Mencari-cari sahabat-sahabatku. Oh itu dia.. lima orang berkumpul sudah. Kami berpelukan, saling menanyakan kabar.  Kami saling bertukar cerita, menanyakan bagaimana keadaan di tempat yang baru. Tempat masing-masing. Lain daerah, tentu beda warna. Beda warna artinya beda cerita. Satu persatu teman-temanku menceritakan tentang bagaimana keadaan mereka. Kehidupan mereka. Prestasi dan capaian-capaian mereka. Tentu saja, bukan untuk saling membanggakan diri, tapi kami saling memotivasi. Agar sama-sama maju. Agar tak tertinggal sedikitpun dari yang lainnya.  Usai reuni, aku pulang. Naik bus lagi. Pikiranku masih saja melayang. Aku teringat perkataan Rani sebelum kami naik bus. Ya Rabbi, kenapa kepikiran lagi? Bukankah kemarin aku sudah berjanji untuk mengikhlaskannya dan menetapkan pilihanku disana?
“Met, kamu nggak ikut SNMPTN lagi?” tiba-tiba Rani menanyakan hal itu padaku. Tadi, sebelum naik bus. “Nelsa sekarang di pendidikan dokter di universitas negeri lho. Kamu nggak nyoba lagi? Kamu kan pinter, Met. Sayang.”
Saat itu, dan kini kembali merasakan hal yang sama : Galau. Aku mengalihkan pandanganku ke kaca bus. Melihat rumah-rumah penduduk. Hmm,.. dokter ya. Pilihanku waktu SNMPTN Undangan kemarin dan pilihan pertamaku di SNMPTN Tulis. Cita-cita masa kecilku, dan kini, tentu saja masih ku pelihara hingga kini. Dokter. Universitas Ternama. Terkenal. Namun, aku sudah bisa mengendalikan situasi seperti ini, karena hal ini sering terjadi padaku. Pertanyaan itu. Soal pindah jurusan. Soal mengapa aku memilih bersikukuh untuk tetap berada di program studiku saat ini, dan universitas tempat aku menuntut ilmu saat ini. Guru-guruku, sempat terkejut ketika mendengar aku memilih ini. Walaupun tak sedikit yang mendukungku. Teman-temanku, menyayangkan hal ini. Kenapa aku tak mengambil yang grade-nya lebih. Yang prestise-nya lebih. Tetangga-tetanggaku sering menanyakan, “Kenapa milih Fisika? Kenapa mau jadi Guru?” dan itu semua sering kujumpai dalam perjalananku. Ya Rabbi.. hamba ingin ikhlas… hamba sudah memilihnya.. Dadaku kembali bergemuruh. Gemuruh yang sama saat aku melihat pengumuman beberapa waktu yang lalu.
Tiba-tiba, naiklah seorang pengamen di dalam bus. Ia tersenyum dan menunduk santun pada semua orang di dalam bus sebelum mulai memainkan gitar usangnya. Seorang pemuda. Ya, masih sangat muda. Kukira usianya sama denganku. Oh tidak, bahkan lebih muda. Suaranya bagus. Lagu yang didendangkan pun cukup memotivasi, lagu-lagu milik Ebiet G.Ade. Nampaknya, ia begitu bahagia dan menikmati setiap dentingan nada dari dawai gitar yang dipetiknya. Resonansi. Sebuah konsep fisika.  Sangat indah. Ah, dia tampak bahagia sekali dengan keadaannya yang seperti itu. Seusai mendendangkan dua buah lagu, ia mengatakan pada seluruh penumpang bus. Usai menjalankan aksinya, 3 buah lagu yang sangat indah nan memukau, ia duduk di bangku paling belakang. Tepat di sampingku. Nampaknya si pengamen sudah sering menyanyi di bus tersebut. Itu terlihat dari caranya bercanda dengan pak Kondektur bus: sudah akrab.
“Mbak, mbak anak kuliahan ya?” tiba –tiba pengamen itu menanyaiku.
“Eh, iya. Iya, saya mahasiswa semester 2, sebentar lagi 3.” Aku tergagap
Wah, enak ya mbak. Jadi anak kuliahan.  Jurusan apa mbak?”
Ehm.. pendidikan Fisika.” Lirihku. Matanya langsung berbinar-binar.
Wah, enak banget ya mbak kayaknya jadi anak kuliahan itu. Saya selalu terpesona kalau liat gaya bicara dan prestasi-prestasi mereka di tivi toko bu Parmi. Kapan ya saya bisa seperti itu. Tapi saya juga sedih sih kalau lihat ada mahasiswa yang tawuran atau nggak sungguh-sungguh kuliah. Padahal mereka udah dikasih kesempatan sama Tuhan.” Ia menghela napas cukup lama.
“Ya itu mbak, saya inginnya mahasiswa itu bener-bener jadi tonggak perubahan bangsa ini, kaya Mei 1998 itu mbak, kan keren ya. Indonesia banyak kerusuhan mbak, saya takut kalo nggak ada mahasiswa nanti bisa-bisa Indonesia hancur. Apalagi jurusan mbak itu, pendidikan ya? Jadi seorang pendidik itu pasti pahalanya banyak. Lha wong bikin banyak orang jadi pinter.” Lanjutnya. Aku tertegun. Mata itu memancarkan cahaya. Kejujuran. Dan itu tidak dibuat-buat.
“Mbak, saya pamit dulu ya mbak. Kuliah yang rajin ya mbak. Wah, saya kudu lebih rajin ngamen sama jualan tahu asin nih. Biar cepet dapet duit, terus bisa kuliah deh. Biar bisa jadi mahasiswa yang keren. Bisa bikin Indonesia bahagia. Assalamu’alaykum!!!” Setengah berlari, Pengamen itu berteriak dan tersenyum. Turun dari bus. Kepolosan. Kejujuran. Ketulusan, dan Kebahagiaan.
“Wa.. wa.. wa’alaykumussalam wa rahmatullah..” aku seperti tak percaya. Aku tertohok. Dia, yang hanya seorang pengamen bisa mensyukuri hidupnya. Pertemuan ini, kejadian hari ini… adakah ini teguran dariMu untukku yang kurang bersyukur ini? Ya Rabbi… maafkan hambaMu yang lemah ini…
Ya. Daun yang jatuh di tanah pun atas izinNya. Semua pasti telah dituliskan. Sudah direncanakan. Tentu saja, setelah berikhtiar, tidak ada kata kebetulan. Betapa dulu diawal aku sempat merasa sedih, merasa terpojok dan merasa diperlakukan tak adil. Karena jurusanku. Betapa aku tak mensyukuri nikmat-Nya. Aku tersadar, bahwa cintaNya melebihi segala-galanya. Allah lebih tahu apa yang kita butuhkan, Ia lebih tahu apa yang sebenarnya kita inginkan. Lalu.. kenapa aku tak juga bersyukur? Ya. Tak ada alasan untuk tidak bersyukur untuk hari kemarin, saat ini, dan nanti. Insya Allah. Bukankah jika kita bersyukur, maka Dia Yang Di atas sana akan menambahkan nikmatNya untuk kita?
            Ya. Walaupun hati ini sempat tergoda pada awalnya. Ketika melihat IP semester satu-ku yang hanya lebih sedikit dari angka tiga. Diri ini pun sempat bertanya-tanya: apakah aku salah jurusan? Apa aku harus pindah? Ya. Rasa itu pasti ada, kawan. Namun kini, kurasa itu tak akan menjadikan penghalang. Motto Man jadda wajada-ku kini mulai berapi-api. Ya. Siapa yang bersungguh-sungguh ia pasti akan mendapat. Bukankah Allah telah menunjukkan tanda-tanda yang Luar Biasa? Aku menjumpai teman-teman yang baik di tempatku saat ini. Lingkungan yang mendukung. Suasana yang kondusif. Alhamdulillah, IP semester dua  pun juga naik. Lebih baik dari hari kemarin. Nilai-nilai yang agak kurang pun, telah aku coba untuk memperbaikinya. Perlahan tapi pasti. Aku yakin aku bisa. Bukankah itu sebuah pertanda hebat yang tentu saja dari Sang Maha?
            Bahagia itu sederhana, kawan. Ya, jika kita mau bersyukur. Bahagia itu berbeda dengan rasa senang. Rasa senang, mungkin hanya kita rasa di awal saja. Namun bahagia, ia adalah suatu hal yang pasti. Ia menyejukkan hati. ia menenangkan jiwa. Bahagia itu sederhana, jika kita mau melihat potensi kita.
            Kini kumantapkan dalam hatiku. Jurusan ini adalah pilihanku, dan aku akan terus maju. Bukankah yang terpenting bukanlah dimana kita, namun bagaimana kita? Ya, kawan. Jika kita mau bersyukur, kita akan bahagia. Karena bahagia sungguh perkara yang sederhana, sebab cintaNya begitu luar biasa.

*Cerpen ini merupakan nominasi 2 besar Lomba Cerpen dalam acara Dies Natalis Himakimia UNY tahun 2012

Komentar

Posting Komentar

Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-