MASA MUDA

MASA MUDA

“Gimana, Ham?” Ilham tergugu diam. Malam ini dia harus mengerjakan tugas Kimia. Namun ajakan Aji, Ihsan, dan Danu sungguh menggoda. Mereka mengajaknya untuk nonton bioskop sore ini ba’da maghrib.
“Emm… Gimana ya…” kata Ilham sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Ayolah, Ham… sekali ini saja..” bujuk Aji.
Ilham berpikir sebentar sebelum mengatakan sesuatu.
“Hmm…okelah… nanti sore ya…”
“Gitu dong, Ham.. kita kan prend!!!” sorak Aji, Ihsan, dan Danu.

……………………………

Yah, susah memang bagi Ilham untuk menolak keinginan ketiga sahabatnya itu. Ya. Aji, Ihsan, dan Danu. Dari kecil mereka sudah bersahabat . Ayah ibu mereka juga bersahabat, sebelum akhirnya Ayah dan Ibu Ilham dipanggil oleh Yang Di Atas karena tersapu tsunami saat menjadi sukarelawan di Aceh beberapa waktu yang lalu.

Mereka sahabat. Ilham, Aji, Ihsan, dan Danu selalu satu sekolah. Dari masa-masa paling lucu di TK, masa-masa sok tahu di SD, masa coba-coba di SMP, bahkan sampai masa-masa mencari jati diri di SMA saat ini. Walaupun mereka telah tumbuh menjadi remaja yang tampan dan cerdas. Walaupun Danu dulu menjadi anggota geng anak-anak nakal di SMP. Walaupun Ihsan suka gegabah mengambil keputusan dan sering bolos karena diajak teman sekelasnya. Walaupun Aji malas belajar dan acuh tak acuh. Namun Ilham percaya. Mereka anak-anak baik. Dan aku tetaplah sahabat mereka sampai kapanpun, gumamnya.

Sebagai seorang sahabat, rasanya sulit sekali menolak ajakan sahabatnya. Selama ini Ilham mengiyakan saja ajakan sahabat-sahabatnya, selama belum bertentangan dengan hati nuraninya. Ya, contohnya seperti ajakan untuk nonton bioskop sore ini. Tentu Ilham punya alasan untuk menuruti ajakan tersebut. Ia langsung pulang ke rumah dan mengerjakan tugas Kimianya. Alhamdulillah, sebelum ba’da sholat maghrib, tugasnya rampung sudah. Dengan hati yang tenang ia dapat nonton bioskop: detective Conan yang amat mereka sukai.

………………………………

“Ham.. aku pinjam HP kamu ya…” Ihsan terengah-engah pada suatu pagi.
“Lho, HP kamu kemana, San?” dahi Ilham berkerut tak mengerti.
“HP aku disita sama Bu Guru, Ham..”
“Kenapa, San?”
“Em…. Aku ketauan SMSan waktu jam pelajaran, Ham. Please, pinjemin aku sebentar aja. Aku mau bilang Mama buat ngirimin aku HP yang baru. Padahal Mama sama Papa pergi ke Australi dan nggak pulang-pulang sampai sekarang. Mereka nggak peduli sama aku, Ham… Cuma lewat HP aku bisa berkomunikasi sama mereka..”

Ilham tetunduk. Sebenarnya ia juga perlu HP satu-satunya yang dibeli dengan uang tabungannya sendiri itu. Yah, tapi apa boleh buat. Mungkin Ilham lebih memerlukannya untuk saat ini. Ihsan tampaknya memang kurang kasih sayang karena kedua orangtuanya adalah pengusaha sukses yang sangat sibuk. Pertemuan mereka dalam setahun pun dapat dihitung dengan hitungan jari saja. Kemudian ia memberikan HP kesayangannya tersebut pada sahabatnya.

“Makasih, ya Ham… kamu baik banget… aku janji bakal cepet ngembaliinnya.” Kata Ihsan riang.

Namun apa yang terjadi? Kejadian yang sama terjadi lagi. Ihsan ternyata menggunakan HP Ilham untuk ber-SMS saat jam pelajaran lagi. Alhasil, Bu Guru langsung menyita HP tersebut.

Saat pulang sekolah, Ihsan mengatakannya pada Ilham. Ilham terkejut mendengar berita HPnya juga disita.

“Ham, sorry banget. Aku janji HP kamu bakal balik. Kalo’ nggak balik, aku janji bakal beli HP baru buat kamu.”

“Eng… sebenarnya bukan aku nggak rela, San. Itu Hp yang aku beli dengan tabungan aku sendiri. Bukan harganya yang aku lihat, tapi nilai kerjakerasnya.. Namun, tak apalah, San. Aku rela kalo’ nggak pegang HP dulu, kok.” Kata Ilham sambil tersenyum dan berusaha sabar.

“Makasih ya, Ham…” sambut Ihsan senang.

……………………….

Siang itu Danu memanggil Ilham, Ihsan, dan Aji.
“Ada apa nih, Dan?” sapa Aji
“Aku ada proyek nih, tadi aku ketemu sama ketua geng Bellix dari SMA sebelah. Mereka ngajakin aku gabung. Penampilan mereka sebenernya serem, sih.. tapi keren juga kalo’ aku jadi anggota geng mereka. Bisa terkenal, banyak cewek yang naksir anggota geng Bellix.” Kata Danu bangga.
“Trus kamu Gabung, Dan?” serobot Ihsan.
“Yaiyalah… kapan lagi mereka ngajakin aku kaya’ gini… apalagi anggota geng Bellix tu isinya cowok-cowok keren, tajir, n ditakutin ma anak-anak di sekolahnya masing-masing. Rugi tau, kalo’ aku nolak ajakan mereka.”
“Wah, jangan langsung diterima dong, Ham.. Kaya’nya nggak baik kalo’ ikut-ikutan geng kaya’ gitu. Bisa ngejerumusin lho..” nasehat Ilham.
“Nggak kok, Ham. Mereka bener baik kok.” Sanggah Danu.
“kalo’ baik, mereka nggak mungkin pilih-pilih temen sama mbentuk geng segala. Lagian…”

“STOP!”Danu menghentikan pembicaraan Ilham. “Kamu nggak berhak ngatur-ngatur aku, Ham! Aku tau diantara kita berempat, Cuma kamu yang kelihatannya anak baik. Rangking kamu di kelas juga bagus. Nggak ada gunanya, kan kamu sahabatan sama kita? Selama ini kamu pura-pura terus menjalin persahabatan sama kami, padahal kamu nggak betah dengan tingkah laku kami. Terutama aku. Aku yang paling bandel. Yang selalu kasih energy negetif. Ya, kan? Jawab, Ham! Aku tau kamu yang paling sederhana diantara kita. Kamu yang paling nggak suka foya-foya.. kamu suka nabung. Kamu mandiri.. kamu beli barang-barang pake’ uang kamu sendiri. Sedangkan kami? Apa, Ham? Kamu malu, kan? Kamu malu punya sahabat seperti kami!! Oh, aku tahu sekarang. Kamu ngiri kan sama aku? Kamu ngiri kan soalnya kamu nggak diajak gabung sama geng Bellix? Kamu juga mau gabung kan? Nggak sembarangan orang, Ham!!”
Ilham menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Nggak, Danu. Nggak sama sekali. Aku tulus sahabatan sama kalian. Kenapa kamu tiba-tiba ngomong kaya’ gini?”
“Halah.. kamu itu.. nggak ada gunanya lagi menjelaskan. Mulai sekarang aku sama kamu…” Danu mengatur napasnya. “Mulai sekarang aku sama kamu.. BUKAN SAHABAT!! Aku nggak akan ingat punya temen kaya’ kamu. Mending geng Bellix yang nggak pernah ngatur-ngatur dan nglarang-nglarang aku kaya’ kamu. Aku mau pergi!!!” Danu langsung meninggalkan mereka bertiga.
“Danu… tunggu…” Ilham berlari mengejar Danu. Namun Danu berlari begitu cepat dan tak terkejar. Ilham menarik napas panjang. Dia memandangi kedua sahabatnya yang lain. Meminta pertimbangan. Aji angkat bicara.

“Biarkan sajalah, Ham… nanti juga udah baikan lagi.”
“Iya, Ham. Nanti juga dia bakal balik sahabatan sama kita lagi. Tapi mending aku ngedeketin dia dulu. Aku pura-pura jadi anggota geng Bellix. Aku bakal awasi dia. Jangan sampai anggota geng bellix yang tampang preman itu ngapa-ngapain Danu. Aku nggak rela, Ham…” kata Ihsan menambahi.
“Itu bukan solusi terbaik, San. Nanti kamu juga…”
“Nggak, Ham.” Ihsan menepuk bahu Ilham. “Percaya, deh. Aku bakal baik-baik saja.” Katanya sembari tersenyum.
“Terserah kamu sajalah. Hati-hati, ya.” Kata Ilham sebelum Ihsan meninggalkan mereka berdua. Pergi untuk megejar Danu. Tinggallah Aji dan Ilham yang ketar-ketir, berharap tindakan Ihsan kali ini bukanlah tindakan gegabah.

…………………………………………………..

Ilham merasa hari-harinya sepi kini. Tak ada canda sahabat. Hanya merenung. Menunggu. Sangat tidak mengenakkan. Nasehatnya pada Danu kemarin murni karena ia menyayangi sahabatnya itu. Namun, apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Bubur yang lumayan pahit dan tidak bisa kembali lagi menjadi nasi. Masih teringat jelas rekaman di otaknya ketika berpapasan dengan Danu tadi pagi sebelum masuk sekolah. Penampilannya berubah. Rambut yang dulunya disisir rapi kini diberi semir merah dan agak dinaikkan layaknya pemain punk rock. Seragam yang dulunya dimasukkan rapi kini dikeluarkan. Dan yang paling membuat Ilham bergidik adalah dua buah buah tindik yang melekat pada badan Danu. Satu di daun telinga dan satu di hidung. Bukankah Danu itu laki-laki? Mengapa ia memakai aksesoris? Seperti perempuan. Apalagi Ihsan juga akhirnya ikut-ikutan jadi anggota geng Bellix. Walaupun tak separah Danu, tetap saja. Ilham khawatir. Khawatir bukan main. Pikiran Ilham terus berkecamuk.
Bel tanda istirahat kedua pun berbunyi. Suara Adzan yang berkumandang dari Mushola Al-Azhar, Mushola di SMA tempat Ilham belajar. Ilham merasakan ada suatu panggilan yang menyeret kakinya menuju mushola ini. Biasanya, Ilham sholat Dhuhur sepulang sekolah. Di rumahnya. Namun entah kenapa kini hatinya tergerak untuk memenuhi panggilan Yang Maha Kuasa sesegera mungkin.

Lantunan Adzan semakin syahdu. Menembus ke seluruh pori-pori dalam tubuh Ilham. Tampak olehnya berbondong-bondong siswa berdatangan menuju sumber suara. Mushola Al-Azhar. Tanpa sadar Ilham berlinang air mata. Ya Allah… mengapa baru sekarang aku melangkahkan kaki menuju rumah-Mu. Padahal jaraknya begitu dekat dengan kelasku. Ilham langsung menuju tempat wudhu. Alhamdulillah… segar sekali rasanya. Segera setelah itu ia mengikuti sholat berjamaah yang dipimpin oleh seorang kakak kelasnya. Setelah sholat, Ilham menyandarkan bahunya di dinding dalam mushola. Nikmatnya…. Lalu tanpa sengaja ia lihat beberapa siswa seusianya sedang membicarakan peringatan Maulud Nabi. Oh, Pengurus Rohis rupanya.

“Assalamu’alaikum, dek Ilham..”
Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. Kak Furqon rupanya. Kak Furqon adalah kakak kelasnya yang juga kakak mentornya sewaktu kelas X dulu.
“Eeh… Wa’alaikumsalaam, Kak Furqan.” katanya tergagap.
“Sedang apa, dek? Kok menyendiri begitu. Seperti ada masalah?” kata kak Furqon lembut.
“Eeh.. nggak apa-apa kok, kak…”
Pembicaraan mereka terputus oleh bel sekolah. Setelah berjabat tangan dan mengucap salam, mereka kembali ke kelas masing-masing.

………………………………………

Esok paginya, Ilham berusaha menjalani kehidupannya dengan lebih bahagia dan ceria. Pertemuannya dengan kak Furqon menyadarkan Ilham bahwa masih banyak teman-teman baik yang mau berteman dengan dia. Ilham melamun. Tiba-tiba ada yang membuyarkan lamunannya.

“Whoi! Nglamun aja, Bung! Daripada nglamun, temenin aku sholat Dhuha yok?” ajak Fikri, teman sekelasnya yang juga aktivis Rohis di sekolahnya.
“Ayo, Fik..” Ilham mengekor di belakang Fikri menuju mushola Al-Azhar.
Usai sholat Dhuha, Ilham menoleh ke sekeliling dan berkata,
“Banyak juga ya, yang sholat Dhuha di sini…”
“Lho, kamu baru tau, Ham? “ Fikri tertegun.
“Aku baru dua kali ini mampir ke Al-Azhar, Fik..”
“Masya Allah… pantesan aku nggak pernah lihat kamu di sini. Eh, asyik lho, Ham.. di mushola ini banyak kegiatan. Kalo’ pagi-pagi sebelum masuk sekolah sama istirahat pertama, ada sholat Dhuha. Terus tiap senin sepulang sekolah, ada Baca Tulis Al-Qur’an, kerennya BTA. Rabu pulang sekolah juga ada kajian, namanya Karisma, kajian Rohis smansa. Kalo’ kamis ada kasih, kamis bersih. Itu acaranya bersih-bersih masjid. Lumayan, itung-itung ngamal. Tiap jum’at juga insya Allah selalu diadakan sholat Jum’at bareng se-sekolahan. Seru…” kata Fikri panjang lebar dengan semangatnya yang khas.

Ilham tertunduk.
“Aku malu, Fik… Aku kan bukan anak Rohis… sebenernya, pengen sih, kalo’ liat kalian mempelajari agama kita, Islam secara lebih mendalam dan coba mengamalkannya. Kadang-kadang aku juga suka iri ngeliat semangat kalian menjadi panitia perayaan hari besar di sekolah. Kaya’nya kalian udah kompak, akur, kaya’ saudara… aku malu…”

Fikri tersenyum.
“Hei, Bung Muhammad Ilham… kamu muslim kan? Rohis itu buat semua muslim, namanya aja kerohanian Islam.. siapapun, asal beragama Islam, boleh kok ikutan kegiatannya… Lagian nama kamu kan ada Muhammad-nya, berarti itu sudah mencerminkan, bahwa kedua orang tua yang ngasih kamu nama tuh pengen anaknya entar bisa berakhlak mulia dan menyebarkan risalah Islam seperti Rasulullah saw…”
“Beneran, nih… aku boleh jadi pengurus rohis?” Tanya Ilham berseri-seri.
“Benar, Bung Muhammad Ilham…” Fikri tersenyum bahagia.

………………………………………….


Ilham kini telah aktif di dalam Rohis. Dia merasa menemukan sesuatu yang telah lama ia cari. Berbagai kegiatan Rohis ia ikuti dengan antusias. Ilham makin merasa kecil di hadapan Allah. Betapa ia adalah manusia yang tak pandai bersyukur. Berbagi kajian yang ia ikuti membuatnya berlinang air mata teringat dosa-dosanya. Salah satu kajian yang paling berkesan adalah kajian tentang persahabatan. Sang ustadz berkata bahwa sesama muslim itu adalah saudara, kita harus menjaga ukhuwah yang tersimpul padu. Tak boleh seorang muslim mendiamkan temannya sesama muslim lebih dari tiga hari. Dia teringat akan Danu, Aji, dan Ihsan. Kabarnya Danu dan Ihsan yang tergabung dalam geng bellix sering membuat kekacauan di sekolah, pasar, dan tempat umum lainnya. Banyak yang resah karena ulah mereka. Dan Aji, menjadi seorang yang pendiam dan tak acuh terhadap segala sesuatu di sekitarnya. Semua siswa menjauhinya. Ilham merasa sangat sedih dan perlu mendekati teman-temannya. Agaknya selama ini ia dan sahabat-sahabatnya telah lama melupakan Dia Yang di Atas Sana. Dia Yang Maha Memiliki segalanya. Dia yang selalu mengawasi tiap perbuatan mereka. Allah, Tuhan yang Esa. Cahaya di atas cahaya. Maha Pemilik Cinta….

Ilham bertekad untuk menemui Aji. Ditemani dengan Fikri, ia mengajak Aji bicara. Ternyata, Aji kesepian. Ia merasa tak lagi punyai teman. Akhirnya, Aji mampu tersenyum kembali. Ia juga rindu kedamaian dan kedekatan dengan sang Maha Pencipta. Kini, Aji juga rajin beribadah. Ilham sangat bersyukur, sahabatnya telah kembali…..

…..……………………………………

Pagi itu berita gempar terjadi. Aji berlari-lari menuju kelas Ilham.
“Assalamu’alaikum! Ilham… gawat… gawat…”
“Gawat kenapa, Ji?”
“Geng Bellix… Geng Bellix…”
“Iya, Geng Bellix kenapa? Pelan-pelan Ji, atur napasmu…”
“Geng Bellix berulah! Masa’ mereka mengedarkan ganja? Dan yang paling parah, sahabat kita, Danu dan Ihsan mereka jadikan pesuruh untuk mengambilkan ganja buat mereka? Pihak sekolah sudah tahu. Pagi ini polisi datang menemui Danu dan Ihsan. Sekarang, mereka ada di kantor polisi beserta kepala sekolah dan ancaman akan dikeluarkan dari sekolah!”
“Ap..apa??” Ilham Shock.
“Iya, Ham..”
“Ayo kita susul mereka sekarang!”
“T..Tapi..Tapi…”
“Sudahlah, mereka teman kita.”
Segera Ilham menghubungi Fikri, meminjam motornya. Dengan Aji, ia meluncur menuju kantor polisi tempat Danu dan Ihsan diproses.
…………………………………….
Sesampainya di kantor polisi, Ilham dan aji langsung menuju ruangan tempat Danu dan Ihsan diinterogasi. Tampak oleh mereka, wajah Danu dan Ihsan yang tampak kusut sekali. Ilham langsung menemui pak polisi yang menginterogasi,
“Pak, Danu dan Ihsan nggak bersalah!”
“Apa dasar yang membuatmu mengatakah hal tersebut, anak muda?”

Mereka teman saya, Pak. Saya berani menjamin, mereka tidak pernah melakukan hal buruk seperti ini. Benar, Pak… Coba selidiki Geng bellix yang selama ini meresahkan kita. ”

Tampak olehnya Danu dan Ihsan melihat kedatangan Aji dan Ilham. Mereka sama sekali tidk menyangka bahwa Aji dan Ilham sangat memperhatikan mereka selama ini. Mereka menyesal.

Benar saja. Dua jam kemudian, seorang polisi kembali bersama anggota geng bellix. Ternyata mereka yang membuat onar. Danu dan Ihsan hanyalah dijadikan alat untuk mewujudkan keinginan mereka menikmati ganja. Dalam praktiknya, Danu dan Ihsan sama sekali tak tahu bahwa yang mereka ambil dan berikan pada anggota geng bellix selama ini adalah obat terlarang itu. Dan sungguh, mereka sama sekali tak pernah menyentuh apalagi mencicipi barang haram tersebut. Atas dasar pertimbangan yang cukup lama, Danu dan Ihsan dibebaskan dan dinyatakan tidak bersalah. Dan tentu saja, Danu dan Ihsan tidak jadi dikeluarkan dari sekolah. Namun tetap saja, mereka mendapat hukuman dari sekolah karena telah bergabung dengan geng bellix dan membuat beberapa keonaran.
Keluar dari kantor polisi, Danu dan Ihsan berpandangan. Mereka merasa terharu. Baru saja Ilham akan mengucapkan sesuatu, Danu langsung menubruk badan Ilham dan menangis. Diikuti oleh Ihsan.

“Maafkan aku, Ham…”
“Iya, Dan.. aku sudah memaafkanmu dari dulu.”
“Benar, Ham? Padahal aku telah menyakitimu?”
“Danu, Allah saja yang menciptakan segalanya Maha Memaafkan kesalahan hamba-hamba-Nya yang begitu banyak. Apalagi kita, manusia yang hina, dina, dan banyak dosa?” Ilham tersenyum.
Sang surya menjadi saksi bahwa persahabatan yang telah mereka bina itu kini pulih kembali. Sebuah persahabatan baru yang lebih berwarna. Persahabatan yang dilandasi oleh iman dan taqwa hanya kepada Sang Pencipta.

……………………………………………

“Chek..Chek… panggung Oke. Gimana dengan sound-nya, Akhi Ilham?” Tanya Fikri
“Beres, Akh! Wadhuh, lha dekorasinya gimana?”sambut Ilham.
“Alhamdulillah… sudah beres kok, dek…” Kak Furqon menimpali.
“Masya Allah… hiburannya! Kita bahkan belum punya!” Fikri terlonjak.
“Wadhuh, iya. Kita nggak mungkin nyewa hiburan dari luar kan, buat ngisi acara Maulud Nabi ini?” Aji ikut-ikutan terlonjak.
Tiba-tiba…..
“Tenang Akh Fikri, Akh Ilham, Akh Aji, kak Furqon… dan semua ikhwan… kan ada Danu dan Ihsan di sini. Ilham juga ada…” kata Danu cengar cengir.
“Ya Allah, lupa aku kalo’ suara kalian Oke2…. Danu dan Ihsan bisa main gitar.” Aji lega.
“Dan kak Furqon pinter main piano..” timpal Ilham.
“Dan dek Ilham pinter main bedug, suaranya juga oke punya…” kak Furqon tertawa sopan.
“Dan Fikri… Fikri apa ya…” Fikri garuk-garuk kepala.
“Fikri pinter main gendang sama rebana!!!!” semuanya menjawab keras.
“Ohh..iya… Alhamdulillah… tapi nasyidnya apa nih, akhi-akhi semua?”Tanya Fikri lagi.
“Kaya’nya… Insya Allah Masa Muda versi Edcoustik cocok banget buat kita saat ini. Setuju???”
Semua bertepuk tangan bahagia dan menyahut.
“Setujuuuuu……………………..!!!”

Masa Muda usiaku kini
Warna hidup tinggal kupilih
Namun aku telah putuskan
Hidup di atas kebenaran
Masa Muda penuh karya
Untuk-Mu Tuhan, yang aku persembahkan
Sebagai insan beriman……
Mumpung muda ku tak berhenti menapak cita
Menuju negeri Syurga nun jauh disana….

Yup. Itu hanyalah secuplik kembalinya satu, dua, tiga, empat pemuda yang kembali ke jalan-Nya. Ke fitrah mereka yang sesungguhnya. Pemuda banyak karya. Bukan pemuda hura-hura. Yapz.. itu hanya empat. Semoga ada sepeluh, seratus, seribu, sepuluhribu, satu juta, berjuta-juta, bermilyar-milyar, bertrilyun-trilyun pemuda yang penuh karya, dalam dakwah islam dan mengagungkan nama-Nya. Amin.

Komentar