![]() |
Dokumentasi Pribadi |
Dulu,
rumah kecilku banyak gambar dan lukisannya. Halaman depan juga penuh dengan
patung-patung hewan. Ada macan, ada rusa. Patung-patung ini menjadi daya tarik
tersendiri bagi anak-anak kecil di sekitar kompleks RT kami. Hampir setiap
sore, halaman rumahku ramai dengan anak-anak kecil seusiaku, diatasku, ataupun
di bawahku; Ibuku membuka Taman Pendidikan Al Qur’an di rumah kecil ini!
Kami
akan dikumpulkan di teras depan, lalu berdo’a bersama sebelum akhirnya satu
persatu mengantri menghadap Ibuku untuk menyetorkan bacaannya. Aku dan kakakku
turut bercampur dengan anak-anak kecil lain, Ibuku tak pandang bulu. Baru saat
nanti teman-teman kami pulang, Ibu akan meminta kami kembali mengaji. Kakak
sering menangis karena bacaannya sering salah dan ibu memarahi. Hihi. Aku? aku
rajin mengaji makanya ibu sayang padaku dan jarang memarahiku.
“Ibu
nggak mau kalau anak-anak ibu nggak bisa mengaji!”
Kau
tahu? Rumah yang paling Allah berkahi adalah rumah yang didalamnya Al-Qur’an
dihidupkan. Ia tak hanya berfungsi sebagai tempat beristirahat dan berkumpul
dengan keluarga. Rumah adalah tempat pertama bagi tumbuhnya sebuah peradaban!
Bersyukur karena sedari kecil Ibu mengajari kami seperti itu. Aku mau, suatu
saat jika aku memiliki rumah sendiri; akan kubuka tempat belajar Al-Qur’an di
sana. Akan kuajak anak-anak tetangga untuk berkumpul lalu bermain bersama.
Saat
sore tiba, akan kugelar karpet tebal; di sana anak-anak bisa berkumpul dan
mendengarkan tentang kisah para nabi. Akan aku ajak remaja-remaja di kompleks
untuk turut membantuku mengajari mereka a-ba-ta dan bercerita tentang para
anbiya. Kusediakan perpustakaan kecil yang penuh ilmu untuk mengobati dahaga.
Ya, aku mau punya rumah seperti itu. Sangat ingin.
Itu
aku, mungkin akan lain denganmu, mungkin juga sama; atau bisa jadi beririsan.
Kau pasti sudah menyiapkan konsep besar-besaran untuk pembangunan rumahmu. Maka
pastikan, jika suatu saat kau akan membuat rumah; pastikan ia benar-benar
tempat untuk menyemai peradaban. Bukan sekedar tempat istirahat dan melepas
lelah, namun di rumah itu; mampu kau ciptakan pemimpin-pemimpin muda di masa
depan. Mimpi yang besar, bukan?
Ohya,
soal patung-patung hewan dan lukisan tadi. Mengapa begitu banyak berserakan di
rumahku? Bapakku seorang seniman ternama. Setidaknya di keluarga kami. Bapak
adalah seorang yang serba bisa; hampir semua pekerjaan bisa dilakukannya,
termasuk hobi menggambar, melukis, membuat patung yang beliau pelajari sendiri
secara otodidak. Bakat inilah yang kelak menurun pada adik laki-lakiku, dan
mungkin juga aku yang kecipratan sedikit. Sedikit saja.
Ada
sedikit kisah soal patung-patung dan lukisan ini.
Kisah
yang membuat seorang aku menangis menjerit tak karuan.
Sore
itu, Bapak pulang dari suatu pengajian pekanan. Setibanya dirumah, beliau ambil
cangkul dan mulai menghancurkan patung-patung yang susah payah ia buat sendiri
itu. Aku yang saat itu masih kecil dan belum tahu apa-apa, kaget melihat apa
yang dilakukan Bapak. Aku menangis meronta; mencoba mencegahnya, namun tak
bisa.
Besok,
aku bisa naik rusa-rusaan dan macan-macanan di mana? Nanti, apa yang harus
kukatakan pada teman-teman mainku saat mereka main ke rumah dan tak menjumpai
rusa dan macan yang sangat mereka sayangi itu?
Tak
berhenti di situ, lukisan-lukisan indah yang kebanyakan bergambar orang itu
Bapak copot.
Setelah
tangisku reda, Bapak berkata, “Nggak papa, besok bisa lihat gambar rusa sama
macan di buku gambar. Maafin Bapak ya.”
Apa
yang Bapak lakukan sore itu baru kuketahui saat aku mulai bisa membaca buku dan
menghadiri lingkaran pekanan. Meskipun ada perselisihan soal bab ini. Sebuah
pengetahuan yang membuatku makin mencintai Bapakku. Pria paling keren di dunia
ini yang pernah aku temui; belum ada yang bisa mengalahkannya. Ia yang selalu
sukses membuatku jatuh cinta. Berkali-kali. Karena petuahnya, karena
tindakannya, atau hanya sekedar pembawaan tenang dan senyum di bibirnya. Aku
mencintainya, sungguh mencintainya.
Pria
yang membangun rumah hangat ini dengan sepenuh cinta yang dimiliki. Pria yang
banting tulang demi menghidupi isi rumah. Pria yang berusaha menghidupkan
suasana dan mengatasi segala masalah serta marabahaya. Pria yang banyak diamnya
namun banyak aksi dan kerja nyatanya. Pria yang tak langsung memarahiku saat
aku berbuat salah; tapi bicara padaku pelan-pelan, atau lewat isyarat saja.
Pria yang menjadi alarm pertama saat aku berbuat salah. Pria yang sangat takut
jika aku mengecewakan orang lain; sedang mengecewakan dirinya sendiri tak
menjadi masalah yang besar baginya. Pria yang siap berkorban jiwa raga, harta,
dan nyawa demi anak-anak tercintanya.
Bapak
adalah orang yang selalu memberikan teladan dengan tindakan. Bapak adalah orang
yang selalu ada saat kami membutuhkan. Bapak adalah orang yang terkadang
terlalu canggung untuk bertanya kabar pada kami –sebab kami yang tak memulai.
Bapak yang diam-diam meneteskan air mata saat melihat kami melakukan suatu
kebaikan dan pencapaian. Meski begitu, Bapak tegas saat mengambil keputusan.
Bapak adalah orang yang obyektif; membela kami saat kami disakiti, namun juga
memberi kami sedikit ‘pelajaran’ jika ternyata kamilah yang berbuat kesalahan.
Bapak adalah rumah tempat kami berpulang. Bapak adalah bahu yang kekar saat
kami ketakutan dan meminta perlindungan. –setelah Allah, tentu saja.
Pernah,
suatu hari di sekolah dasar, ada dua anak laki-laki yang menyebalkan sekali.
Penggaris milikku diambilnya, lantas besoknya bukuku yang disembunyikan. Jika
tidak mengambil barang, mereka pasti mengajak diskusi namun diskusinya
menyebalkan. Ah, tau apa anak SD soal diskusi? Sepulang di rumah, keduanya aku
adukan kepada Bapak. Esoknya, Bapak datang ke sekolah dan menemui wali kelas.
Namanya Wawan dan Fajar, ah aku masih ingat nama kalian. Saat kenaikan kelas,
keduanya dinaikkan. Lalu aku merasa bersalah; jangan-jangan, gara-gara
pengaduan yang kukatakan? Maka jika detik ini kalian membaca tulisan ini, mohon
maafkan.
Komentar
Posting Komentar
Bismillah..
Sahabat, mohon komentarnya ya..
-demi perbaikan ke depan-